Dvr|02

4.2K 422 94
                                    

Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.

Cuaca hari ini cukup menyengat. Sangat berbeda dengan cuaca kemarin. Suhu yang panas membuat dahi Devira mengeluarkan banyak keringat. Bulir-bulir itu membuat gadis dengan kacamata yang bertengger manis di hidung mancungnya merasa kegerahan.

Jangan tanya Devira sedang melakukan apa. Karena dia sangat sibuk memindahkan dan menata barang di rumah peninggalan kedua orang tuanya yang sudah pergi lebih dahulu karena kecelakaan tragis yang menimpa kedua orang yang paling berharga itu.

Sekarang tidak ada lagi canda dan tawa yang bisa keluar dari mulut kedua orang yang sangat ia sayang itu. Dia hanya bisa tersenyum miris ketika melihat potret kebersamaan mereka.

I really miss you, Ma, Pa.” Devira mengusap matanya yang mulai mengeluarkan sedikit air. Dia kemudian kembali menata setiap sudut ruangan itu hingga terlihat rapi dan juga enak dilihat.

Devina melangkahkan kakinya di koridor sekolah. Gaya angkuhnya sudah lenyap sejak kepergian Davina. Sekarang hanya ada Devina dengan kepala menunduk menahan segala malu yang masih menghantui diri.

Gila, si Nenek lampir masih bisa menapakkan kakinya di sini, coy.

Masih berani sekolah dong. Sumpah, nih, ya, kalau jadi dia gue mah malu buat sekolah, lagi.

Gila nih, tukang bully malah kena bully.

Ampun Mbak jago. Jangan bully aku dengan kata-kata kasarmu.

Devi gak tau diri banget ya. Udah buat Vina sengsara di depan kita semua. Sedangkan dia malah menari di atas penderitaan Davina.

Dev, Vina mana? Lo gak mau bully dia lagi. Eh, dia 'kan udah meninggal demi nyelamatin lo.

Jangan di-bully dong, entar bapak kepsek ngamuk lagi karena anaknya kita bully. Ups, kan udah lengser jabatannya.

Devina tidak menjawab omongan pedas para Netizen Tri Sakti. Kepalanya menunduk semakin dalam. Ternyata yang dirasakan oleh Davina sama sekali tidaklah menyenangkan. Cacian, bully-an, dan juga makian dari orang sekitar memasuki indra pendengarannya tanpa permisi dan bukannya malah pergi. Tapi, malah berdiam diri di dalam pikiran yang mungkin tidak akan abadi.

Devina mati-matian menahan air matanya yang sudah siap meluncur. Sungguh, hal itu tidaklah mudah. Dia tidak menghiraukan lagi suara-suara yang menusuk telinga itu. Devina langsung berjalan menuju kelasnya tanpa menatap orang-orang yang ada di sekitarnya. Entah, berapa banyak bahu yang sudah ia tabrak. Walau begitu, dia masih enggan mengangkat kepalanya. Sampai pada akhirnya dia menabrak seorang lelaki yang membuat dirinya terduduk.

“Aw,” ringis Devina saat bokongnya menyentuh lantai yang keras.

“Jalan, tuh, pakai mata,” ujar orang itu dengan suara berat.

Mendengar ucapan itu, ingatan Devina kembali melayang ke masa lalu. Tepat saat dirinya dan Davina berdebat. Hari itu, Devina sangat mati kutu dibuat oleh kembarannya itu.

“Lo gak bisa jalan, ya?! Lo gak punya mata?! Dasar goblok!” Devina memandang remeh Davina

“Lo gak liat, mata gue ada di sini. Bahkan sama persis kayak mata lo,” balas Davina.

“Kalau punya mata, ya, digunain bukan cuma dijadikan pajangan!” Devina kembali memarahinya.

“Udah, gue gunakan dengan sangat baik,” ujar Davina.

“Tapi, kalo jalan gak pake mata, mikir dong, dasar goblok!” Devina dengan angkuh mencaci maki adiknya sendiri.

“Maaf-maaf, nih, ya. Setau gue kalo jalan itu pake kaki, mana ada jalan pake mata. Sekarang lo yang mikir, gue atau ... lo yang goblok. Ups.” Skakmat. Devina terdiam sambil meremat tangannya dengan kesal.

“Pikirin itu, baik-baik.” Davina pergi meninggalkan Devina yang masih kesal di tempatnya.

Setiap kalimat yang diucapkan Davina pada saat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Mengingat luka yang ia torehkan pada Davina membuat dirinya merasa sebagai makhluk yang sangat rendah. Air mata yang sudah lama ia bendung akhirnya nenetes juga. Bukan karena terjatuh. Tapi, karena mengingat kembali kenangan pahit kembarannya itu

“Kok nangis? Cengeng banget,” cibir cowok yang belum sempat Devina lihat mukanya.

“Maaf.” Devina bangkit dan langsung berlari meninggalkan lelaki dengan seragam sekolah rapi itu. Namanya, Darwin.

“Aneh.” Darwin melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Raffa sedang berada di rooftop rumahnya siang ini. Dia tidak berniat untuk pergi ke sekolah dan belajar. Tujuannya sudah pergi bersama dengan Davina. Entah, mengapa setelah hari pemakaman Davina, Raffa sudah tidak memiliki semangat hidup lagi. Ingin rasanya bunuh diri. Tapi, malu pada mendiang Davina yang telah lama pergi dengan segenggam luka yang abadi.

“Gue kangen banget sama lo, Vin.” Raffa terduduk lemas di semen kasar yang menjadi lantai rooftop itu. Pikiranya melayang pada saat dia memberikan tamparan pada Davina. Sungguh itu bukanlah kehendak dirinya. Tapi, kejadian itu begitu cepat terjadi. Sampai-sampai hatinya tidaklah sejalan dengan pikiran.

“Kangen terus. Pas doi ada lo malah jalan sama cewek lain. Bajingan banget lo, Fa,” celetuk David yang entah sudah berapa lama berdiri di ambang pintu rooftop itu.

Raffa yang merasa tersindir oleh perkataan David hanya diam saja. Dia melihat seluruh objek yang ada di sekitarnya dengan tatapan kosong. Tidak ada lagi tatapan tajam yang menghunus di dalam diri Raffa, yang ada hanyalah tatapan kosong seperti sekarang.

“Kenapa diam, hm? Lo harusnya dengerin omongan gue waktu itu buat gak nyakitin dia. Tapi, yang lo lakuin malah membuat dia sakit begitu dalam. Sekarang nyesel 'kan lo? Udah, lo tenang aja, Davina itu cewek yang kuat dan dia pasti udah tenang di sana.” David menepuk bahu sahabatnya itu. Dia tahu bahwa Raffa sedang terjebak diantara permainan batin dan jiwanya.

“Semua ini terjadi karena dia, Vid. Dia ada dalam jiwa gue.” Raffa menunduk dalam.

“Gue tahu itu. Fasya gak suka dengan keberadaan Davina. Tapi, kenapa dia gak suka sama sosok baik dan rupawan Davina?” tanya David.

“Gue gak tahu pasti. Tapi, sikap dia sangat jauh berbeda sama sikap gue. Gue akan lebih tenang jika Davina ada di sini dan bisa menerima penjelasan gue. Tapi, hal itu gak bakal pernah bisa terjadi. Kecuali, gue yang bunuh diri.” Raffa sangat lemas. Cowok itu lalu merebahkan dirinya di atas semen kasar yang menjadi lantai rooftop itu dan membiarkan sinar matahari menyilaukan matanya.

“Goblok dipelihara. Buat apa lo bunuh diri? Dengan lo melakukan itu otomatis Davina malah makin benci sama lo di surga sana. Lo tau, Fa? Terakhir kali gue ketemu sama dia, dia lagi sedih dan itu semua karena lo. Udah gue mau pergi. Inget pesan gue, jangan pernah melakukan sesuatu yang sadis jika gak mau dapat karma yang lebih dari kata sadis.” David membuka pintu rooftop dan langsung melesat pergi meninggalkan Raffa yang mulai memejamkan matanya untuk menikmati cahaya matahari yang menyinari bumi dengan sangat hangat.

(*****)

To be continued~

Ada saran gak nih buat scene apa ke depannya?

Gimana suka sama part ini?

Seperti biasa, jangan lupa vote, komen, follow akun ini, dan share cerita Davina juga Devira kepada teman kalian.

Palembang, 7 November 2020.
With <3, Anin.

Devira [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang