Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.Masih dengan hari yang sama, sepulang dari rumah sakit, Devina langsung diseret masuk oleh Ivona. Azka dan Reinaldo hanya bisa diam karena dengan teguran dan larangan keras dari mereka, Ivona pasti akan semakin mengamuk juga menyakiti Devina seperti Davina dahulu.
"Dasar tidak tahu diri! Kamu ini tidak bersyukur atau bagaimana? Davina sudah rela mengorbankan nyawanya buat kamu, Devi. Tapi, kamu malah mau bunuh diri, mecelakai diri sendiri dan bahkan mengancam nyawa orang lain," bentak Ivona saat sudah tiba di ruang keluarga.
"Devi gak bermaksud kayak gitu, Ma," lirih Devina sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam menahan tangis dan juga sakit akibat tarikan Ivona tadi mengenai luka akibat kecelakaan beberapa jam yang lalu.
"Jadi, maksud kamu kayak gimana? Mau membahayakan nyawa orang yang begitu miripnya dengan Davina? Segitu bencinya kamu sama Davina, Nak. Davina itu adik kamu, kembaran kamu! Apa kamu gak bisa melenyapkan rasa benci kamu pada Davina yang telah pergi meninggalkan kita?" Teriakan Ivona mendominasi ruangan bergaya klasik itu.
Sebenarnya saat Azka pergi meninggalkan rumah untuk menuju ke rumah sakit, keadaan Ivona sudah cukup membaik, emosinya sudah bisa terkontrol dan kecemasannya sudah menghilang karena Azka memberinya obat penenang sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh dokter dan juga psikolog. Tapi, setelah bangun dari tidur singkatnya—efek dari obat penenang— emosi Ivona langsung meledak seketika. Kecemasannya kembali bangkit dan untung saja sesak napas tidak menyertai aksinya saat ini.
Devina hanya diam, dia sedang ketakutan saat ini. Ivona memang tipe orang tua yang pemarah. Tapi, baru kali ini Devina melihat kilatan amarah itu muncul di mata Ivona dan itu ditujukan untuk dirinya.
"Ma, udah. Ini semua salah Azka karena gak sempat jemput Devi," bela Azka.
"Kamu gak usah belain dia, Azka!" bentak Ivona.
"Aku gak bela Devi, Ma. Kenyataannya Mama juga salah di sini," sela Azka dengan penuh emosi.
Ivona memelototkan matanya dan menatap Azka dengan sangat tajam. "Jadi, kamu nyalahin Mama karena semua ulah yang ia buat?"
Wanita paruh baya itu menarik tangan Devina yang entah kapan sudah bersembunyi di balik punggung Reinaldo. Hal itu membuat kilas balik Davina yang tersiksa oleh Ivona berputar di kepala Devina. Cengkeraman Ivona pada tangan Devina bertambah kencang ketika gadis itu memberontak. Membuat luka yang sudah menganga tambah terbuka.
"Le—lepasin, Ma, sakit," rintih Devina sambil terus mencoba untuk melepaskan cengkeraman itu.
"Enggak, sebelum kamu merasakan sebuah hukuman."
Akhirnya kesabaran Reinaldo habis. Ketika Ivona ingin mengguyur Devina menggunakan air dingin, Reinaldo langsung mencegah hal itu terjadi. Pria itu langsung mengambil tindakan tegas pada Ivona yang saat ini tengah terbakar emosi itu.
"Kamu mau anak kita kembali tersiksa? Kamu mau Devina jauh dari kita seperti Davina, hah!?" marah Reinaldo sambil memegang ember berisi air dingin bekas pel yang akan Ivona siram ke tubuh Devina, "kamu mau hal itu terjadi lagi, Ivona?" teriak Reinaldo
"Azka, kamu bawa Devi ke kamar." Perinta Reinaldo itu langsung saja diangguki oleh Azka.
Reinaldo menyeret Ivona menuju ke kamar mereka. Sepertinya Reinaldo harus lebih tegas lagi pada sikap Ivona yang sangat emosional ini. Pasalnya, kondisi emosional istrinya itu akan membawa pengaruh yang sangat buruk di ruang lingkup keluarga Brahmantyo.
"Apa kamu tidak mengerti, Ivona? Yang menimpa Devi dan gadis itu hanyalah sebuah kecelakaan. Tidak lebih, lagi pula gadis yang menyelamatkan nyawa Devi tidak mati, Ivona. Jadi, kamu jangan terus-terusan menyalahkan anakmu seperti tadi!" Suara tegas dan juga dingin Reinaldo mulai menggema di seluruh penjuru ruangan berbentuk persegi panjang itu. Dia begitu muak dengan Ivona yang terus-terusan menyebut Devina sengaja melakukan dan menginginkan kecelakaan itu terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devira [Selesai]
Teen FictionSequel of Davina. -Sangat disarankan untuk membaca cerita Davina lebih dahulu .... Davina. Satu nama yang tidak akan kulupa. Orang baik yang pernah kumiliki. Tanpa sadar aku merindukannya. Kuingin berjumpa dengannya. Walaupun harus mempertaruhkan ma...