Dvr|08

1.9K 267 46
                                    

Selamat membaca♡
Semoga suka~
🔸
.

Hujan kembali mengguyur kota dengan sangat deras di hari Sabtu pagi. Hawa dingin mulai menusuk kulit dan menembus pori-pori. Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan untuk menghilangkan rasa bosan di hari ini. Sama seperti gadis yang kehidupannya telah berubah seratus delapan puluh derajat, Devina. Dia hanya duduk di balkon kamar Davina, sambil meratapi nasibnya dan juga keluarga yang sangat tragis.

Sejak kepergian kembarannya, Devina sangat sering mendatangi kamar yang ditempati Davina semasa dia hidup dengan keluarga Brahmantyo. Devina termangu di tengah berisiknya rintik-rintik hujan yang kian menderas. Penyesalan sangat terlihat jelas di wajah sendu miliknya.

“Devi?” panggil Azka.

“Kamu belum makan?” tanya Azka lagi, sambil berjalan mendekati Devina.

“Gak laper, Bang,” balas Devina dengan nada suara rendah.

“Turun yuk ... kita makan bareng. Jangan biarin perut kamu kosong, Devi,” ajak Azka dan membuat Devina menggeleng lesu.

“Ayolah Devi ...,” bujuk Azka lagi.

Devina menatap kakaknya lekat-lekat. Hanya dia satu-satunya saudara yang tersisa dan hal itu membuat hati Devina berdesir hebat. Dia kembali mengingat kejahatannya terhadap Davina beberapa tahun ke belakang. Devina akhirnya mengiyakan ajakan Azka. Dia tidak ingin kehilangan sosok berharga itu lagi untuk kali ini.

Suasana di meja makan sangat sepi. Tidak ada yang berani membuka suara, yang terdengar hanyalah dentingan sendok yang bertabrakan dengan piring dan juga garpu. Devina duduk berhadapan dengan Ivona yang sekarang tengah menatap kosong makanan yang ada di hadapannya.

Devina sangat sedih ketika melihat kedua orang tuanya yang semakin hari semakin kurus dan tidak memiliki semangat hidup. Kini, tidak ada lagi senyum manis yang merekah dari bibir Reinaldo. Tatapan garang nan menghunus milik lelaki berbadan tegap itu juga sudah lama pergi. Begitu pula dengan Ivona. Dia menderita stress berkepanjangan sejak kepergian Davina. Bibir yang biasanya mengeluarkan kata-kata kasar itu kini mengatup rapat, seakan mereka tidak ingin lagi berbicara kepada semua orang.

“Mama ... kenapa gak makan?” tanya Devina ragu-ragu dengan nada gugup yang sangat kentara.

“Aku sudah kenyang,” jawab Ivona lesu.

“Ma ... makan, ya? Aku gak mau Mama sakit, lagi.” Devina bangkit dari kursinya dan menghampiri tempat Ivona berada. Devina mengelus-elus pundak sang ibunda dengan sangat lembut.

“Tidak.” Nada suara Ivona terdengar sangat dingin. Aura mencekam mulai menguasai suasana di rumah keluarga Brahmantyo. Dulu Devina sangat membenci suasana itu. Tapi, sekarang dia malah sangat sering berperang dan terjebak dengan suasana menyeramkan tersebut.

“Ayolah, Ma ... jangan biarkan perutmu kosong,” bujuk Devina lagi dengan nada yang terlihat frustrasi.

“Apakah kau mendengarkan aku? Aku tidak mau! Apa kau tidak mengerti bahasa manusia?!” Ivona terlihat kesal dengan bujukan yang dilontarkan anak perempuannya itu. Emosi yang susah payah ia tahan sudah tidak dapat dibendung lagi dan akhirnya satu bentakan lolos dari bibir pucat miliknya.

Mendengar hal yang dikatakan Ivona Devina otomatis mundur. Dia tahu bahwa emosi sedang menguasai diri ibunya. Azka dan Reinaldo terkejut mendengar ucapan hebat yang dapat menggetarkan jiwa itu kembali keluar dari mulut Ivona.

“Kamu ingin melihat anak kita pergi tanpa memaafkan keluarganya, lagi? Apa tidak puas kamu melihat Davina pergi karena kita selalu menyiksa dirinya?” ucap Reinaldo menengahi.

Devira [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang