part 22

1.3K 217 15
                                    

"Kau baik-baik saja?" Disty menghampiriku, tangannya bahkan bergerak menyentuh dahiku. "Kau demam, wajahmu juga pucat. Kufikir kau harus pulang."

Aku menggeleng. Berusaha terlihat baik-baik saja. "Aku harus menyelesaikan beberapa dokumen penting. Dan pagi ini Kafka ada meeting penting dengan klien.'

"Tapi, gak gitu juga Tari. Coba lihat dirimu seberapa pucat wajahmu."

"Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini." Aku memperlihatkan dokumen yang dibutuhkan Kafka untuk meeting hari ini. Lalu kembali fokus ke depan layar komputer ku.

Kudengar Disty membuang nafas. "Hubungi aku jika butuh sesuatu."

Semalam aku tidak bisa tidur. Bagaimanapun aku berusaha memejamkan mata, tiap kalimat Gerry terngiang ditelingaku. Harusnya aku mengabaikannya. Tapi, apa daya otakku mungkin memiliki banyak ruang kosong sehingga tiap kalimat yang Gerry ucapkan masih betah tinggal di dalam sana.

Tepat pukul delapan Kafka tiba. Ia sejenak menghentikan langkahnya didekat kubikelku. Alih-alih aku menoleh, kupilih mengabaikannya.

"Tolong bawakan dokumen dengan pihak Cinemaxx ke ruanganku."

Usai mengatakannya, aku lalu menyiapkan dokumen yang diminta oleh Kafka. Saat berdiri didepan pintunya ada ragu yang kurasakan. Kutarik nafas panjang, sebelum akhirnya kuketuk pintu dan masuk ke sana.

"Ini beberapa dokumen yang harus bapak bawa nanti. Dan ini yang harus bapak tanda tangani sekarang." Kusodorkan beberapa dokumen ke atas mejanya.

Kafka pun segera meraih bolpoinnya dan membubuhkan tanda tangan diatasnya. Begitu ia selesai menandatangani dokumen tersebut, aku segera mengambilnya kembali.  Tanganku lalu meraih sebuah map dan menaruhnya diatas meja Kafka, "Ini kontrak kerja sama dengan pihak mereka. Aku sudah menyiapkan beberapa dokumen pengantar lainnya, jika ada yang tidak bapak pahami."

Walau tidak bicara, kulihat Kafka menatapku.

"Jika tidak ada lagi yang penting, aku permisi."

Dan alih-alih menahanku, ia membiarkan ku pergi begitu saja dari ruangannya. Memangnya apa yang kuharapkan.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Diam-diam mataku mencuri pandang ke dalam ruangannya. Sejak aku ke luar tidak sekalipun Kafka meninggalkan ruangannya. Sementara aku, semakin merasa tidak nyaman. Kepalaku terasa sakit.

Kuraih tasku, aku harus pulang. Tak kuhiraukan aturan izin jika hendak meninggalkan tempat kerja. Aku butuh berbaring.

"Kau baik-baik saja?" Andy menyapaku begitu pintu lift terbuka.

Kuanggukan kepala. "Aku harus pulang. Jika Disty kembali katakan padanya aku pulang lebih awal, dia pasti paham. Owh iya satu lagi, jika pak Kafka butuh sesuatu tolong bantu dia. Hari ini, pak Kafka ada meeting, harusnya aku menemaninya. Tapi, aku tidak bisa. Kuharap kau bisa menggantikan aku."

Andi mengangguk. "Kau tenang saja. Pulanglah dan istirahat."

Aku lalu berjalan masuk ke dalam lift. Saat tiba di loby aku bersyukur, kendaraan yang sudah kupesan lewat online tadi sudah tiba. Sekuat tenaga aku berjalan masuk ke dalamnya. Aku tidak ingin jatuh pingsan seperti kejadian waktu itu. Tidak ingin lagi menimbulkan kehebohan di sini.

Hiruk pikuk kendaraan membuat kepalaku semakin pening. Alih-alih kembali ke apartemen, aku memilih pulang ke rumah orang tuaku. Aku butuh ketenangan. Berada di sana membuat kepalaku semakin terasa sakit.

"Sudah sampai mbak," ujar sang sopir.

Kuberikan kepadanya selembar uang lima puluh ribuan. "Ambil saja kembaliannya." Dengan sempoyongan aku turun dari mobil. Saat tiba didepan pintu tubuhku lunglai. Semuanya gelap. Samar kudengar suara mama memanggilku berulang kali.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang