Jatuh Cinta dan patah hati selalu sepaket. Sayangnya saat hati patah, banyak orang sulit menerimanya. Secepat kita jatuh cinta, namun tidak secepat bisa melupakan, bahkan menyembuhkan sebuah luka karena cinta.
Aku mungkin salah satu dari sekian banyak orang, yang sampai saat ini tidak beranjak. Aku tahu ini bodoh, hanya saja untuk melangkah rasanya begitu sulit. Aku ingat saat-saat awal Kafka meninggalkanku, rasanya sulit bernapas. Kuhabiskan waktuku menangis. Lalu saat air mata mulai mengering, yang tersisa hanya ruang kosong.
Aku sudah mencoba banyak hal. Menyibukkan diri salah satunya. Sayangnya, semua sia-sia. Ada rasa tak ingin beranjak. Aku benci membanyangkan dia bahagia, sementara aku menangis. Ada rasa tidak puas, hingga aku merasa ingin dia merasakannya.
Kedatangan Kafka ke apartemenku cukup membuatku terkejut dan kebingungan. Hatiku bersorak bahagia. Tapi, sudut hatiku yang lain mencemohku. Hingga membuat aku bimbang.
"Bisa kau lepas pelukanmu?" Aku mencoba mengembalikan kewarasanku. Mengabaikan isi kepalaku dengan segala fikiran aneh. Walau nyatanya Kafka mengabaikan apa yang kukatakan. Dia tetap saja memelukku.
"Apa kau tidak dengar apa yang kukatakan." Sekali lagi aku mencoba, sambil berusaha melepas diri dari pelukannya. Dan sepertinya Kafka tahu, jika aku mulai merasa tidak nyaman. Perlahan ia pun melepaskan pelukannya.
Saat pelukan itu terlepas, spontan aku berjalan menjauh darinya. Menatapnya dalam, "Aku tidak tahu, apa tujuanmu kemari. Tindakanmu tadi sangatlah tidak pantas. Aku bisa melaporkanmu sebagai bentuk pelecehan." Aku sengaja menekankan kata pelecehan. Sedikit menakutinya. Namun, sepertinya itu tidak cukup berhasil. Kafka memang melepas pelukannya. Tapi, ia tidak beranjak dari posisinya.
"Aku rindu kamu Tari." Pelan Kafka saat mengatakannya. Matanya, menatapku penuh kerinduan.
"Wow..., apa aku harus terkejut? Atau, apa aku harus menjawabmu jika aku juga merindukanmu." Aku diam sejenak, lalu tersenyum sinis ke arahnya. "Aku tidak butuh ucapan rindumu. Kehadiranmu di sinipun tidak lagi penting buatku. Jadi, ada baiknya kau pergi dari sini."
Kafka kembali berjalan menghampiriku. Namun, aku yang tidak mau lagi terjebak dengan kejadian sebelumnya, perlahan mundur. "Stop... jangan mendekat! Aku akan berteriak jika kau semaki maju."
Dan sepertinya apa yang kukatakan cukup berhasil. Kafka diam ditempatnya. Dengan kedua matanya, ia kembali menatapku. "Aku tahu, kamu membenciku. Aku salah. Tapi, percayalah kamu masih ada di sini." Kafka mengatakannya sembari menunjuk dadanya. "Aku benar-benar tidak bisa melupakanmu."
Mendengar ucapan Kafka, sontak membuatku tertawa. "Sinting kamu. Setelah mencampakkan, kamu seenaknya datang mengatakan rindu. Otak kamu di mana." Bara api di kepalaku mulai menyala. "Ada baiknya kamu pulang, dan jangan pernah kemari lagi. Hubungan kita cukup sebagai rekan kerja."
"Tari...please."
"Pintu di belakangmu. Kamu, bisa melihatnya kan. Jadi, kau pasti tahu jalan untuk pulang di mana." Usai mengatakannya, aku berjalan ke arah kamar. Meninggalkan Kafka.
@@
Keesokan harinya kuputuskan untuk mulai bekerja. Tanganku sudah cukup membaik. Walau terkadang masih terasa nyeri. Tinggal di apartemen juga bukan sesuatu yang menyenangkan. Menghabiskan waktu sendiri hanya akan membuatku meratapi kesedihan yang aku rasakan.
"Kenapa masuk?" Disty sepertinya sedikit terkejut, melihatku tiba-tiba muncul di kantor.
"Aku bosan di apartemen. Bekerja mungkin lebih baik. Daripada menghabiskan waktu dengan berbagai fikiran yang tak kunjung pergi."
Disty menghela napas, "Apa begitu sulit melupakannya?"
Kujawab anggukan, membuat Disty kembali menghela napas.
"Kamu masih menyukainya?"
Kali ini, aku tidak bisa menjawabnya. Suka dan benci, dua hal yang saat ini sulit kubedakan. Apa alasanku tidak beranjak, apa karena aku masih menyukainya. Atau hanya karena rasa benci yang mendalam. Atau ketidakrelaan atas semua perlakuan jahatnya padaku?
Melihatku diam, Disty seakan paham, ia lalu berjalan menghampiriku. Menepuk tanganku perlahan. "Walau sulit kamu harus berusaha melepasnya. Menyimpan rasa suka dan benci pada orang yang salah bukan hal yang bagus dipertahankan. Karena pada akhirnya, kamu yang akan terluka. Dan, kau tahu kan, aku tidak ingin kamu merasakannya."
Aku terdiam. Apa yang Disty katakan memang benar. Sebenarnya semua tergantung kemauan ku. Hanya saja, entah mengapa saat ini, aku masih merasa tidak puas. Aku benar-benar merasa tidak rela melihatnya baik-baik saja.
"Jangan berfikir balas dendam."
Perkataan Disty membuatku tersentak, seakan ia tahu apa yang aku fikirkan.
"Kenapa?"
Sekali lagi Disty menghela napas. Lalu menatapku lurus hingga aku bisa melihat banyanga diriku dalam kedua bola matanya.
"Karena aku tidak ingin kamu terluka."
Aku tidak menjawabnya, hanya saja kata terluka terngiang dikepalaku. Memangnya luka seperti apa lagi yang harus kurasakan. Aku sudah pernah merasakan luka yang dalam, jadi bukan masalah lagi jika aku merasakannya. Setidaknya hatiku puas. Karena sekarang aku tahu apa yang kumau. "Melihat Kafka dan Kalina terluka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Salah
RomantizmAku tahu semuanya menjadi begitu sulit sejak aku putuskan kembali masuk ke dalam hidupnya. Kadang aku bertanya apa aku masih mencintainya. Atau hanya sebuah kepuraan-puraan rasa. Hatiku sendiri merasa ragu. Akan tetapi yag kutahu aku ingin melakukan...