part 13

3.6K 473 33
                                    

Hai semuanya, sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena kalian sudah membaca ceritaku dan terima kasih karena selalu menantikan lanjutannya. Saya minta maaf karena updatenya sering lama. Untuk kedepannya kuusahakn paling lambat tiap sabtu perminggu. Tapi bisa juga lebih cepat. Kesibukan ditempat kerja membuat saya kesusahan membagi waktu. Sekali lagi saya minta maaf. Kuharap kalian tetap mau membacanya dan menantikan lanjutannya.🙏🙏

Hujan membasahi kota Makassar sejak semalam. Beberapa ruas jalan terlihat tergenang air. Sehingga menimbulkan kemacetan. Kendaraan berjejer berusaha mencari celah, agar si pengendara atau penumpang baik motor dan mobil saling berusaha mencari jalan. Dan salah satunya adalah aku. Karena aku memutuskan menginap dirumah mama, mau tidak mau rutinitas seperti ini harus kulalaui. Tadinya Lila adikku, berniat mengantar. Hanya saja kutolak. Ia harus kesekolah. Lagi pula naik motor ditengah hujan bukan solusi yang bagus. Aku juga tak mau membuatnya terlambat ke sekolah. Jadi kuputuskan menggunakan kendaraan onlie.

Dari dalam mobil, lantunan suara dari Raisa mengalun indah, terdengar lembut ditelingaku, seakan alam semesta sedang berkompromi.

Hadirnya tanya yang tak terjawab
Mampu menjatuhkanku yang dikira tegar
Kau tepikan aku, kau renggut mimpi
Yang dulu kita ukir bersama

Seolah aku tak pernah jadi bagian besar
Dalam hari-harimu
Lebih baik kita usai di sini
Sebelum cerita indah
Tergantikan pahitnya sakit hati

Bukannya aku mudah menyerah
Tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku 'kan menunggu tapi tak selamanya

Kau tepikan aku, kau renggut mimpi
Yang dulu kita ukir bersama

Seolah aku tak pernah jadi bagian besar
Dalam hari-harimu
Seolah janji dan kata-kata yang telah terucap
Kehilangan arti
Lebih baik kita usai di sini
Sebelum cerita indah
Tergantikan pahitnya sakit hati

Bukannya aku mudah menyerah
Tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku 'kan menunggu tapi tak…

Dari balik kaca mobil, pandanganku menerawang. Ingatan-ingatan masa lalu. Saat aku dan Kafka pertama kali bertemu. Kupejamkan mataku kenangan itu muncul lagi kepermukaan.

"Harusnya aku tak kemari. Ini semua gara-gara Rara. Ngapain juga dia menyuruh aku menunggunya di sini." Aku hanya bisa menggerutu. Hujan membuat ruas-ruas jalan terendam air, belum lagi kemacetan. Dan Rara sahabatku nekat mengajak bertemu di sini. Aku tidak menggeretu andai saja cuaca mendukung. Tapi, ini benar-benar buruk.

Saat masuk ke dalam cafe kulihat suasana cukup sunyi. Mungkin karena jam ditanganku masih menunjukkan pukul dua siang. Jam di mana pegawai kantoran masih belum beranjak.

Seorang pelayan tersenyum ramah padaku. Yang hanya kujawab anggukan sessat sebelum aku duduk di kursi yang ada didekat jendela. Dari balik kaca, kupandangi air hujan yang berjatuhan dari langit menyapa sang tanah. Beberapa orang mungkin tidak menyukainya tapi tidak denganku. Aku suka hujan, jangan tanya kenapa. Karena aku juga tak tahu. Atau mungkin, sejak kecil aku selalu dengar salah satu waktu terbaik doa dikabulkan adalah saat hujan turun. Dan itu kuyakini sampai sekarang.

Akupun memejamkan mataku, tiba-tiba saja aku ingin berdoa. Kupinta satu hal saat kubuka mata, aku ingin bertemu dengan seseorang yang kelak akan menjadi belahan jiwaku. Dan seakan alam semesta mengabulkan keinginanku, ssat kubuka mata, hal pertama yang kulihat adalah sosoknya, Kafka. Dia berdiri di depan pintu masuk. Menepis-nepiskan bajunya yang sedikit basah. Dia mencuri hatiku sejak pertama kali aku melihatnya.

"Mbak sudah sampai." Perkataan supir gocar membuatku kembali kekenyataan. Akupun menoleh ke luar. Dan benar, aku sudah berdiri didepan apartemen VidaView.

Akupun memberikan selembar uang kertas dua puluh ribuan pada sang sopir, walau sebenarnya totalnya tidak sebanyak itu. Hanya saja diwaktu hujan begini, aku tahu cukup sulit untuk mendapatkan penumpang. Biasanya orang-orang cukup malas kemana-mana.

Aku masuk kedalam lift menuju lantai lima belas. Satu hal yang kutemukan saat keluar dari lift, adalah sosoknya. Kafka berdiri didepan pintu. Terlihat memainkan ponselnya. Seakan sadar ada yang memperhatikannya dia pun mengangkat wajahnya. Menatapku tajam dan dalam. Sejujurnya aku merasa gugup. Jantungku bergemuruh, Tapi, dengan tenang aku berjalan menghampirinya.

Tak ada kalimat yang dia ucapkan. Saat aku berdiri tepat dihadapannya. Tapi, aku tahu dia terus menatapku. Tak ingin terpengaruh, kutekan tombol password. Hingga pintu apartemenku terbuka. Aku tak mengajak Kafka masuk, tapi tak juga kularang dia masuk. Walau kularanf ia pasti akan masuk.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Semua terjadi begitu cepat. Kafka menarik tanganku, memutar tubuhku tepat kehadapannya. Dan selanjutnya yang kurasakan, bibirnya menempel dibibirku. Terkejut tentu saja. Aku tak pernah mengharapkan ini, walau aku merindukan ciumannya. Bukan hanya ciumannya. Tapi, diri Kafka, sosok Kafka dan semua tentang Kafka. Mengabaikan tentang statusnya, kubiarkan dia menciumku. Kedua mataku kupejamkan, lalu kedua tanganku mengalung dilehernya membalas ciumannya. Kami berdua larut, aku bahkan tak tahu sejak kapan posisiku berada diatas meja didekat pantry. Sejenak Kafka berhenti. Menyatukan kening kami, membuatku bisa bernapas. Lalu kembali menciumku. Tapi, kali ini terasa lembut. Sangat lembut dan terasa manis, hingga aku merasa seakan ada  madu yang masuk kedalam mulutku.

Kafka menghentikan ciumannya, kulihat napasnya naik turun. Sama sepertinya, akupun mencoba menghirup napas panjang. Wajahku yang memerah bahkan tak lagi kufikirkan. Jantungku yang berdebar tak lagi kuhiraukan. Kami butuh oksigen, untuk bernapas.

Kafka mengecup keningku kembali, lalu mengusap pipiku lembut. "Kumohon Tari, jangan menghilang. Angkat teleponku dimanapun kamu berada. Aku bisa gila karena." Lirih Kafka saat mengucapkannya.

Aku tak tahu apa yang terjadi, apa karena telephonenya yang tidak kuhiraukan sejak semalam. Bukankah dulu ia bahkan sering mengabaikan pesan dan telephoneku.

"Kenapa Kaf, kenapa aku harus mengangkat telephonemu?" Kutatap Kafka lekat saat mengatakannya. "Aku siapa untukmu?" Dan semakin kutatap dirinya, "Bukankah aku hanya mantanmu. Wanita yang dulu kau janji untuk kau jadikan ratu diistanamu. Tapi, kau campakkan begitu saja saat wanita lain masuk kedalam hidup. Aku ini siapa Kafka, siapa untukmu."

Kafka membawaku dalam pelukannya. Memelukku erat seakan takut kehilangan akan diriku. "Kamu tahu Tari, sejak dulu kamu adalah ratunya."

Hanya itu yang dia ucapkan. Membuatku kembali merasa gamang. Lalu sebuah pertanyaan muncul. "Jika aku ratunya, kenapa kau meninggalkanku."

Namun, kembali lagi Kafka diam membisu. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang