Hening menyelimuti kami berdua. Walau demikian tangan Kafka tidak sekalipun ia lepaskan.
"Kamu gak mau duduk? Sejak tadi kamu berdiri?" Aku yakin ia merasa kelelahan berdiri. Tanganku bergerak menunjuk kursi yang tidak jauh dari sisi brankar.
Namun alih-alih meraih kursi Kafka memilih duduk di tepi brankar, tangannya bergerak meraih pundakku merengkuh aku dalam pelukannya.
"Kenapa bisa sakit? Aku tidak bisa tidur semalaman karena khawatir." Aku merasakan kehangatan bukan hanya pelukannya, tapi ucapannya membuatku terasa bahagia.
Aku tidak ingin menjawab, hanya semakin merapatkan tubuhku dalam pelukannya. Kuabaikan jarum infus yang menghalangi. Oh Tuhan, betapa aku merindukan pria ini. Bolehkah aku egois memilikinya.
Kami berdua memilih diam menikmati meresapi hangatnya pelukan yang dipancarkan oleh tubuh kami masing-masing. Walau Kafka tidak mengatakannya, aku yakin ia merasakan seperti yang kurasakan.
"Ada tamu?"
Seketika aku melepaskan pelukannya. Lalu sedikit kikuk Kafka turun dari brankar. Berusaha mengatur mimik wajahnya yang tadi merasa malu. Sambil tersenyum kepada wanita yang telah melahirkanku.
"Mama kenalkan ini Kafka."
Mama mengangguk. Kulihat Kafka menyodorkan tangannya hendak memperkenalkan diri. "Kafka," ujarnya.
Mama tersenyum lembut. Membalas uluran tangan Kafka. "Sinta, mamanya Tari."
Usai perkenalan terbilang singkat Kafka memutuskan untuk pamit dengan alasan ada meeting. Sepeninggalan Kafka, diam-diam sudut mataku melirik mama. Ada rasa penasaran menghampiri, perkenalan mereka terlalu singkat untuk seorang ibu yang mendapati anaknya dipeluk oleh seorang laki-laki.
"Mama tidak penasaran siapa dia? Mama tidak mau tahu?"
Mama meletekkan buah apel yang ia bawa. Lalu berjalan menghampiriku. "Penasaran. Ibu mana yang tidak penasaran lihat anaknya dipeluk laki-laki."
"Lalu kenapa diam? Mama cuma sebut nama."
Mama meraih apel dan pisau yang ia letakkan diatas meja. Dengan cekatan tangannya bergerak mengupas kulit apel. Lalu memberikannya kepadaku. Sosoknya terlihat tenang. Tidak ada raut penasaran yang ia perlihatkan
"Nanti juga kamu bakal cerita. Kalau kamu sudah cerita, mama baru bakal tanya lebih banyak." Mama lalu meletakkan pisaunya kembali ke atas meja disisi brankar. Kemudian menatapku dengan sorot mata yang sulit aku artikan. "Kalau mama tanya siapa dia, apa kamu sudah punya jawaban yang tepat untuk menjelaskan posisinya?"
Jleeebbb... Kata-kata Mama membuatku tercekat. Seperti ada yang menahan ditenggorokan. Aku lupa jawaban yang akan kuberikan ketika mama menjawabnya. Tidak mungkin aku menjawab dia kekasihku dengan status pria beristri dan anak satu. Aku tidak siap untuk banyak kemungkinan buruk jika aku mengatakannya.
@@
Tiga hari di rumah sakit, akhirnya aku bisa pulang. Tadinya mama meminta aku pulang ke rumah, tapi aku lebih memilih pulang ke apartemen. Lagipula esok aku sudah memutuskan untuk kembali bekerja.
Bicara tentang Kafka, dia tidak datang di hari lainnya. Aku melarangnya. Mama tidak pernah beranjak dari sisiku. Walau aku tidak tahu alasannya apa. Aku tidak siap menjelaskan siapa Kafka pada mama. Lagi pula sekalipun Kafka tidak datang. Dia sering menghubungiku lewat WhatsApp. Selain itu menurut Disty, Kalina dan Gio sering muncul di kantor. Entah apa yang dia lakukan di sana. Mengawasi Kafka mungkin.
Terasa bosan diapartemen, bingung tak tahu harus melakukan apa, aku mencoba menghubungi Kafka. Memintanya untuk datang mungkin menyenangkan. Aku bisa bermanja dipelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Salah
RomanceAku tahu semuanya menjadi begitu sulit sejak aku putuskan kembali masuk ke dalam hidupnya. Kadang aku bertanya apa aku masih mencintainya. Atau hanya sebuah kepuraan-puraan rasa. Hatiku sendiri merasa ragu. Akan tetapi yag kutahu aku ingin melakukan...