part 1

13.9K 642 10
                                    

PART 1

Aku terbangun dari tidurku dengan peluh yang membasahi seluruh wajah. Mimpi itu datang lagi. Untuk kesekian kalinya. Kadang kala aku benci dengan situasi ini. Ini sudah cukup lama berlalu. Bahkan sudah dua atau tiga tahun lebih. Tapi, tidak sekalipun aku bisa beranjak menjauh dari bayangan itu.

Aku hanya mampu menarik napas panjang. Rasanya begitu melelahkan. Dengan malas, aku memilih bergegas membersihkan tubuhku berharap hari akan dimulai dengan baik, walau faktanya saat mimpi itu datang, hariku akan menjadi jauh lebih kacau.

Aku dan keseharianku selalu terdengar monoton. Tidak banyak yang berubah dari kegiatanku. Aku lebih banyak di rumah dan kantor. Terkadang lupa kapan terakhir kali aku melakukan liburan bersama rekan kerjaku. Atau bahkan teman-temanku.

"Pagi Tari," Disty rekan kerjaku, langsung menyapa begitu ia melihatku. Akupun menoleh dan tersenyum lembut padanya.

"Tumben Dis, datangnya pagian?"

"Gue gak nginap dirumah." Bisiknya padaku. Seakan takut akan ada yang mendengarkannya. Aku tahu dia kemana. Dia pasti menghabiskan malam dengan Pram, kekasihnya.

"Kamu betah sama dia? Kenapa gak diresmiin aja sih. Toh hubungan kalian juga sudah sejauh itu." Sejujurnya aku merasa heran, Disty gadis yang cantik. Dan Pram pria tampan dengan kemapanan yang luar biasa.

Disty tersenyum miris. "Sepertinya itu gak bakal ada dalam kisah kami." Usai mengatakannya, dia pun berjalan meninggalkanku yang terdiam. Aku tahu seharusnya pertanyaan itu tidak kuajukan. Karena faktanya aku tahu alasan Disty dan kekasihnya tidak bisa bersama. Pram adalah seorang pria yang sudah menikah. Ada saat di mana aku ingin sekali bertanya mengapa dia senekat itu, mau menjadi wanita yang disembunyikan. Tapi, entah mengapa bibirku terasa kaku. Bukan urusanku jika Disty memilih menjadi yang kedua. Tiap orang punya kisah sendiri dalam hidupnya.

"Tari, file yang kemarin sudah kamu print kan?" Andi salah satu rekan di kantor langsung menghampiri begitu melihat aku tiba di kubikelku. Aku mengangguk singkat. Lalu mengeluarkan map dari dalam laci dan segera memberikan padanya.

"Thanks ya, kamu sudah bantu aku. Aku bakal traktir kamu," ujar Andi padaku. Yang kujawab dengan senyuman tipis. Sebelum berlalu dari hadapanku.

Aku bekerja diperusahaan ini sudah lumayan lama. Sudah sekitar delapan tahun. Lima tahun yang Lalu aku bekerja di Kantor pusat. Tapi, karena kejadian itu aku memilih menjauh dari sana. Untungnya saat aku membutuhkan pelarian, satu keajaiban datang. Perusahaan cabang di kota Makassar membutuhkan karyawan. Dan saat mengetahuinya, dengan segera aku mengajukan diri. Karena aku tidak ingin berada di kota yang membuatku merasa sesak. Lagi pula pulang ke rumah bukankah jauh lebih baik. Keluargaku di sini jadi semuanya jauh lebih mudah. Walau faktanya aku masih belum bisa lepas dari bayangan masa lalu. Luka itu masih tinggal dan membentuk akar. Sudah berapa kali aku mencoba mencabutinya, tapi rasanya begitu sulit. Semakin kucoba malah semakin membuatku merasa sesak napas. Hingga kuputuskan membiarkannya. Aku ingin tahu, sejauh mana duri itu akan menggerogotiku.

**

"Kau tidak makan siang?" Disty duduk di hadapanku. Gadis itu menatapku tajam. Dia pasti hendak mengeluh. Selama ini dia mengenalku sebagai wanita yang gila kerja. Aku ingat Disty pernah mengeluh. Kata-katanya bahkan masih jelas ditelingaku. "Mau sampai kapan kamu menghabiskan waktumu seperti itu. Kamu harus menikmati hidupmu. Hidup terlalu singkat untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Kamu harus ke luar dan bertemu seseorang. Agar hidupmu berwarna."

"Makan yuk, gue laper banget nih." Gerutunya, gadis itu mengusap-ngusap perutnya, sedikit mendramsitir keadaan.

Aku mengangguk, lalu berdiri dari kubikelku. Mematikan computer dan merapikan beberapa barangku. Kamu duluan saja, tunggu aku dibawah. "Aku mau ke toilet dulu."

Disty mengangguk. "Jangan lama-lama. Nanti bakso gorengnya keburu habis." Aku mengangguk, seraya tersenyum tipis padanya.

"Iya, aku lagi di toilet. Kamu tunggu sebentar." Dari dalam kamar mandi, samar-samar kudengar suara seorang wanita.

"Mas Kafka sabar sedikit kenapa sih. Ini juga lagi bersihkan tangan."

Mendengar nama Kafka tiba-tiba saja jantungku berdetak kencang. Ada rasa tidak nyaman menghantuiku. Entah kenapa aku merasa begitu gelisah bahkan hanya mendengar namanya saja.

"Iya iya ini sudah mau ke luar." Kembali wanita itu berbicara.

Aku bersandar pada dinding di dalam kamar mandi, sambil tanganku bergerak memegang dadaku yang tiada henti berdetak. Tanpa kusadari perlahan air mata jatuh membasahi pipiku. Aku kenapa? Aku pasti salah. Nama itu hanya sama. Itu pasti bukan dia. Ya itu bukan dia. Mencoba menyakinkan diri, kutarik napas panjang berharap semua keresahan dalam hati bisa menghilang.

"Lama banget sih di toilet?" Disty langsung menggerutu padaku.

"Maaf, perutku sedikit bermasalah." Bohong, ya aku berbohong padanya. Orang lain tidak perlu tahu apa yang terjadi tadi.

"Ya sudah,  kita cari makan sekarang. Jam istirahat hampir berlalu." Aku hanya mengangguk, sembari mengikuti Disty. Aku bersyukur, setidaknya ia tidak tahu kegelisahanku.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang