Apa impianmu saat dewasa nanti?
Aku ingat pertanyaan ini. Sering sekali orang disekitarku menanyakannya. Saat itu aku tak tahu kalau hidup manusia tidak pernah berjalan mulus.
Dulu aku ingin menjadi seorang Dokter. Aku ingin menolong orang-orang yang kusayangi dan membantu orang yang kesusahan. Dan saat kulihat Kafka yang tengah terbaring dengan infus ditangannya, membuat cita-citaku yang sudah lama terkubur terngiang kembali.
Aku bersyukur kondisi Kafka baik-baik saja. Kafka kelelahan ditambah pola makan yang tidak teratur, hingga ia jatuh pingsan. Tadinya aku ingin pulang. Dan hendak menghubungi Kalina. Tapi, melihat wajah damainya yang tengah terlelap aku enggan meninggalkannya. Dan kuputuskan menemaninya hingga ia sadar.
"Kau sudah sadar?" Tanyaku padanya begitu kulihat kedua mata Kafka yang terpejam mulai terbuka. Sesaat ia meringis. Dan mencoba bergerak, namun aku melarangnya.
"Kamu gak boleh banyak gerak dulu, magmu kambuh. Kamu juga kelelahan. Aku kan sudah bilang kamu harus jaga kondisimu. Pola makanmu dari dulu gak berubah. Kenapa sih kamu gak bisa makan dengan benar. Kamu pasti masih ngerokok dan minum kopi. Kamu tahukan dua hal itu gak bagus buat orang penderita mag kayak kamu."
Aku tak sadar terus berceloteh.
"Aku suka kamu mengkhawatirkan aku seperti dulu." Pelan Kafka mengatakannya.
Aku terdiam. Sedikit salah tingkah dan merasa malu akan sikapku.
"Dulu kau juga selalu marah dan berkata seperti itu saat aku sakit." Lagi Kafka berkata. Membuatku teringat masa-masa saat kami bersama dulu.
Kutarik nafas pelan, kutatap ia lembut. "Kamu nunggu aku di Bazement?"
Kafka mengangguk. "Kamu gak datang, tapi aku masih menunggumu."
"Kenapa?" tanyaku penasaran. Aku tak tahu kenapa Kafka melakukan itu.
"Karena aku ingin makan denganmu."
Aku kembali menghela napas. Sambil bergerak membantu Kafka yang sejak tadi memaksa bangun. Kubiarkan ia bersandar pada brankar yang bagian belakangnya kutinggikan.
"Harusnya kamu tidak melakukan itu. Harusnya saat kamu lihat aku tidak datang, jangan menungguku."
Kafka meraih tanganku. Mengecupnya perlahan. Lalu menatapku lembut. "Dulu kamu yang menungguku, sekarang biarkan aku yang menunggu dan mengejarmu."
Aku tak tahu harus berkata apa. Tidak bisa kupungkiri perkataan Kafka terasa hangat masuk kerelung hatiku.
"Kenapa Ka... kenapa baru sekarang kamu bersikap begini. Kenapa bukan sejak dulu. Saat aku selalu menangis memohon perhatianmu."
Kafka tak menjawabku, yang ia lakukan hanya membawaku ke dalam pelukannya. "Maaf." Hanya itu yang terus ia ucapkan. Dalam pelukannya aku menangis.
"Kenapa baru sekarang Ka? Kenapa bukan sejak dulu, saat kau bukan miliknya. Kenapa harus wanita itu, kenapa bukan aku Ka."
Kafka tidak menjawab, ia hanya diam. Namun semakin memelukku erat.
@@
Tiga hari Kafka tak masuk kerja. Aku hanya sehari menemaninya. Karena keesokan harinya saat aku tiba di sana, bersama rekan-rekan ditempat kerja, ada Kalina yang tengah menyuapinya. Ditambah Gio yang tengah memeluk sang ayah posesif.
Aku cemburu, mataku bahkan terasa perih. Aku tak tahu, apa Kalina sengaja mempertontonkan kemesraan mereka. Ditambah kalimat pujian sebagai pasangan serasi dan saling mencintai membuatku semakin muak.
Tapi, yang terparah, saat aku dan yang lain tiba bukan hanya kehadiran Kalina yang membuatku terkejut. Di sana ada sahabat Kalina dan Kafka. Ada Gerry, Eza, Gita dan Tobby. Kehadiran mereka membuatku merasa tak nyaman. Dan sepertinya bukan hanya aku yang terkejut. Tetapi mereka juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Salah
RomanceAku tahu semuanya menjadi begitu sulit sejak aku putuskan kembali masuk ke dalam hidupnya. Kadang aku bertanya apa aku masih mencintainya. Atau hanya sebuah kepuraan-puraan rasa. Hatiku sendiri merasa ragu. Akan tetapi yag kutahu aku ingin melakukan...