part 21

1.7K 302 52
                                    

Hujan selalu jatuh disaat yang tepat. Seperti suasana hatiku saat ini yang sedang kacau. Wajah tawa bahagia mereka menghantuiku. Harusnya aku tidak usah memedulikan rasa ini. Tapi, aku tak bisa mengabaikannya.

Sementara itu di depanku Disty menatapku dalam diam. Ia tidak bertanya. Mungkin menunggu aku buka suara sendiri.
Aku menoleh kearahnya, tersenyum kecut. "Aku pasti terlihat sangat bodoh."

Disty mengangguk. "Kau tahu, harusnya kau tak perlu menangis saat melihat mereka. Saat kau memutuskan untuk kembali bersamanya, kau harus siap dengan segala keadaan dan konsekuensinya."

"Kamu fikir kami kembali bersama?"

Kulihat Disty kembali mengangguk. Jujur saja aku tak yakin ia mengetahuinya. Selama ini kami berusaha bersikap biasa-biasa saja. "Bagaimana bisa kamu tahu?"

Disty menghela nafas. Ia lalu menatapku sendu. "Aku pernah diposisimu. Walau demikian tanpa kamu mengatakan apapun aku bisa menarik kesimpulan. Dan hubungan kalian bukan lagi sekedar kembali bersama, bukan?" Disty lalu menunjuk leherku, "Disana tercetak jelas jejak yang Kafka tinggalkan."

Diam-diam aku mengumpat. Aku cukup teledor. Bagaimana jika selain Disty ada yang menyadarinya.

Kutatap Disty sendu, "Apa kau akan menghakimi ku?"

Disty menggelengkan kepalanya. "Teman tak akan meninggalkan. Teman menasehati dan mengingatkan. Kau pernah melakukan ini untukku dan sekarang aku akan melakukannya untukmu."

Setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Sementara di luar hujan semakin deras, tangisku pun semakin pecah. Disty lalu berdiri dari tempatnya duduk. Meraih kursi disampingku dan memelukku. "Jangan ditahan. Menangislah jika kamu memang berfikir pantas untuk menangis?"

Seiring hujan yang semakin deras, air mataku pun tak terbendung. Tangisku pecah. Aku tak tahu apa yang kutangisi. Apa yang kulihat tadi, atau kebodohan ku yang kembali merajut asa dengannya?

Saat tangisku mulai reda, Disty melepaskan pelukannya. Ia kemudian memberikanku segelas air minum.

"Sudah enakan?"

Kuanggukan kepalaku. Tersenyum tipis ke arah Disty. "Thanks."

"It's okay. Jika kamu butuh sesuatu kamu bisa menghubungiku."
Disty diam sejenak, lalu meraih tenganku. "Andai aku memintamu berhenti, apa kamu sanggup melakukannya?"

Aku menggeleng lemah. "Aku tahu ini salah Dis, tapi aku nggak bisa berhenti. Ini waktunya aku mengambil apa yang harusnya jadi milikku."

Disty menatapku sendu. Siapapun pasti tidak akan suka jika temannya yang jadi perusak rumah tangga. "Kau  tahu, jalan yang kau tempuh ini rumit. Jadi jangan pernah perlihatkan sisi lemahmu sekalipun dunia menghujatmu. Mungkin ini terlambat jika aku memintamu berhenti, tapi jika ditengah jalan kau tidak kuat, berhentilah. Jangan memaksakan dirimu." Disty menepuk tanganku pelan, tersenyum tipis kearahaku, "Kuharap akhirmu bisa lebih baik dari kisahku."

Usai mengatakannya Disty tak berkata apa-apa lagi. Kami berdua diam hanyut dalam fikiran masing-masing.

Saat malam semakin panjang, hujan pun mulai reda. Disty sendiri sudah pulang lebih dahulu. Tadinya ia mengajakku untuk ikut dengannya. Tapi, aku masih ingin di sini. Walau dingin mulai menusuk kulitku, aku menyukainya. Daripada pulang dengan keadaan hampa dan kesepian.

"Boleh aku duduk?"

Kutorehkan wajahku ke arah suara yang menyapaku. Kulihat sosok Gerry berdiri di depanku dan tanpa kupersilahkan, ia duduk seenaknya di depanku mejaku.

"Sendirian?"

Aku menoleh kearahnya, menatapnya tak suka. "Menurutmu?"

Gerry mengangkat kedua tangganya ke depan dadanya. "Kafka pasti bersama keluarganya malam ini. Cuaca seperti ini tempat ternyaman adalah rumah."

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang