part 2

7.1K 549 3
                                    

Cuaca pagi ini begitu dingin. Mungkin karena sisa-sisa hujan semalam masih tersisa. Bersyukur jalanan tidak begitu macet. Hingga aku bisa tiba dengan cepat di kantor. Tidak butuh waktu lama untuk tiba, dikarenakan jarak tempat aku bekerja dan tinggal tidaklah jauh.

Saat  tiba kulihat beberapa rekan kerja sudah terlihat sangat sibuk. Dan tentu saja ini membuatku heran. Masih terlalu pagi untuk berkutak dengan dokumen-dokumen. Disty dan Andi bahkan terlihat serius. Sedikit penasaran, aku menghampiri mereka.

"Sibuk banget, ini masih pagi loh. Kalian gak ngopi dulu?"

Disty menoleh, bibirnya mengerucut. "Boro-boro mau minum kopi, gara-gara Andi gue harus berkutak dengan dokumen sepagi ini."

"Ya mau gimana lagi Dis, boss besar maunya sekarang. Jadi suka gak suka ya harus mau mengerjakannya." Kali ini Andi yang berbicara. Pria itu terlihat merapikan beberapa dokumen, kadang-kadang ia membacanya. Memastikan apa sudah betul atau tidak.

"Tumben boss besar minta sepagi ini? Memang itu dokumen apa sih?" Jujur saja aku merasa heran.

"Itu loh, proyek pembangun hotel di atas laut."

Aku ingat Pak Tio, Kepala Cabang perusahaan tempat aku bekerja memang sedang mengerjakan proyek pembangun hotel.

"Nah, pak Tio tahu-tahu dipindahkan ke Jakarta. Parahnya dadakan. Hari ini saja sekitar jam dua belas siang, Pak Tio harus terbang ke Jakarta. Tapi, sebelum dia pergi dokumen dan beberap file mengenai pembangunan hotel tersebut harus sudah siap. Karena Pak Tio mau langsung serah terima dalam keadaan beres sama penggantinya. Biar nggak repot lagi harus mengurus ini dan itu. Makanya gue sama Andy harus datang pagi-pagi buta hanya ngurus ini."

Aku terdiam mendengar perkataan Disty, entah mengapa ada yang mengganjal. Aku sekertaris Pak Tio. Tapi, tidak mengetahui dia akan pindah. Ini aneh dan itu membuatku merasa tidak nyaman. "Aku kok gak tahu, kalau pak Tio mau pindah. Aku kan sekertarisnya Dis?"

Disty dan Andy menoleh, keduanya pun baru sadar sejak tadi aku hanya bertanya. Padahal posisiku harusnya lebih tahu dari mereka.

"Kamu yakin gak tahu?" tanya Andy heran, yang kujawab anggukan.

"Kalau bukan kalian yang bilang mana aku tahu. Aku ke ruangan pak Tio dulu ya. Ada baiknya aku tanya langsung sama beliau."

Tanpa menunggu jawaban mereka, aku bergegas ke ruangan Pak Tio.

"Boleh aku masuk pak?" tanyaku pada pria berusia empat puluh lima tahun itu.

Kulihat Pak Tio menoleh, pria itu tersenyum ramah padaku. Masuk aja Tar. Aku perlahan berjalan masuk keruangan pak Tio. Kulihat beliau sudah merapikan beberapa barangnya.

"Bapak beneran pindah ke kantor pusat? Saya kok nggak tahu bapak mau pindah?"

Pak Tio tersenyum tipis. "Dadakan Tar, semalam aku mencoba menghubungimu. Tapi, ponsel kamu gak aktif. Saya kirim ke email sepertinya kamu juga gak baca."

Aku terdiam. Meringis dalam hati. Rupanya aku lupa menghidupkan ponselku. Saat pulang kerja kemarin, aku memilih langsung beristirahat. Satu hal yang membuatku heran, aku tidak bermimpi. Tidurku bahkan begitu nyenyak.

"Maaf pak, sepertinya saya kelelahan." Aku merasa tidak enak pada beliau. Bagaimanapun pak Tio adalah Bos yang baik dan ramah. Beliau juga sangat bijaksana. "Tapi, kenapa dadakan? Bapak juga gak pernah bilang bakal pindah?"

"Sebenarnya nggak dadakan. Saya sudah mengajukan permintaan mutasi ini dari dua bulan lalu. Kamu tahu kan, istri saya lagi sakit. Tinggal berjauhan membuat saya tidak efisien. Dia membutuhkan saya. Tadinya jika tidak disetujui, saya malah memilih resign. Untungnya pengganti saya bersedia. Tapi, saya harus menunggu dulu, karena dia masih harus menyelesaikan proyek yang sedang ditangani. Nah dua hari yang lalu istri saya collaps lagi, makanya saya langsung mengajukan permintaan dadakan ini. Syukurnya beliau dan pemimpin perusahaan bersedia, jadilah semuanya dadakan."

Aku menyimak setiap perkataan pak Tio. Aku tahu dia suami yang baik. Cintanya pada sang istri begitu besar dan tak lekang waktu. Jujur saja sebagai wanita, aku benar- benar merasa iri pada istrinya. Berharap kelak aku akan mendapat seseorang yang seperti beliau.

"Pengganti saya masih muda, tapi sayangnya sudah punya istri. Padahal andai masih bujang, aku mau jodohin kalian." Pak Tio tertawa tipis saat mengatakannya. Yang mau tak mau juga membuat ku tersenyum. "Saya sudah bilang sama dia tentang kamu. Jadi, kemungkinan kamu masih tetap jadi sekertaris, tapi bukan untuk saya lagi, melainkan pengganti saya."

Aku tersenyum dan menggangguk pada Pak Tio. Pasti menyedihkan tidak bisa bekerja sama lagi dengan beliau. Tapi, keputusan yang beliau buat sangatlah tepat. "Terima kasih pak untuk semua bimbingannya. "Saya senang bekerja sama dengan bapak."

Pak Tio mengulurkan tangannya, yang segera kusambut. Bibirku tersenyum tipis.

Waktu terasa berjalan begitu cepat hari ini. Suara denting jam di dindin menyapa telingaku. Ternyata sudah jam satu siang. Pak Tio sudah berangkat satu jam yang lalu. Dan entah mengapa aku merindukan suasana kerja dengan beliau. Kutarik nafas perlahan,  sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan yang beliau tinggalkan padaku, untuk selanjutnya diserahkan ke boss yang baru. Sesekali aku menatap ke balik ruangan yang berdinding kaca itu. Sedikit membayangkan seperti apa sosok pengganti beliau. Apakah seramah beliau atau justru sebaliknya.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang