Kejadian yang menimpa Disty, cukup mempengaruhiku. Rasa takut itu datang begitu saja. Bayangan Disty yang diserang masih terngiang dikepalaku. Bahkan hingga malam tiba, tak juga membuatku merasa tenang. Batinku seakan berperang. Saling teriak antara logika dan nurani. Sisi iblis dan malaikatku tengah beradu. Mungkin benar kata orang, berbuat jahat itu mudah. Tapi, untuk memulainya sulit.
Karena mata yang tak kunjung terlelap, kuputuskan bangun dan berjalan ke arah balkon. Menikmati langit malam kota Makassar.
Dalam hening, ingatanku kembali ketadi siang.
Usai wanita itu pergi, aku memutuskan mengajak Disty ke toilet. Aku tahu kondisinya sedang tak baik-baik saja. Bisa kulihat tubuhnya gemetar. Rambutnya berantakan. Belum lagi aku yakin, cibiran dan sebutan akan pelakor akan segera terdengar. Walau demikian, bisa kulihat dalam kekalutannya, Disty mencoba bertahan.
Tangis Disty pecah begitu kami tiba di toilet, yang sengaja aku kunci. Aku tak ingin orang lain masuk. Dan melihat kondisi Disty yang seperti ini. Aku tak mengatakan apapun. Kubiarkan ia menangis dalam pelukanku.
Saat tangis Disty tak terdengar lagi, akupun melepas pelukanku. Kulihat ia tersenyum tipis, walau sedikit dipaksakan. Sesekali ia masih sesenggukan.
"Thank's Tar... aku nggak tahu kalau gak ada kamu, mungkin aku gak bisa bertahan."
Aku tersenyum. Kuraih tangannya sambil sesekali menepuk-nepuknya pelan.
"Kamu gak menghakimiku?" Lirih Disty mengatakannya. Wajahnya tertunduk lesu, mungkin ia merasa malu.
Aku menggeleng. "Kenapa aku harus menghakimu?" Senyum tipis kusematkan padanya, "Apa yang terjadi tadi, aku tidak ada kepentingan di sana. Selain memastikan kalau wnaita itu tidak menyakitimu."
Disty mengangkat wajahnya menatapku lembut. "Kamu gak marah?" Wajahnya terlihat penasaran.
Aku menggeleng. "Kenapa aku harus marah?"
"Kamu tahukan perbuatanku sehingga wanita itu marah. Aku pantas mendapatkannya. Bahkan lebih dari itu aku pantas." Setetes air mata jatuh membasahi wajahnya. Spontan tanganku bergerak mengusapnya.
"Aku fikir, apa yang terjadi tadi sudah kamu prediksi dari awal saat kamu memutuskan bersama suami wanita itu. Jadi, bukan ranah aku untuk memarahimu. Itu hidupmu, kamu yang menentukannya. Aku bukan membenarkan tindakanmu. Hanya saja, aku tidak ingin mengadili hal yang bukan urusanku. Sebagai temanmu aku hanya bisa memberimu kekuatan dan memelukmu. Karena yang kutahu teman tidak meninggalkan tapi mengingatkan. Dan sebagai temanmu aku juga salah karena tak pernah mengingatkanmu. Kufikir aku turut andil, membiarkanmu."
Aku merasakan ingin muntah, setiap kalimat yang ke luar dari mulutku rasanya hanya bualan belaka. Aku begitu pandai mengatakannya, tanpa Disty tahu kalau aku tak jauh beda dengannya. Tiba-tiba aku merasa miris, apa julukan jalang dan pelakor akan disematkan juga padaku kelak.
Dalan keterdiamanku, Disty meraih tanganku membuatku tersenyum ke arahnya. "Aku tahu ada banyak hal yang belum selesai antara kamu dan Kafka. Tapi, sebagai sahabat aku mohon cukup aku yang begini, jangan kamu."
Aku merasa gamang. Bahkan senyumku terasa kaku. Ucapan Disty membuatku tak nyaman.
Perkataan Disty tadi cukup membuatku terganggu. Tapi, aku tak bisa mundur. Aku sudah memilih jalan ini.
@@
Kejadian kemarin ternyata tidak seheboh yang kubayangkan. Suasana kantor hari ini cukup tenang. Aku tak mendengar bisik-bisik atau sindirian dari rekan-rekan kami. Disty pun terlihat tenang seakan tidak ada yang terjadi. Mungkin Kafka sudah memperingatkan mereka agar tak membahasnya. Atau mereka sudah tak mau ambil pusing. Tapi, begini lebih baik. Urus hidup masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Salah
RomanceAku tahu semuanya menjadi begitu sulit sejak aku putuskan kembali masuk ke dalam hidupnya. Kadang aku bertanya apa aku masih mencintainya. Atau hanya sebuah kepuraan-puraan rasa. Hatiku sendiri merasa ragu. Akan tetapi yag kutahu aku ingin melakukan...