part 14

3.3K 441 43
                                    

Cuaca pagi ini terlihat cerah. Sisa hujan semalam masih terlihat. Beberapa jalan masih tergenang air. Walau tidak separah saat hujan turun. Suasana hatiku pun cukup bagus. Kufikir hari ini akan berjalan lebih baik.

Suasana kantor masih terlihat sunyi saat aku tiba di sana. Maklum saja sekarang masih pukul tujuh. Jam kerja baru akan dimulai pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Sambil menunggu yang lain datang, kuputuskan masuk ke ruangan Kafka. Merapikan barang dan beberapa dokumen yang terlihat memenuhi mejanya.

Satu hal yang mengusikku. Diatas sana ada foto keluarga mereka. Terlihat sangat harmonis. Anaknya pun sangat tampan. Ada rasa marah menyelimutiku. Aku tidak suka melihatnya. Kutarik napas panjang lalu perlahan kuhembuskan, berharap rasa marah ku bisa hilang.

Aku tak sadar saat sebuah tangan memelukku dari belakang. "Aku senang melihatmu pagi ini. Sepertinya hariku akan lebih menyenangkan."

Walau ia tidak menyebutkan namanya, aku tahu siapa dirinya. Bukan hanya suaranya, tapi wangi yang keluar dari tubuhnya masih sama, mungkin akibat parfum mahal yang ia gunakan. Sejak dulu Kafka menggunakan parfum merk Hugo Boss Bottled. Keistimewaan parfum ini ada pada tiga lapisan keharuman yang diberikan. Ada aroma vanilla lembut eksotis, dipadu harum woody yang maskulin dan disusul kesan wangi apel yang membuat pria terlihat gentlemen tapi manis. Kesan yang dimiliki pemakai parfum ini tentu modern, elegan, dan stylish. Dan sosok Kafka memang seperti itu di mataku dulu.

"Apa yang kau lakukan, orang-orang akan melihatmu. Ini kantor." Kuajukan protes padanya. Dengan santainya Kafka memutar tubuhku tepat kehadapannya, hingga jarak kami sangat dekat.

Alih-alih menjawab, Kafka kembali mengecup bibirku. Awalnya aku menepisnya, hanya saja sudut mataku menangkap wajah Kalina walau hanya sebatas foto membuat kekesalanku semakin naik. Akupun memejamkan kedua mata. Membalas ciuman Kafka. Aku suka cara ia menciumku. Selalu lembut dan terasa manis. Walau aku merasa murahan dan mudah terperdaya itu tidak masalah. Aku benar-benar ingin membuat Kalina merasakan hal yang pernah kurasakan.

Kafka menghentikan ciumannya, deru nafas terdengar dari mulut kami berdua. Wajahku memerah. Jantungku berdetak. Lalu kulihat ia tersenyum. Mengecup keningku perlahan dan sangat lembut. "Tari, kamu milikku." Sekali lagi ia mengecup keningku. "Hanya milikku." Penuh penekanan kala ia mengatakannya.
Aku memilih diam, tak menanggapi perkataannya. Kafka membawaku dalam pelukannya. Memelukku erat, seakan ini pelukan ini yang terakhir.

"Aku tahu, kamu pasti kecewa akan perbuatanku. Tapi, ternyata berpisah denganmu terlalu berat buatku." Pelan Kafka kala mengatakannya.

Aku tak tahu bagaimana mimik wajahnya saat ia mengatakan hal tersebut. Jadi, aku pun tak menanggapinya.

Kafka melepas pelukannya. Mengecup keningku singkat. Senyum tipis terbit dari bibirnya. Tangannya membelai lembut pipiku. "Aku sayang... ah bukan hanya sayang, tapi cinta sama kamu. Selalu, seperti pertama kali aku mengenalmu."

Bolehkah aku tersanjung atas ucapannya. "Kalau kamu sayang apa lagi cinta sama aku, kenapa yang kamu nikahi dia, bukan aku?"

Kafka diam, kulihat ia menghela nafas. Mungkin ia kesulitan menjawabnya.

"Bahkan kau tak bisa menjawabku."

Sekali lagi kulihat Kafka menghela nafas. Lalu ia menatapku lembut. "Aku tak punya jawaban. Tapi percayalah aku sayang sama kamu. Aku mau kita bisa sama-sama lagi, seperti dulu."

Aku tersenyum sinis mendengar ucapannya. Aku memilih diam, enggan menanggapinya. Dalam hening, dering ponselnya berbunyi. Kafka pun bergegas mengangkatnya. Aku tak suka mendengar nama wanita itu keluar dari bibirnya.

"Apa yang akan kudapatkan jika aku mau bersamamu lagi?" Aku tak tahu, apa yang kukatakan. Semuanya terucap begitu saja.

Kafka sedikit terkejut, pasalnya aku mengatakan kala ia masih berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Aku yakin itu istrinya. Walau sekilasm aku bisa mendengar saat Kafka menyebutnya tadi.

Kafka bergegas mematikan ponselnya. Lalu memelukku singkat. Tersenyum tipis padaku. "Apapun yang kamu mau akan kuberikan."

Aku diam tidak menanggapi perkataannya. Karena aku pun merasa bingung akan ucapanku tadi.

"Apa boleh kuartikan diammu sebagai tanda kau menerimaku kembali. Bersama kembali seperti dulu?" Lagi, Kafka mengatakannya. Ia meraih tanganku. Mengecupnya sekali-kali.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Memilih diam ternyata bukan keputusan yang tepat. Tapi entah mengapa aku tak mau berkata tidak. Walau sisi batinku menyuarakkan kata jangan. Memintaku berhenti dari kegilaan yang bisa jadi malah melukaiku nantinya.
Tapi, sepertinya setan sedang bersorak lebih banyak dikepalaku. Hingga keputusan gila telah kubuat. Walau aku tahu keputusan yang kubuat hari ini pasti akan merubah banyak hal kedepannya. Kupejamkan kedua mataku, ingatan akan aku yang menangis sendirian disaat ia dan Kalina tengah tertawa bahagia membuatku merasa marah. Perlahan kubuka kedua mataku. Kutatap kedua matanya lekat. "Bukankah ini waktunya," batinku berkata.
Perlahan kuanggukkan kepalaku, kutarik dasinya agar posisinya semakin dekat denganku. Lalu kali ini aku menciumnnya. Ciuman yang berbeda dari sebelumnya, ciuman yang berisi kemarahan, sakit hati dan juga kerinduan. Ditengah bibir kami saling mengecap. Lidah saling bertaut. Diam-diam aku membuka kedua mata, menatap wajah Kafka dengan kedua mata terpejam yang terlihat asyik menikmati ciuman kami. "Selamat datang di duniaku Ka. Mari hancur bersama."

@@

Suasana kantor terlihat sibuk. Semua orang terlihat fokus pada tugasnya masing-masing. Hanya saja fokus teralihkan, saat seorang wanita cantik dengan wajah penuh amarah datang ke kantor kami. Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Wanita itu menghantam Disty membuat ia memekik kesakitan.

Aku yang hendak menolong Disty berdiri kaku mendengar perkataannya. "Dasar jalang kamu. Kurang ajar kamu. Sudah berapa kali kamu tidur sama suamiku."

Aku mematung, tubuhku bergetar. Entah mengapa aku ketakutan.

"Apa-apaan ini?" Teriak Kafka, entah sejak kapan ia muncul. "Saya bisa menuntut anda atas tindakan kekerasan pada karyawan kami."

Wanita itu menoleh, menatap tajam ke arah Kafka. "Saya yang harusnya menuntut perusahaan ini karena gak becus mempekerjakan orang." Wanita itu kembali memukul Disty dengan tas, sayangnya tubuhku jauh lebih cepat, hingga akhirnya pukulan itu menghantam bagian belakangku. Wajah Disty memucat. Kafka bahkan menghampiriku, ingin berkata sesuatu yang kubalas gelengan. Aku tidak ingin menimbulkan bahan gossip baru.

"Minggir kamu. Jangan kamu lindungi jalan kayak dia. Kecuali kalau kamu sama jalannya dengan dia." Teriak wanita itu penuh amarah.

Tak tahan akan perkataannya, kubalas tatapannya lebih tajam. "Lantas, Jika kami jalang apa yang akan kamu lakukan. Ingin memukul, ayo pukul." Kutantang wanita itu dengan menyodorkan tubuhku kearahnya. Walau faktanya aku ketakutan. "Dan akan kubuat kamu berada ditahanan. Karena tindakan kekerasan." Amarahku semakin meninggi kala kulihat Kalina yang entah sejak kapan muncul diruangan ini. "Kamu tahu, bukan salah Disty jika suami anda menyukainya. Salahkan diri anda yang tidak mampu mengurusnya dengan baik. Disty hanya mencoba membantu anda mengurus suami anda. Dan anda bisa melakukan kegiatan anda tanpa merasa terganggu dengan urusan rumah tangga."

Aku tahu apa yang kukatakan ini sangat buruk. Seakan membenarkan jika berselingkuh adalah tindakan yang benar. Walau faktanya aku dan Disty tidak jauh berbeda.

"Kurang ajar kamu." Teriak wanita itu sekali lagi. Aku sudah siap menerima pukulannya, andai saja Kafka tak lekas menarikku dalam pelukannya.

Tindakan Kafka jujur membuatku terkejut. Bukan hanya aku sepertinya, karyawan yang sejak tadi menyaksikan kejadian inipun sama terkejutnya. Lalu aku nyaris tertawa, saat melihat wajah pias Kalina.

"Saya harap anda tinggalkan kantor kami. Sebelum aku meminta polisi ke sini atas tindakan bringas anda." Kafka bahkan tidak melepas rangkulannya, kala mengatakannya.

Tidak lama kemudian dua security datang terburu-buru. Hendak membawa wanita itu. "Ingat kamu, aku bakalan buat hal lebih parah sama kamu, kalau kamu masih saja tetap mendekati suamiku." Aku tahu perkataan itu ditujukan untuk Disty, tapi entah mengapa aku mulai membayangkan Kalina akan berteriak seperti itu padaku. Lalu tiba-tiba sudut hatiku bertanya, siapkah aku jika kejadian yang dialami Disty kurasakan juga?

Dalam keheningan, bisa kulihat kedua mata Kalina menatapku tajam. Bibirku tersenyum sinis ke arahnya. "Ini belum seberapa tapi wajahmu sudah penuh amarah seperti itu," ujarku dalam hati. "Kafka hanya merangkulku. bukan tidur denganku." lanjutku kembali dalam hati.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang