part 11

5.5K 474 30
                                    

Tidak semua pernikahan yang dijodohkan berujung kegagalan, dan tidak semua pernikahan yang tidak dijodohkan berujung kelanggenan, sampai maut memisahkan. Aku tahu itu dengan pasti. Karena tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan.

Dulu aku selalu berharap pacar pertama akan menjadi cinta pertama dan orang yang akan aku nikahi. Faktanya, tidak seperti itu. Yang pertama belum tentu yang terakhir. Selalu ada kemungkinan yang akan muncul.

Ingatanku kembali pada ucapan mama. Dijodohkan sebenarnya bukan hal yang buruk. Tapi, secara pribadi aku tidak siap. Di luar sana banyak yang memilih dicintai dari pada mencintai. Tapi, aku tidak bisa berlaku demikian. Aku tidak bisa menikah dengan  orang yang tidak kucintai. Membayangkan berada ditempat yang sama, dalam atap yang sama, berbagi tempat tidur dengan orang yang tidak aku kenali membuatku cemas dan ketakutan. Aku tidak siap akan hal itu.

"Kamu mau mama kenalkan dengan anak teman mama?" Kedua mata mama tertuju padaku. Ia terlihat santai saat mengatakannya. Tapi, wajah penuh harap itu bisa kulihat dari sana.

Walau bingung harus menjawab apa, aku memilih tersenyum tipis. Lalu kusandarkan kepalaku di bahu mama. Bermanja-manja seperti saat aku kecil.

"Aku masih mau sama mama. Masih mau sendiri. Nanti ya ma... kalau jodohnya sudah datang aku pasti bakal kenalin di mama."

Saat aku berkata demikian, aku bisa melihat mama tersenyum. Menyembunyikan kekecewaannya. Aku tahu, ia berharap aku segera menikah. Tapi, aku masih belum bisa melakukannya.

"Melamun?"

Suara Disty menyapa telingaku. Seketika lamunanku pecah. Aku menoleh ke arahnya, seraya menyunggikan senyum tipis padanya.

"Pagian?" Tanyaku, sambil tanganku bergerak merapikan meja kerjaku.

Disty mengangguk. "Berantem sama Pram?"

Saat nama Pram disebut, refleks aku menoleh ke arahnya. Kutatap wajah sahabatku itu. Terlihat letih dan sedih, walau dibalik makeupnya mampu menyembunyikan kegundahannya.

"Kenapa?"

Disty berjalan ke arah meja kerjanya. Menarik kursi dan duduk. Sesekali ia Disty menarik napas panjang. Lalu menatapku ragu.

"Jangan dijawab jika merasa sulit." Aku tidak ingin memaksa. Ini privasinya. Aku tidak akan bertanya lebih, jika memang Disty tidak ingin bercerita.

"Hanum datang ke apartemen." Jawabnya lemah.

Sementara aku tidak bisa menutupi wajah terkejutku. Yang kutahu Pram sudah beristri. Jika Hanum adalah wanita, otomatis kemungkinan besar itu adalah istrinya. Wajahku memucat, saat satu kesimpulan ada dikepalaku akan kondisi Disty. Aku lalu menoleh ke arah Disty, jujur saja aku ingin tahu lebih banyak.

"Hanum istrinya Pram. Tiba-tiba saja wanita itu datang." Disty sejenak berhenti, "Kau tahu, dia cantik bahkan sangat cantik. Berdiri di hadapannya membuat aku merasa kecil. Wanita itu tidak menamparku. Tidak memarahiku. Tidak memakiku. Dia hanya diam. Tapi, matanya itu tidak bisa berbohong. Sorot matanya terluka. Dan kau tahu, saat itu juga aku merasa menjadi wanita jahat."

Aku tak tahu harus menanggapi apa perkataan Disty. Jujur saja aku bingung. Yang kutahu pasti, Disty merasa sangat tertekan saat ini. Sesaat kulirik jam ditanganku, waktu menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Karena jam operasional kantor dimulai pukul delapan pagi, jadi saat ini kondisi kantor masih sunyi. Walau demikian, kedua mataku tetap mengawasi sekeliling.

Aku tidak ingin orang melihat atau mendengar apa yang kami bahas. Tanganku bergerak, menarik Disty, berjalan menjauh ruang kerja kami. Menuju lantai paling atas, rooftop kantor.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang