part 9

4.3K 441 17
                                    

Ada hal dimana keadaan tidak bisa di kendalikan dengan baik. Saat ingin menghindar, yang terjadi malah sebaliknya. Mungkin inilah alasan kenapa masalah tidak bisa dihindari. Tetapi harus dihadapi.

Tiga tahun yang lalu, saat hubungan aku dan Kafka berakhir begitu saja tanpa kata pisah hidupku mulai kacau. Aku kehilangan arah. Melarikan diri adalah jalan satu-satu yang bisa kulakukan. Tapi, nyatanya sama saja. Fisik memang jauh. Tapi, sosoknya tetap hidup dijiwaku dan itu membuatku merasa sesak.

Dan sekarang seakan takdir sedang bermain-main denganku. Sosok yang tidak ingin kulihat lagi, malah muncul di hadapanku. Dengan kondisi yang sama. Wajahnya yang masih tampan, perawakannya yang tegas, suaranya yang selalu kurindukan. Semua masih sama. Yang berubah hanya statusnya. Dan itu membuatku marah.

Aku selalu bertanya, apa sebenarnya yang terjadi hari itu. Semua baik-baik saja. Sebelum bom waktu datang dan menghancurkan semua mimpi-mimpiku.

"Tari, tolong keruanganku sekarang!"

Titah sang boss terdengar dari balik intercom. Ogah-ogahan aku berdiri dari kusriku. Menguatkan diri berharap berdiri dihadapannya membuatku kuat.

"Ada yang bisa saya bantu." Tanyaku, berusaha bersikap tenang.

Kafka mengangguk. Ia lalu memintaku duduk di kursi di hadapannya.

Aku lalu berjalan dan duduk di sana. Sekarang posisi kami hanya dipisahkan oleh sebuah meja. Diam-diam sudut mataku melirik tiap inci diwajahnya. Semuanya masih sama. Hanya rambutnya yang lebih pendek.

Kafka menaruh dua buah tiket diatas meja. Lalu menyodorkannya ke arahku.

Dahiku mengerut melihat tiket tersebut. Sebuah tiket film dibioskop. "Apa itu?" Tanyaku sinis.

"Tiket seperti yang kamu lihat." Jawab Kafka tenang.

Aku mengerutkan dahi, "Apa yang dia fikirkan dan sejak kapan dia membelinya. Setahuku dia tidak kemana-mana. Hanya duduk diruangannya sejak tadi?"

"Tiket?" Tanyaku. "Jangan bilang dia mengajakku nonton?" Benakku bertanya-tanya.

Sinting... aku tahu, dulu aku lebih banyak menghabiskan waktu di apartemennya. Menemani dia mengerjakan tumpukan berkas dari kantor. Memasakkan makanan untuknya, karena aku tahu, ia memiliki asam lambung. Bisa dihitung jari, ada berapa banyak waktu yang kami habiskan dengan berkencan di luar. Aku pernah bertanya-tanya, mengapa kami sangat jarang ke luar bersama. Dia hanya berkata, dia lebih suka diapartemen, jika ingin menonton, kami bisa menonton film bersama. Ya, aku tahu apartemennya dilengkapi Home Teater. Tapi, sebagai seorang wanita kadang kala aku berharap menghabiskan banyak waktu bersamanya. Berkencan diluar, berpegangan tangan, menonton dibioskop. Atau hal-hal kecil lainnya.

"Kau mengajakku nonton?" Entah kenapa aku malah melontarkan pertanyaan itu.

Kafka mengangguk, sontak membuat wajahku terkejut.

"Sinting," umpatku padanya. Aku lalu berdiri, hendak kembali ke kubikelku. Berada di sini, hanya akan menambah kerutan diwajahku karena emosi yang kupendam. Atau aku mungkin akan hanyut dengan kebahagiaan. Aku tidak bisa bohong, ada masa di mana aku merindukan saat-saat berdua dengannya.

"Bukan kencan, aku hanya ingin mengamati perkembangan bioskop selama ini." Kafja berujar. Tatapan matanya tertuju lurus di hadapanku. "Kau ingat proyek hotel di atas pantai?"

Aku mengangguk, tentu saja aku tahu proyek itu. Betapa susahnya mendapatkan izin pembangunan dari pemerintah daerah. "Apa hubungannya hotel dan tiket bioskop?" Jujur saja aku tak mengerti maksud Kafka.

"Aku ingin di dalam hotel itu ada bioskop. Bioskop yang nyaman buat para tamu. Jadi, saat mereka jenuh di kamar, mereka bisa menikmati hiburan."

Aku terdiam, sejujurnya apa yang Kafka katakan sangat menarik. Hanya saja hatiku merasa tak suka. Sepertinya hanya aku yang berharap lebih. Atau aku wanita bodoh yang masih berharap pria dihadapanku ini menatapku penuh cinta kembali.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang