part 12

3.8K 397 16
                                    

Aku tahu berada disekitar Kafka bukan hal yang bagus buatku. Menjadikan alasan karena tidak ingin terlihat seperti pengecut didepannya sebenarnya hanya tamen belaka. Satu-satunya yang aku tahu, aku memang ingin disini. Aku masih ingin melihatnya. Walau itu membuatku terluka.

Belakangan ini Kafka terlalu sering muncul dihadapanku tiba-tiba. Entah ia sengaja atau tidak. Walau tak suka, tapi hatiku bersorak. Tentu saja aku senang. Bukan aku yang memintanya, Kafka sendiri yang menghampiriku. Harusnya aku menolaknya. Tapi, kufikir kembali aku tidak ingin melakukan itu. Walau faktanya aku harusnya segera menjauh darinya.

"Kamu suka makanannya?"

Aku mengangguk. Kafka tahu aku menyukai ayam bakar rica. Jadi tidak mungkin aku mengatakan aku tak suka.

"Aku senang kamu mau makan siang denganku. Kuharap ini akan terus berlangsung." Kafka kembali berucap.

Aku menatapnya lekat. Sejujurnya walau aku tak yakin akan sikap Kafka. Tapi, feeling aku sebagai wanita, sepertinya ia mencoba mendekatiku kembali.

"Kenapa aku harus selalu makan siang denganmu?" Tanyaku sarkas. Walau demikian, ia masih tetap tenang. Menikmati makanannya.

"Karena kamu sekertarisku."

Moodku langsung terjung bebas. Aku tak suka perkataanya.

"Kufikir, di perjanjian kerja aku tidak berkewajiban menemanimu makan. Tidak selalu. Hanya disaat-saat tertentu."

Kafka meraih segelas air, meminumnya perlahan.

"Ini kemauanku."

Aku menghentikan makan. Makanan didepanku tak lagi menarik. Kutatap sinis ke arahnya, "Wow... apa aku harus merasa tersanjung. Atau ini hanya jebakan batman. Kau kembali ingin menjebakku dengan pesonamu. Hanya karena aku menuruti keinginanmu belakangan ini?"

Kulihat Kafka menghela napasnya. Menatapku lembut. "Apa salah jika kukatakan, kalau aku berharap bisa seperti dulu."

"Sinting kamu." Walau terdengar kasar aku tak peduli. Walau Kafka bosku.

"Aku tahu ini sulit kamu terima. Tapi, aku gak bisa....

Perkataan Kafka tergantung diudara. Dering ponselnya berbunyi. Tapi, yang membuatku merasa muak adalah nada deringnya. "Papa cintanya mama, kesayangan Gio sianak tampan ayo diangkat teleponnya, papa sayang."

Aku muak mendengarnya. Terlalu lebay dan membuatku mual. Atau mungkin aku yang merasa iri.

"Iya, papa nanti belikan. Jangan nakal ya."

Aku hanya bisa mengamati dalam diam. Sepertinya Kafka menikmati perannya sebagai ayah. "Iya, papa akan pulang cepat. Sudah dulu ya, papa lagi mau kerja. Kamu jangan nakal dirumah. Kasihan mama nanti ia kelelahan."

"I love you to honey."

Aku tak tahu ucapan cinta dari mulut Kafka barusan apakah untuk anaknya, atau untuk istrinya. Aku tak suka mendengarnya. Aku marah. Dan tak mau menunggunya, aku meraih tas kemudian berdiri dari posisiku duduk, berjalan ke luar restoran meninggalkannya.

"Tari... Tari."

Tak kuhiraukan teriakannya. Saat kulihat taksi berhenti didepanku. Aku langsung naik. Sekilas aku menoleh. Kulihat ia berlari hendak menghampiri taksi yang kugunakan.

"Jalan pak!" Pintaku pada supir taksi. Meninggalkan Kafka yang berdiri menatap kendaraan yang membawaku.

@@

Aku tidak kembali ke kantor. Persetan jika ia akan memecatku. Kenapa selalu seperti ini. Disaat aku merasa, ia masih menyukaiku. Disaat itu pula aku merasa ia hanya ingin bermain denganku. Seperti dulu, memainkan perasaanku. Pas masih sayang dam cinta yang begitu besar ia pergi meninggalkanku begitu saja.

"Kamu gak kerja?" Mama tersenyum kepadaku. Melihat kedatanganku di siang hari, saat para pekerja masih sibuk-sibuknya mengais rezeki, aku malah berada disini. Berbaring di pangkuan mama.

"Kerja sih. Tapi, bosnya udah pulang. Ada urusan keluarga. Jadi aku boleh pulang juga.

Mama hanya diam. Tangannya terus menerus mengusap rambutku. Membuat kedua mataku meredup. Benar kata orang rumah adalah tempat terbaik. Mungkin Kafka juga menganggap demikian. Rumahnya, dimana istri dan anaknya menunggunya adalah tempat terbaik. Seberapa lelah ia di luar, satu-satunya ketenangan mungkin disana. Dan membayangkan itu sekali lagi aku merasakan perih didadaku.

Aku terbangun dari tidur. Saat kulihat jam sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh sore. Sepertinya aku tidur cukup nyenyak. Dengan malas aku pun bangun, berjalan ke kamar mandi hendak mencuci wajahku yang kusam. Kutatap wajahku dalam cermin, aku cantik setidaknya itu kata orang. Tapi, nyatanya kecantikan tidak bisa menjamin ia akan memilihmu.

"Sudah bangun?" Kulihat mama tengah sibuk didapur. Entah apa yang ia masak.

"Mama masak apa?" Aku penasaran. Sejak di kamar tadi, wanginya sudah menyapa indera penciumanku.

"Mama buat ikan cah kuning kesukaanmu." Mama menoleh kearahku, tersenyum tipis sambil menatapku lembut. "Kamu nginap kan?"

Aku mengangguk. Aku tak ingin pulang ke apartemen. Aku tidak mau bertemu dengannya. Walau faktanya aku berharap ia mencariku kesana.

"Mama butuh bantuan?"

Mama menggeleng. "Kamu udah mandi. Bajunya kok belum diganti?"

Aku tersenyum. Penampilanku masih sama, menggunakan pakaian kantoram.

"Kamu mandi dan bersihkan dirimu. Habis shalat kita makan sama-sama."

Aku mengangguk. Lalu berjalan menghampiri mama. Mencium pipinya sebelum kembali ke kamar.

Aku membuka lemariku, memilih pakaian santai yang akan kugunakan. Dan pilihanku jatuh pada baju kaos dan celana diatas lutut.

Saat asyik memilih, mataka menangkap tas yng kutaruh diatas meja yang terdapat di kamarku. Hatiku tergelitik ingin mengetahui apa Kafka menghubungiku.

Aku pun berjalan ke dekat meja, meraih tas yang kutaruh diatas meja tersebut. Kuraih ponselku dalam tas. Dan seketika aku spechless, tiga puluh panggilan tidak terjawab dari Kafka. Sudut bibirku terangkat membentuk guratan sinis, "kenapa baru sekarang kamu segila ini Kaf. Dulu, kau selalu memarahiku saat menghubungimu seperti ini. Lalu sekarang, kau melakukannya. Apakah aku harus marah padamu? Tapi aku suka Kaf kau begini. Aku ingin kau begini terus. Agar Kalina tahu bagaimana rasanya orang yang ia cintai menggilai wanita lain. Seperti kata pepatah, bukan salahku jika suamimu menyukaiku. Mungkin kamu yang tak baik untuknya. Atau mungkin Kafka yang brengsek, atau aku yang brengsek."

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang