Kalina

2.1K 330 43
                                    

Aku tahu, kisahku dengan Kafka sangatlah kusut. Hanya saja, aku mencoba menguraikan kekusutan itu. Rumah tanggaku baik-baik saja sebelum Tari muncul kembali.

Aku bisa apa, jika kukatakan padanya aku tidak ingin pernah lepas darinya. Kafka memang tidak pernah memintanya. Tapi, aku tahu lubuk hatinya mengharapkan hal ini. Lalu aku harus apa?

Tadi siang aku bertemu Tari. Memintanya agar tidak mengambil Kafka dariku. Bahkan memohon demi Gio. Tapi, sepertinya gadis itu tidak ingin mengalah. Lalu apa aku harus mengalah. Kafka tidak akan pernah meminta, lantas apa aku yang harus meminta? Kufikir aku tidak bisa melakukan itu.

Kutatap wajah putraku, aku tidak pernah ragu jika Gio adalah anak Kafka. Sebelum kejadian itu, aku sudah hamil. Aku baru tahu saat hasil visum dari rumah sakit keluar. Ia mengatakan kandunganku sudah berjalan dua minggu. Walau saat itu aku cemas, tapi Gioku tumbuh dengan kuat di perutku. Kafka tidak pernah meminta tes DNA dan aku tidak pernah berniat melakukannya. Toh aku tahu, jika anak ini memang anak Kafka. Aku menutupinya. Membiarkan Kafka hidup dengan rasa bersalah atas apa yang menimpaku. Walau ada penyesalan yang kurasakan. Tidak, aku tidak rela ia bersama Tari. Mengetahui cinta Kafka hilang untukku sudah membuatku sangat terluka. Aku tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Semua orang yang kusayang pergi meninggalkanku. Tapi, untuk Kafka aku tidak ingin menyerah.

Dalam keheningan malam, kutatap keramaian jalan dari apartemen kami. Malam ini ia tidak kembali lagi. Aku tahu, ia di sana bersamanya. Lalu samar ingatanku kembali pada kejadian beberapa tahun lalu.

Malam itu walau samar aku masih bisa mengenalinya walau hanya dari balik suara. Aku mengenalnya bertahun-tahun jadi aku yakin itu dirinya. Lalu pertemuanku dengan Fajar beberapa minggu yang lalu ternyata dugaanku benar. Orang bilang kadang orang yang paling menyakitimu adalah orang yang selalu berada disekitarmu. Hatiku terluka, tapi aku bisa apa. Aku ingin marah padanya. Andai ia tidak melakukannya, aku mungkin benar-benar akan melepaskan Kafka. Tidak membuat ia menikahiku.

"Kalina?" Sebuah suara memanggilku. Aku yang baru saja hendak ke luar dari excelso seketika menghentikan langkahku. Kutolehkan wajah kutatap dirinya. Dan aku tidak bisa menyembunyikan kemarahanku.

Aku hendak meninggalkannya. Tapi ia menghalangiku. Wajahnya memelas, berharap aku mau tinggal sejenak untuk berbicara dengannya. Dan entah apa yang merasuki aku, kuturuti dirinya. Bersamanya aku kembali berjalan masuk ke excelso.

"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya. Ia terlihat ragu-ragu membuka obrolan.

Sudut bibirku melengkung sinis. Mulutku bahkan mengeluarkan dengusan kesal. "Memangnya apa yang kamu ingin lihat. Apa kamu ingin tahu apa aku meratapi kesedihanku karena ulahmu."

Fajar tertunduk lesu. Ia menatapku penuh penyesalan. "Aku minta maaf." Ia diam sejenak, "Untuk hari itu aku minta maaf. Aku bersyukur mendapatkan pukulan darinya. Andai tidak, aku mungkin akan hidup dengan penyesalan." Fajar kembali menatapku, kali ini terlihat lembut. "Dulu aku begitu menyukaimu. Berharap kau bisa melihatku. Hanya saja Kau tidak sekalipun pernah melirikku walau sekilas. Kafka selalu bersamamu. Begitupun ketiga bodyguardmu. Aku bersyukur malam itu salah satu dari mereka datang dan menolongmu. Kuharap kau mau memaafkanku."

Aku masih diam tidak menanggapinya.

"Owh iya, kudengar kau sudah menikah dengan Kafka. Aku sempat bertemu dengannya. Katanya kalian sudah memiliki seorang anak. Syukurlah kalian akhirnya bisa bersatu. Aku tulus mengatakan ini. Termasuk permintaan maafku atas kejadian itu."

"Kamu tahu Jar, apa dampak perbuatanmu?" Ada sesak yang kutahan saat mengatakannya. "Kamu tidak melecehkanku tapi orang lain yang kau anggap bodyguardku yang melakukannya. Dia menolongku darimu, tapi dia malah menggantikanmu menyakitiku. Kau tidak menyentuhku. Tapi, dia berhasil merobek harga diriku. Aku mungkin bukan wanita suci. Tapi, bukan berarti aku suka diperlakukan seperti ini."

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang