part 7

7.5K 620 44
                                    


"Aku butuh penjelasan untuk kejadian tadi siang." Disty langsung menanyakannya. Tidak peduli jika saat ini, aku meringis menahan sakit di tanganku. "Kamu harus memberi aku penjelasan. Sikap pak Kafka dan istrinya tadi bahkan terasa aneh. Aku nggak tuli, jadi apa yang dikatakan istri pak Kafka masih bisa kudengar. Apa perlu aku mengatakan ulang padamu."

Disty menatapku lurus. Kedua tangannya ia lipat kedepan dadanya. Entah mengapa aku merasa sedang tertangkap basah.

Aku terdiam sejenak, menarik napas perlahan lalu menghembuskannya, sebelum mulai bercerita padanya. "Pria itu kekasihku dulu," ucapku perlahan. "Dan wanita yang kamu katakan cantik tadi  adalah wanita yang mencurinya. Atau mungkin tidak mencuri melainkan mereka bersekongkol melukaiku dari belakang." Sambungku perlahan. Ketika mengatakannya, dadaku terasa sesak. Luka itu masih sama ternyata walau sekian tahun berlalu.

Wajah Disty terlihat terkejut saat mengatakannya. Namun berubah menjadi tatapan prihatin. Tatapan yamg tidak sekalipun kuinginkan.

"Jangan menatapku seperti itu. Aku baik-baik saja."

"Baik kepalamu...."Dengus Disty kesal. "Jadi Kafka pacaran denganmu tapi menikah dengan wanita itu." Kembali Disty berkata yang kujawab anggukan.

"Mereka selingkuh?" Pertanyaan yang sama dalam benakku. Sejujurnya aku tidak begitu yakin awal mula hubungan mereka. Kafka sejak dulu selalu mengatakan, gadis itu sahabatnya.

Aku menggeleng lalu mengangguk hingga membuat Disty kebingungan. "Aku gak tahu. Ada yang bilang mereka dijodohkan. Tapi, ada yang bilang mereka selingkuh. Hanya saja kata selingkuh sepertinya lebih pas. Mengingat Kalina pernah mengatakannya padaku."

"Gila..." teriak Disty nyaris frustasi. "Aku nggak nyangka mereka sejahat itu. Orang bilang wajah tampan dan cantik bukan jaminan jika mereka manusia yang baik." Disty lalu meraih tanganku yang terluka. Sembari menatapku lembut. "Aku nggak tahu apa yang terjadi sama kamu. Tapi, jika aku jadi kamu aku mungkin akan menjambak wanita itu. Menyiram air kewajah pria itu. Ya... membalas dendam secara perlahan."

Keningku mengerut, hanya kata balas dendam yang memenuhi kepalaku. Sejujurnya sungguh aneh saat Disty mengatakannya. Mengingat, posisi dia saat ini juga mirip dengan kami bertiga. Aku belum pernah melihat istri Pram. Mengingat Pram lebih banyak di Jakarta. Kekasih Disty itu baru akan ke Makassar, saat ada kerjaan atau mungkin sering tapi aku sendiri tak mengetahuinya. Disty tak begitu menceritakannya. Dan aku juga tak mau ambil pusing. Masalah percintaan dan hubungan pertemanan kami adalah dua hal yang berbeda. Walau tindakannya salah, aku tidak akan mengatakannya jahat hanya karena perbuatannya. Dia temanku, seperti apapun dirinya.
"Aku nggak ngerti maksud kamu Dis?" Hanya kalimat itu yang bisa aku tangkap dengan cepat dari ucapan Disty.

Disty menatapku lekat, "Dengar! Aku dan kamu adalah dua orang yang berbeda. Aku bukan kamu yang baik dan sopan. Aku frontal dan bebas. Jadi jika aku yang berada diposisimu, aku mungkin akan membalas kesakitanku. Aku mungkin kehilangan cinta, tapi menjadi benalu di dalam rumah tangganya sepertinya hal yang menyenangkan."

Walau awalnya aku tidak mengerti, perlahan aku mulai paham. Benalu yang Disty katakan adalah, masuk kembali ke kehidupan Kafka. Mengacaukan hidup dan keluarganya.

Entah mengapa cerita Disty terasa menarik buatku. Kenapa aku tidak memikirkannya kembali. Kafka mungkin telah menikah. Tapi, bisa saja didalam hatinya masih ada aku. Terlebih sikapnya padaku hari itu dan tadi.

Melihatku diam, Disty pun mencubit pipiku. Membuat ringisan ke luar dari bibirku. "Aku bukan kamu Tari. Jadi kuharap apa yang kukatakan tadi tidak kau fikirkan, kita berbeda." Sekali lagi Disty mengatakannya, bahkan kali ini ia menekankan jika kami berbeda.

Aku tahu perkataan Disty hanya mengibaratkan jika dirinya yang mengalami, ia akan berlaku demikian. Tapi, siapa yang tahu. Gadis seperti aku, mungkin bisa menjadi benalu. Jauh lebih kejam dari apa yang ia duga. Dan untuk pertama kalinya aku merasa lega dan berterima kasih pada Disty. Walau dia tidak boleh tahu akan rencanaku.

"Tidak ada salahnya berubah menjadi rubah betina." Batinku berkata. "Aku tidak pernah bosan jadi orang baik, tapi aku tidak pernah bilang, jika aku tidak bisa jadi orang jahat. Karena esok tak ada yang tahu." Untuk pertama kalinya aku setuju dengan satu qoute yang ada di instagram, yang kulihat semalam.

***
Aku tahu tindakanku kemarin sangatlah bodoh. Kafka dan Kalina pasti saat ini menertawaiku. Aku benar-benar terlihat menyedihkan. Tapi, semua terjadi begitu saja. Aku bahkan tak sadar, tahu-tahu aku sudah memecahkan gelas. Dan atas tindakanku itu, hari ini aku tidak bekerja. Disty bahkan terus mengingatkanku agar tidak keras kepala. Dengan memaksakan diri ketempat kerja. Padahal dalam hati, aku senang. Setidaknya aku tidak harus bertemu Kafka.

Tapi, tinggal di rumah juga bukan hal yang menyenangkan. Aku tak tahu harus buat apa. Terlebih aku tinggal sendiri. Ya, orang tuaku juga tinggal di kota yang sama denganku. Hanya saja terkadang aku memilih tinggal di apartemen yang baru kumiliki setahun ini. Awalnya hanya untuk investasi. Tapi, sepertinya aku membutuhkannya. Pulang ke rumah dengan keadaan terluka, akan membuat Ayah dan Ibu khawatir. Dan benar saja saat aku mengabari, jika pekan ini aku tidak akan pulang. Ibu tiada henti bertanya. Untungnya mereka mengerti.

Tadinya kufikir aku akan merasa sangat bosan. Tapi, ternyata tidak seburuk yang kubayangkan. Aku menghabiskan waktuku dengan menonton Drama Korea. Awalnya aku hanya iseng ingin melihatnya. Tapi, begitu menontonnya ceritanya semakin menarik. Sebenarnya tidak ada yang spesial. Pada dasarnya hanya bercerita tentang wanita yang di khianati suaminya. Tapi, itu terlihat menarik di mataku. Aku bahkan tidak sadar jika waktu sudah menjelang siang. Pantas saja, perutku sudah mulai berbunyi. Sepertinya cacing di dalam sana sudah berteriak untuk diisi.

Aku pun meraih ponsel ditanganku. Hendak membeli makanan lewat aplikasi goofood. Lalu aku kembali melanjutkan menonton drama korea.

Suara bel, menyentakku. Aku bergegas berdiri. Mungkin saja itu goofood yang kupesan. Tanganku bergerak mempause sementara drama yang kunonton. Lalu aku berjalan ke arah pintu.

Namun, saat aku membuka pintu. Bukan abang goofood yang datang. Melainkan sosok yang sama sekali tidak ingin kulihat.

Tak ada kalimat yang kukatakan. Tanganku bergerak secepat mungkin hendak menutup pintu. Namun, selincah-lincahnya tanganku bergerak. Ternyata dia jauh lebih cepat dari yang kuduga. Dia bergerak masuk begitu saja. Mengabaikan wajah penolakanku.

"Mau apa kau kemari?" Tanyaku sinis padanya. Tidak ada keramahan yang kutunjukkan. Aku benar-benar muak melihatnya di sini.

Alih-alih mendapat jawaban, Kafka malah diam. Namun, matanya terus menatapku.

"Jika kau kemari hanya untuk membisu, sebaiknya kau pulang. Melihatmu di sini adalah sesuatu yang paling tidak kuinginkan." Aku terus menyuarakan isi kepalaku. Walau hatiku berkata lain. Dan ini membuatku kesusahan. Ketika logika dan hati tidak seimbang. Akan membuatku kesulitan.

"Jika kau bosan membisu, kau boleh pulang. Aku ingin istirahat. Kau tahu kan tanganku terluka." Aku bahkan sengaja memperlihatkan tanganku yang kini diperban.

Saat aku hendak masuk ke dalam kamar. Langkahku terhenti tiba-tiba. Benakku bertanya-tanya, bagaimana bisa dia secepat itu, hingga aku bahkan tidak sadar, dia memelukku dari belakang. Dan bodohnya aku hanya diam. Mungkin karena Kafka merasa tak ada penolakan dariku, ia bahkan mempererat pelukannya.

"Bisa lepaskan pelukanmu. Kau tidak punya hak melakukan itu."
Suaraku bahkan sangat dingin kala mengatakannya.

"Biarkan sejenak seperti ini Ri... aku merindukanmu."

Aku tak yakin apa yang kudengar. "Dia merindukanku?" Aku ingin tertawa mendengarnya. Ini terlihat konyol dan bodoh. Walau demikian aku membiarkannya. Aku ingin melakukan apa yang sudah kufikirkan. Karena aku tidak bisa melihatnya bahagia. Jadi untuk memulai permainan, bukankah aku harus melunak.



Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang