part 3

5.8K 530 6
                                    

Saat pulang bekerja biasanya aku lebih memilih menghabiskan malamku di rumah. Tapi, entah mengapa hari ini aku ingin melakukan hal yang berbeda. Disty mungkin benar, aku membutuhkan hiburan. Sudah lama aku tidak melakukan kegiatan di luar kantor. Dan di sinilah aku, menikmati secangkir coffe di salah satu café.

Disty benar, keramaian akan membuatku merasa jauh lebih baik. Walau terkadang rasa sunyi membuatku merasa tersiksa tapi aku sudah terlalu menikmatinya. Bagiku menghabiskan waktu di rumah jauh lebih menyenangkan. Tidak ada yang tahu alasan aku takut melihat dunia luar. Karena iri menggerogotiku. Iri melihat mereka yang bisa tertawa dengan orang yang mereka sukai. Tapi, jauh lebih dari itu, aku takut. Aku takut melihat dia disini.Walau kemungkinan itu sangat kecil terjadi. Kami dipisahkan lautan. Tapi, mengingat dunia tidak selebar daun kelor membuatku merasa kemungkinan kecil itu masih bisa terjadi.

Menikmati malam di sudut café dengan segelas coffe bukanlah sesuatu yang buruk. Aku bahkan sudah melewatkan beberapa jam di sini. Gelas di hadapanku pun sudah tak bersisa. Tak berniat menambah, kuputuskan untuk segera membayarnya.

Malam sepertinya tidak membuat tempat ini semakin sepi. Nyatanya, makin malam malah makin ramai. Mungkin karena letak café ini berada di dalam mall. Aku yang tadinya ingin pulang malah memutar balik arah, memilih masuk kedalam salah satu toko yang menjual tas.

Beberapa tas cantik menarik perhatianku. Naluriku sebagai wanita tergelitik ingin memilikinya. Kutimang-timang apakah aku perlu atau tidak, mengingat ada begitu banyak tas yang kumiliki. Saat aku tenggelam dalam lamunan, suara yang sama saat aku ditoilet terdengar kembali. Entah mengapa aku begitu menghafalnya. Mataku tergoda untuk segera menoleh.

"Mas Kafka, aku dalam toko Elizabeth ya. Mas sama Gio kalau mau nyusul ke sini saja."

Wajahku pias dan pucat seketika, aku bisa melihat dengan jelas siapa wanita itu. Ah bodohnya aku, bagaimana bisa melupakan suaranya. Kuraba dadaku yang terasa perih, ingatan itu muncul lagi. "Kami akan menikah, jadi kuharap kau menjauh darinya. Bukan urusan aku berapa lama kalian pacaran. Walau kami dijodohkan, toh kami berpacaran. Mirisnya kamu tidak tahu itu."

Kuraba dadaku yang terasa sakit, ucapan tajam darinya kembali terngiang ditelingaku.

"Mama..."

Samar kudengar suara anak kecil memanggilnya. Sekuat tenaga kucoba menoleh ke arahnya. Dan betapa miris saat aku melihatnya. Seorang anak kecil tengah berjalan dengan cepat kearahnya. Tapi, ternyata bukan hanya anak itu yang membuatku resah, melainkan  satu sosok disisi anak itu, dia pria yang sama. Pria yang tiga tahun lalu meninggalkanku. Pria yang mencampakkan aku untuk gadis yang kini berstatus sebgai istrinya.

Tanganku mengepal, ada kemarahan yang menggorogotiku. Ada rasa tidak rela melihat ia bahagia. Aku benci dengan keadaan ini. Dia baik-baik saja, sementara aku masih seperti ini. Membawa perih yang bernama luka. Luka yang tidak kunjung sembuh.

Tertatih aku melangkah meninggalkan toko tersebut. Mengabaikan tatapan heran dari beberapa pengunjung di sana. Dia tidak boleh melihatku seperti ini. Dia tidak boleh melihatku dalam keadaan bodoh seperti ini. Tapi, lebih dari itu aku benci melihatnya tersenyum bahagia pada wanita itu. Aku benci kebahagiaan mereka. Aku... aku benci mereka.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang