Sungguh menyakitkan
Ketika penatianmu selama ribuan tahun hampir tercapai, namun terhalang kesalahpahaman◇◇☆◇◇
"Nggak, Pa. Gang pertama tadi." Alfiyah masih berdebat tentang jalan yang mereka lalui.
"Bukan, Al. Jalan yang tadi," kata pak Adnan tak mau kalah.
Begitu keluar dari masjid agung keduanya langsung berangkat. Seharusnya mereka ke arah barat gang pertama sebelah masjid. Namun pak Adnan malah ragu. Dia mengajak putrinya menyebrang.
Alfiyah yang tidak punya pilihan ikut saja kemauan ayahnya. "Kesempitan dalam kesempatan," gumamnya tertawa geli. Menyejajarkan langkah lebar sang ayah.
Jarang-jarang dia bisa menyusuri pusat kota. Sepanjang koridor gadis itu berpapasan dengan beberapa santri putra. Dia tidak tau santri satu pondok apa pondok sebelah. Pasalnya tepat di pusat kota ada beberapa pondok yang berdiri berdekatan. Semuanya sama-sama pondok besar. Seperti Pesantren Syaikhona Cholil, Nurul Cholil, dan Demangan timur.
Tanpa banyak kata Alfiyaj melihat-lihat suasana kota. Sepanjang koridor dia tersenyum. Ada perasaan berbeda ketika langkahnya mengarah ke gerbang pesantren Syaikhona. Pondok besar yang didirikan waliyullah Madura. Pencetus berdirinya Nahdotul Ulama. Syaikhona Muhammad Cholil.
"Disini?" Tanya pak Adnan menghentikan langkah.
"Bukan, Pa. Ini pondok Syaikhona," Alfiyah menggeleng. Menarik lengan ayahnya menjauh. Dalam hati ia berdoa, "semoga suatu saat ditakdir Allah nyantri ramadhan disini. Amin." Rapalnya sungguh-sungguh.
"Oh. Bukan ya," pak Adnan membawa putrinya melanjutkan langkah ke arah gang tiga di sebelah selatan.
"Jalan ini?" Lagi-lagi Alfiyah harus menahan malu saat sang ayah menunjuk ke arah barat dimana beberapa santri sedang membeli nasi di warung kecil.
"Astaghfirullah, Papa. Bukan disini." Dia segera berbalik. Malu diperhatikan beberapa santri yang merasa aneh dengan keduanya. "Yang benar jalan pertama tadi," bisiknya menarik lengan ayahnya berbalik arah.
"Bukan disini?" Cepat-cepat Alfiyah menggeleng. Tak sabar ingin membawa ayahnya pergi dari sana. "Kamu lapar? Mau beli nasi?" Tawar ayahnya membuat Alfiyah merasa semakin tak punya muka saat ayahnya masih betah berdiri di bawah pilar gang tiga sembari menunjuk warung tadi.
"Papa..." desisnya yang disambut tawa sang ayah. Merasa berhasil menjahili putrinya.
Sudah dua kali mereka bolak-balik ke gang tiga. Tak terasa kaki Alfiyah mulai penat. "Lumayan jauh juga ya." Pikirnya melihat ke belakang. Sejauh mata memandang koridor yang mereka lalui memang cukup panjang.
"Mau pentol? Sate? Nasi goreng?" Lagi-lagi sang ayah menawarkan ketika berhasil melewati gerbang pondok Demangan--sebutan lain pesantren Syaikhona.
"Nggak. Ayo cepet berangkat." Ucapnya menggeleng. "Papa sengaja ya bikin Alfiyah malu," tuduhnya menggelembungkan pipi.
"Tidak. Papa cuma khawatir kamu kelaparan." Pak Adnan memang perhatian. Akan tetapi menurut Alfiyah tidak tepat waktu. Bagaimana tidak, pelapak yang ditawarkannya sedang ditunggui santri putra yang ingin menikmati jajanan sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Santri Bikanafillah (END)
Short Story#01 in 30harimenulis (Senin,14ram1442H) #01 In 30Day (Ahad,270144H_05092021) SANTRI SERIES PART 2 #RAMADHANBERKARYA @WritingProjectAE Berawal dari mimpi mengantarkan takdir pada kenyataan. Sosok lelaki yang ditemuinya di alam bawah sadar justru dipe...