Tidurnya orang berpuasa itu ibadah, diamnya tasbih, amalnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan dan dosanya diampuni.
(Kitab Tanqihul Qoul)
◇◇☆◇◇"Orang berpuasa nggak boleh ngupil, bersihin telinga, menjilati bibir bagian luar," satu persatu Alfiyah menjelaskan pada Deyza--santri solokan ramadhan.
Deyza mendengarkan dengan baik. Sesekali bertanya bila ada penjelasan yang kurang paham.
"Bibir bagian luar yang dimaksud adalah bagian bibir yang terlihat saat mulut tertutup. Semisal ada sisa makanan atau berdarah harus segera dikeluarkan lalu berkumur. Kalau ditelan tamatlah riwayat puasamu." Lanjutnya ditingkahi tawa.
"Kalau lupa?" Sela Deyza.
"Kalau ingat setelah ditelan tidak apa. Di ma'fu (maafkan). Kalau ingat sebelumnya tapi diteruskan menelan baru batal."
Lagi-lagi Deyza mengangguk. Alfiyah beralih pada tata cara memakai mukena yang benar. "Dagu bagian bawah tidak boleh terlihat. Seperti ini," dia mencontohkan mukena di wajahnya. "Bagian dahi 4 jari dari alis. Tidak boleh lebih ke atasnya. Karena rambut bisa terlihat."
Deyza segera mempraktekkan. Memakai mukena terusan putih berbordir biru awan miliknya. Diperhatikan dengan seksama melalui kaca besar di asrama.
"Nah, bagian tangan sampai batas ini," Alfiyah menggerakkan tangan kanannya. "Bagian yang bisa bergerak ini termasuk anggota solat. Adapun pergelangan tangan termasuk aurat. Jika terlihat solatmu tidak sah."
Pembahasan sederhana mengenai solat dan puasa masih berlanjut di malam pertama ramadhan. Tidak hanya Deyza yang mendengarkan. Ada pula santri solokan yang lain dan santri aktif juga ikut menyimak. Pengetahuan gadis itu mengenai tata cara ibadah terbilang cukup baik. Meski belum sepenuhnya sempurna. Sebab itu dia termasuk senior di asrama E III yang diam-diam dikagumi junior.
"Kenapa mukena potongan di pondok ini nggak dibolehin?" Tanya Airi--santri solokan yang lain.
"Karena jika kita sedang mengangkat tangan, lengan bisa saja terlihat. Ketika rukuk bagian leher juga akan terlihat. Sedangkan lengan dan leher termasuk aurat dalam solat." Jelas Alfiyah melipat kembali mukenanya. "Kecuali kamu pakai kerudung yang menutupi leher dan baju panjang dimana lengan sedikitpun tak terlihat."
Airi mengangguk paham. "Itu sebabnya Kiai Zain tidak mengizinkan. Demi menjaga kekhusyuan santri." Pungkasnya.
Ramadhan malam pertama sudah datang. Para santri kembali ke pondok sehari sebelumnya. Selain itu, ada juga santri solokan. Yaitu santri yang hanya ikut kegiatan pesantren selama ramadhan.
Menu makanan para santri untuk berbuka dan sahur tidak sama. Ada yang memasak sendiri, dikirim dari rumah dan ikut kos. Harga nasi perbungkus 3000 an. Kos nasi selama 17 hari puasa di pondok. Alfiyah sendiri memilih memasak meski rumahnya dekat dari pondok. Dia tidak ingin merepotkan orang tuanya yang pasti banyak pekerjaan di rumah meski bulan ramadhan.
Dia berkongsi dengan 6 anggota asrama untuk memasak. Dengan sumbangan uang lima puluh ribu per orang selama 17 hari. Uang itu nantinya akan digunakan membeli ikan, sayur, gas, dan keperluan dapur lainnya. Mereka membagi tugas. Ada yang menanak, menyiapkan bumbu, mengambil air ke ember berukuran besar sebagai air minum dan basuh. Ada pula yang memasak lauk dan sayuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Santri Bikanafillah (END)
Short Story#01 in 30harimenulis (Senin,14ram1442H) #01 In 30Day (Ahad,270144H_05092021) SANTRI SERIES PART 2 #RAMADHANBERKARYA @WritingProjectAE Berawal dari mimpi mengantarkan takdir pada kenyataan. Sosok lelaki yang ditemuinya di alam bawah sadar justru dipe...