24. Wali Jomblo

69 12 21
                                    

Jomblo di dunia saja ngenes, bagaimana di akhirat kelak?

◇◇☆◇◇


Di suatu masa hiduplah seorang laki-laki yang ditakdirkan menjadi waliyullah. Taat beribadah namun tetap mengabdi pada orang tuanya. Suatu hari keluarganya membuat suatu rembukan. Mengingat usia pemuda wali sudah cukup umur untuk menyempurnakan agama dengan jalan menikah.

"Meski kamu sudah terpilih menjadi seorang wali tidak menutup kemungkinan untuk menikah, bukan?" Sang ibu membujuk putranya tersebut.

"Tidak, Ibu. Ananda tidak ingin menikah. Ananda takut ibadahku justru berkurang jika tercampur dengan urusan duniawi." Tolaknya.

"Menikah bukan hanya urusan duniawi, Nak. Ini juga salah satu ibadah yang sangat disunahkan Nabi kita, Muhammad." Sang ibu tak putus asa. "Lagipula kamu memenuhi syarat untuk itu. Jadi tidak ada salahnya menjalankan sunah Rosul," lembut dan halus bujukan sang ibu tetap tak mampu menggerakkan hati sang waliyullah.

Keluarga yang lain juga tak putus asa ikut membujuk. Menurut mereka sungguh disayangkan jika darah suci yang mengalir di tubuhnya tidak memiliki ahli waris. Memang, kewaliyan seseorang tidak bisa diwarisi. Akan tetapi kemurnian karomah sudah pasti mengalir dalam tubuh keturunan. Tekad pemuda wali tetap kukuh tidak ingin menikah. Dibujuk rayu bagaimanapun tak jua membuatnya tergerak untuk melaksanakan sunah rosul. Menyempurnakan agama melalui jalur pernikahan.

Sampai suatu malam dia tertidur saat kelelahan beribadah kepada Allah, dia bermimpi aneh. Saat netranya terlelap dunia sudah berubah. Hari kiamat telah tiba. Disana, dia temukan semua ramalan tentang rupa orang-orang di hari kiamat. Ketika dilanda kebingungan besar muncullah seorang anak kecil entah darimana. Dia berlarian membawa dua gelas air di tangannya. Wajahnya ceria dengan tawa gembira. Meski dibawa berlari, dua gelas air itu sedikitpun tidak tumpah.

"Hey, Nak!" Panggilnya ketika si anak kecil berlari di sampingnya.

"Ada apa, paman?" Tanyanya menghentikan laju lari. Menghampiri pemuda wali yang sudah berkeringat. Bagaimana tidak. Matahari berada satu jengkal di atas kepala dan tanah tempat mereka berpijak serasa seperti timah mendidih.

"Boleh paman minta satu gelas air yang kau bawa?" Pintanya merasa kerongkongannya sangat kering.

"Tidak." Anak kecil itu menyembunyikan dua gelas air.

"Ayolah, Nak. Paman sangat haus." Ucapnya lagi memohon.

"Tidak! Air ini tidak berhak untukmu. Dua air ini aku bawa khusus untuk kedua orang tuaku di depan sana." Ucapnya menunjuk kerumunan orang di barisan terdepan.

"Kalau paman mau air seperti ini, maka menikahlah. Punya anak. Nanti paman akan dapatkan air yang lebih baik dari ini." Serunya melanjutkan langkah. Kembali berlari gembira. Menyongsong kedua orang tuanya di barisan depan.

Mendengar perkataan si anak kecil, pemuda wali terbangun dengan keringat membanjiri tubuh. Dia duduk dalam perenungan besar. Teringat satu hadist,

"Apabila manusia mati maka amalnya terputus. Kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya." (HR. Ahmad).

Ketika orang tua meninggal, pahala anak cucu akan terus mengalir pada mereka meski tidak didoakan. Apalagi sang anak menjadi solih dan selalu mendoakan. Derajat orang tuanya semakin dimuliakan oleh Allah. Itu sebabnya mati sebelum menikah dianggap kerugian besar. Sebab setelah mati ia tidak akan mendapat aliran amal jariyah dari anak cucu. Kecuali dirinya mempunyai amalan terbaik saat masih hidup di dunia.

◇◇◇◇◇

"Nah loh, Vel. Orang yang jomblo itu di dunia ngenes, akhirat lebih ngenes lagi," celetuk Desty sepulang dari kajian singkat usai taraweh.

Santri Bikanafillah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang