Takdir kadang memang seunik itu
Disaat berusaha dekat, Allah jauhkan
Sekalinya mengikhlaskan, di dekatkan
Aneh bukan?◇◇☆◇◇
"Al, tobheten (solawatan selesai adzan) sana, kayaknya Kiai masih di Dhen Dejeh," salah satu pengurus menepuk bahu Alfiyah yang asyik menghafal solawat Ilahi.
"Ha? Aku? Yang lain aja mbak. Kan banyak tuh suaranya yang bagus," tolaknya enggan.
Meski dia tipe orang yang mana peduli pada gosip bukan tidak mungkin telinganya mendengar komentar tentang dirinya yang selalu ikut andil menggunakan mikrofon pesantren.
Dia seringkali diamanahi memimpin Burdah, Diba' malam jum'at, Tobheten jamaah maghrib dan subuh, dzikir maghrib dan syaroful anam ketika Kiai Zain sedang udzur hadir di acara kajian malam.
"Dasar doyan mix. Mentang-mentang sudah sering malah ketagihan kalo nggak pegang mix."
"Iya. Mana suaranya pas-pasan. Masih bagusan si A sama si B,"
"Iya betul. Aku bosan banget denger suaranya. Dia pikir artis pesantren apa?"
Sebagian komentar buruk tentang dirinya dilaporkan oleh teman-teman asrama yang peduli padanya. Sebagian lagi tanpa sengaja mendengarnya sendiri.
Bukan berarti tidak termakan omongan buruk itu. Hanya saja dia tidak punya pilihan untuk mundur. Takdir membawanya terus berkecimpung memimpin.
Sudah berkali-kali dia memberi kesempatan pada santri lain ketika Dibaan, ternyata mereka yang diberi tugas malah mengacaukan. Pada akhirnya di demo para santri akibat tidak khusu'. Dan terpaksa dirinyalah yang dipanggil pengurus mengambil alih.
Pernah selama seminggu dia pulang sakit. Santri yang memimpin Burdah menunggu kehadiran Kiai Zain kajian Safina juga kacau. Lafadz burdah memang benar. Hanya saja nada-nada yang biasa Alfiyah pakai malah tak banyak menguasai. Hal itu membuat dirinya tetap harus bertahan meski banyak gunjingan di belakang dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi padanya.
"Ayolaah. Di belakang banyak yang ngobrol tuh. Kalau sampai Kiai tau bisa dhukah sama kita semua. Dan berimbas pada jamaah," bujuknya masih tak putus asa.
Dengan berat hati dia menyanggupi. Meninggalkan sajadah menuju mesin pengeras suara untuk mengambil mikrofon. Setelah mengucap Basmalah, mulailah Tobheten menyentuh hati yang sedang digandrungi para santri.
"Allahumma solli ala Sayyidina Muhammadin solatan taj'aluna biha min ahlil ilmi dhohiron wa batina wa tahsyuruna biibadikas solihina fidunyana wa ukhrona wa ala alihi wa sohbih wa sallim."
Mendengar Alfiyah memulai solawat, secara otomatis mengghentikan santri yang bicara sendiri untuk ikut bersolawat bersama.
Dari kamar Lora Mahbubi, Hamada diam-diam mendengarkan. Suara itu seperti tak asing. Namun tak berani menebak.
"Eh Lora gembul, sini." Romi memanggil Lora Aab yang sedang mengambil air minum dari galon.
"Ada apa, Kak?" Tanyanya menandaskan air dalam gelas.
"Tau nggak siapa yang lagi solawatan itu, bagus banget suaranya." Ucapnya diiringi pujian.
Lora Aab diam sebentar. Dengan mimik lucu ikut mendengarkan, "Ooooh... itu suara Mbak Alfiyah," serunya kemudian.
"Alfiyah?" Romi merasa familiar.
"Itu loh yang biasa jagain Aab."
Hamada tersenyum samar. Ternyata benar dugaannya. Suara itu memang milik gadis yang pernah dipilih orang tuanya sebagai calon istri. Namun niat mereka urung karena saat itu sedang taaruf dengan gadis lain. Sayangnya niat baiknya kandas di tengah jalan tersebab gadis pilihannya justru menikah dengan salah satu sahabat karibnya. Apakah itu hukum karma?
KAMU SEDANG MEMBACA
Santri Bikanafillah (END)
Krótkie Opowiadania#01 in 30harimenulis (Senin,14ram1442H) #01 In 30Day (Ahad,270144H_05092021) SANTRI SERIES PART 2 #RAMADHANBERKARYA @WritingProjectAE Berawal dari mimpi mengantarkan takdir pada kenyataan. Sosok lelaki yang ditemuinya di alam bawah sadar justru dipe...