30. Ke Mekkah Naik Krocok

111 11 12
                                    

Karomah waliyullah terkadang memang di luar nalar manusia awam
Nyeleneh dari kebiasaan
Tak dapat ditiru, pun sulit dicerna
Namun nyata adanya.

◇◇☆◇◇

Alfiyah paham kebingungan suaminya. Diantara kesunyian malam dia ceritakan mimpi 10 tahun lalu saat dia bertemu seorang pemuda yang mengatakan dirinya bernama Ali Shihab vocalis asal Bangkalan. Dulu, beberapa tahun sejak mimpi itu dia tidak menghiraukan. Siapa sangka ternyata mimpi itu bukan sekedar bunga tidur. Melainkan sebuah isyarah dimasa depan.

"Seperti apa wajah Kakak di mimpi kamu. Ganteng nggak?" Faqih melempar godaan yang segera ditanggapi Alfiyah dengan tawa kecil. Ternyata suaminya humoris juga.

Sebelum menjawab ia tatap wajah suaminya cukup lama. Gugup yang dia rasakan saat masuk ke dalam kamar sudah hilang bersamaan dengan kepiawaian suaminya mencairkan suasana.

"Sepertinya cukup mirip. Tapi namanya mimpi kan kayak buram gitu ya. Kayaknya nggak ada tahi lalat deh disini." Alfiyah menekan pipi kanan suaminya tepat di atas bintik hitam.

Faqih tertawa membiarkan tangan Alfiyah tetap di pipinya. Ada desir hangat menelusup ketika istrinya mulai berani mengakrabkan diri padanya. Jatuh cinta setelah menikah ternyata seindah itu. "Masa sih?" Tanyanya memainkan alis.

Alfiyah mengedikkan bahu. "Kayaknya sih gitu." Tawanya begitu ringan. "Tadi Kakak janji mau cerita kan? Cerita sekarang ya. Nggak sabar nih." Ucapnya kemudian.

Saking bahagia bisa mengobrol santai dengan sang istri, Faqih sampai lupa kalau dia ingin menceritakan kisah Syaikhona Cholil. "Jatuh cinta kadang bisa membuat lupa segalanya." Selorohnya tertawa.

"Apaan sih. Ngegombal bae," Alfiyah mendelik lucu. Namun tak urung hatinya menghangat.

◇◇◇◇◇

Di waktu sore Kiai Kholil--seorang waliyullah Bangkalan duduk berbincang dengan salah satu muridnya bernama Syamsul Arifin di pantai. Mereka membahas masalah-masalah yang terjadi di pondok. Pun permasalahan yang terjadi pada masyarakat Bangkalan. Karena terlalu asik berdiskusi mereka tak menyadari kalau waktu sudah sangat sore. Matahari sebentar lagi tenggelam. Kiai Syamsul Arifin saat itu masih seorang santri kepercayaan Syaikhona Cholil. Ketika melihat matahari hampir meredup ia terkejut karena belum melaksanakan solat ashar.


"Mohon maaf, Kiai. Kita masih belum solat ashar. Namun matahari sebentar lagi tenggelam. Sepertinya tidak nututi untuk melaksanakan kewajiban kita." Tutur Kiai Syamsul Arifin membuat Syaikhona Cholil ikut terkejut.

"Astaghfirullah." Seru beliau memperhatikan matahari. "Syamsul, sana ambil krocok," perintah beliau.

Krocok adalah daun pohon aren yang sudah kering. Biasanya pohon tersebut tumbuh disekitaran pantai. Masyarakat Madura biasa memanfaatkan daun yang sudah kering tersebut sebagai sapu lidi.

"Mohon maaf, Kiai. Untuk apakah krocok ini," tanya Kiai Syamsul Arifin memegang krocok.

"Akan kita gunakan sebagai kendaraan berangkat ke Mekkah." Jawab beliau meminta Kiai Syamsul meletakkan krocok di atas pasir.

Kiai Syamsul Arifin menuruti perintah Syaikhona dengan wajah bingung. Dia letakkan krocok tersebut di atas pasir di depan Syaikhona Cholil. Kemudian tanpa bertanya lagi Kiai Syamsul mengikuti Syaikhona duduk bersila di atas krocok.

Santri Bikanafillah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang