16. Tahfid Novel

54 13 4
                                    

Membaca adalah jendela dunia
Menulis adalah keabadian
Keduanya menyatu membentuk simfoni fantastika rahmat Allah


◇◇☆◇◇



"Mbaaaaak...!!!"

Semua mata tertoleh ke ambang pintu. Dimana putra Kiai Zain yang terkenal galak pada santri berkacak pinggang menatap Alfiyah yang masih sibuk menjadi pendongeng.

"Ka'dintooooh, Ra," buru-buru gadis itu bangun. Menyambar kerudung menghampiri Lora Aab. "Ada apa, Ra?"

"Ada apa! ada apa! Kan tadi udah Aab bilang, abis isya temani Aab. Malah asik ngobrol sama mereka," gerutunya dengan pipi menggelembung kesal.

Reflek Alfiyah menepuk jidat. Dia benar-benar lupa pada janjinya. Sore tadi saat tiba di gerbang pesantren memang berpapasan dengan Lora Aab yang sedang bermain bulu tangkis di halaman dhalem tengah.

"Abis isya temani Aab ke Dhen Dhejeh. Aab mau nonton tivi,"

Di Dhalem tengah pernah ada tivi. Menyala bagus sebagai hiburan bagi Lora Aab dan Neng Naila jika malas pergi di dhalem utara. Sampai suatu hari tivi yang tengah dia tonton menayangkan kartun kesukaan tiba-tiba buram. Muncul warna pelangi memenuhi layar.

Hal itu membuat Lora Aab kesal hingga berujung memukul kepala tivi dengan keras. Usahanya tak membuahkan hasil. Justru mati. Entah mendapat ide dari mana Lora Aab mengambil segelas air lalu menyiramkannya pada mesin di belakang tivi.

"Ra, jangan!" Alfiyah gagal mencegah sang Lora menuangkan segelas penuh air putih.

"Biar tivinya idup lagi, Mbak," selanya kesal sambil terus memukul tivi.

Alfiyah menepuk jidat merasa bodoh sendiri membiarkan sang Lora bertingkah konyol. Mana ada tivi disiram air bisa menyala? Emang ikan? Apa jadinya jika Kiai Zain tau tivi jadul kesayangan beliau wepat alias mati suri. Jangan-jangan dirinya yang akan dimarahi. Oh tidak! Alamat gaswat darurat. Pikirnya kala itu.

Ketika Kiai Zain tau perbuatan konyol putranya alih-alih marah beliau hanya tertawa sambil geleng-geleng. Beliau sudah hapal betul tingkah Lora Aab memang berbeda jauh dari saudara-saudaranya yang lain.

"Tidak apa, Al. Mungkin tivi ini kepanasan. Makanya dimandikan sama Aab," gurau beliau membuat Alfiyah menahan tawa.

Lora Aab yang mendengarnya hanya cengengesan. Tidak berkata apa-apa karena merasa bersalah. Pada akhirnya tivi tersebut diasingkan. Dauh beliau mungkin sudah waktunya pensiun. Lagipula tivi jadul pertama yang beliau beli memang sudah seringkali konslet. Karena itu untuk apa diperbaiki lagi?

"Nyu'un seporah nggi (mohon maaf ya), Ra. Mbak benar-benar loppah (lupa) kalo malam ini mau menemani Pean,"

Alfiyah menangkupkan kedua tangan di depan dada. Menyesal karena membiarkan Lora kesayanganya sampai menjemput ke asrama. Lora Aab mendengus. Wajahnya melengos setelah puas mengomel. Hal itu membuat Alfiyah tersenyum samar. Takut kalau Lora Aab makin kesal.

"Emang mau nonton film apa?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika mereka sudah berjalan menuju dhalem utara.

"Ada deh," jawabnya cuek.

Alfiyah  mengedikkan bahu. Perjalanan mereka terasa hampa karena Lora Aab malas diajak ngobrol. Alvie mengalihkan kebosanan dengan melihat pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan yang mereka lalui hingga tanpa sadar sudah sampai di dhalem utara.

◇◇◇◇◇


"Za, pinjem lagi dong nomor KTS kamu." Alfiyah menjulurkan tangan kanan di depan Azzahra yang sedang mengerjakan tugas.

Santri Bikanafillah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang