11. Taraweh Di Martajasah

63 13 8
                                    

Ada degup berbeda
Ketika untuk pertama kalinya masuk dan berbaring di kamar penuh potret ulama milik seorang pemuda
Akankah itu takdir ataukah terbawa suasana belaka?

◇◇☆◇◇

Ketika dokter mengizinkan pulang pak Yahya menawarkan mobilnya untuk mengantar mereka ke Martajasah. Jika saja mobil sepupunya tidak masuk bengkel, pak Adnan pasti bersikeras menolak.

Tak terpikir olehnya kalau sahabat yang sudah dianggap kakaknya sendiri tak putus asa hanya mengantar ke Martajasah. Dia juga membujuk untuk menginap semalam di rumahnya.

"Ayolah, Nan. Jangan sungkan. Lagi pula mobilnya masih di bengkel, kan. Kasian juga sama Alfiyah. Dia masih sakit untuk duduk terlalu lama disini,"

Lagi-lagi pak Adnan tidak bisa menolak. Melihat putrinya bersandar lemas di pundak mamanya. Netranya terpejam dengan bibir pucat.

"Saya tidak ingin merepotkan Kakak terlalu banyak." Ungkapnya merasa tidak enak hati.

"Sama sakali tidak merepotkan. Kakak senang. Sungguh. Sangat senang bisa membantumu." Balas pak Yahya menarik pelan lengan Pak Adnan untuk masuk ke mobil.

◇◇◇◇◇

Bu Maryam membimbing Alfiyah memasuki kamar bernuansa hijau telur asin diikuti Bu Salamah. Mereka memapah gadis yang masih mengeluh pusing ke pembaringan. Saat masuk aroma dupa aromaterapic menyapa indra penciuman Alfiyah. Hal itu sukses membuat pikirannya berangsur ringan.

"Istirahatlah. Agar tubuhmu segera membaik," ucap Bu Maryam setelah merapikan bantal.

"Disini kamar Faqih. Sejak nyantri di Madinah empat tahun lalu kamar ini tidak begitu terawat. Hanya sesekali ditempati." Lanjutnya mengambil selimut dari tempat penyimpanan.

"Beruntung sekali ya mbak punya anak seperti dia. Mau menimba ilmu ke tanah suci Rosulullah." Puji Bu Salamah tulus. "Semoga saja suatu saat nanti Alfan bisa mengikuti jejak putramu,"

"Amin."

Dalam hati Alfiyah ikut mengamini. Alfan adalah adik bungsu yang masih berusia tiga tahun. Sejak di rawat di rumah sakit dan tidak boleh dijenguk, adiknya dititipkan ke bibinya. Karena tidak mungkin membawa anak di bawah umur ke rumah sakit. Selama di rumah sakit hanya kedua orang tuanya yang boleh berjaga. Anggota keluarga yang lain hanya bisa menjenguk sebentar. Tidak diperbolehkan menginap.

"Mama keluar dulu. Nanti kalau sudah waktunya minum obat Mama bangunin."

Dengan pelan gadis itu mengangguk. Bu Maryam menarik selimut hingga dada. Membiarkan putri sahabat suaminya itu tidur dengan nyaman.

Sepeninggal kedua ibu yang begitu perhatian padanya, Alfiyah menatap sekeliling. Setiap dinding berisi foto para ulama. Baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup.

Beberapa foto tampak familiar. Salah sarunya ulama masyhur akan kealiman dan jasanya. Pencetus perubahan dunia. Sebagian kumpulan potret habaib. Sebuah senyum merekah di bibir pucatnya. Damai rasanya menatap satu persatu wajah para kekasih Allah di setiap dinding.

"Benar kata Mama. Beruntung banget Ummi Maryam punya anak seperti dia. Jika saja..."

Seketika gelengan kepala membuatnya harus tersadar. Siapa dirinya yang berani berharap sesuatu yang tak mungkin. Meski pak Yahya pernah mengutarakan ingin menyatukan persaudaraan melalui perjodohan, belum tentu yang bersangkutan akan setuju. Lagipula mereka tidak mengenal satu sama lain. Keduanya terpisah jarak ribuan mil.

Santri Bikanafillah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang