23. Desir Mahabbah

57 11 6
                                    

Bulir-bulir cinta mulai bersemi
Bersiap tumbuh di bumi amanullah
Kapan hari, bolehkah kupetik harum kasturi mahabbah?

◇◇☆◇◇




Hamada berinisiatif mencari keberadaan Lora Imran di antara kerumunan orang-orang yang sedang melayat. Meninggalkan Alfiyah yang masih menggendong Neng Amila di dekat motor terparkir.

Gadis itu tak mau melihat keadaan kakinya. Dia takut pada luka. Sekecil apapun itu. Jangankan luka orang lain. Pada luka sendiri tidak berani.

"Loh Faqih, kok bisa ada disini? Sama siapa?"

Hamada menoleh pada orang yang memanggilnya. Ternyata pak Adnan--ayah Alfiyah. "Paman Adnan?" Tebaknya.

"Iya ini paman. Sama siapa kesini?" Ulangnya membawa pemuda itu menepi.

"Nanti saya jelasin, Paman. Saat ini saya sedang mencari Lora Imran. Apakah paman bertemu dengannya?" Ucapnya teringat Alfiyah yang sedang menunggunya.

"Tadi paman lihat ada di musollah. Coba kamu cari disana."

Pemuda itu mengangguk. Sebelum pergi dia mengatakan sesuatu pada pak Adnan, "bisakah paman ikut Faqih keluar. Namun sebelum itu saya mau cari Lora Imran dulu."

Ketika pikiran pak Adnan masih dipenuhi pertanyaan muncullah Lora Imran bersama istrinya diikuti Hamada di belakangnya. Mereka segera bergegas menemui Alfiyah yang sudah menunggu cukup lama.

"Mari, paman," ajak Hamada. Pak Adnan mengangguk.

Mereka berempat tiba tepat waktu sebelum Alfiyah jatuh terduduk. Tiba-tiba gadis itu merasa pening. Denyut di kakinya semakin menyiksa akibat terlalu lama berdiri sembari menggendong bayi.

"Mohon maaf ya Al sudah merepotkanmu," ucap Neng Wardah mengambil alih putrinya yang terbangun.

"Tidak apa, Neng. Saya senang melakukannya." Balasnya dengan tersenyum kecil. Tanpa dia sadari bibir itu tampak pucat.

Hamada menceritakan musibah kecil yang menimpa mereka. Luka di kaki Alfiyah memang tidak terlalu parah tapi cukup membuat gadis itu meringis kesakitan.

Suami istri itu lagi-lagi meminta maaf dan merasa sangat bersalah. Mereka meminta Alfiyah berobat di klinik tak jauh dari dhalem Kiai Ruslan. Lora Imran menyerahkan sejumlah uang pada Alfiyah.

"Tidak perlu, Ra. Ini hanya luka kecil. Uang ini terlalu banyak." Tolaknya tidak enak hati.

"Benar, Ra. Tidak usah. Dikasih obat merah nanti juga sembuh," Pak Adnan ikut menolak setelah mengamati putrinya baik-baik saja.

"Sudah. Terima ini. Anggap saja terima kasih kami karena mengantarkan Amila kesini." Neng Wardah menolak uang itu dikembalikan. "Hamada, bisakah pean antar Alfiyah ke klinik di sebelah sana, tolong bantu dia obati kakinya," ucapnya memohon pada Hamada yang langsung dibalas anggukan. Menyanggupi.

"Enggi. Akan saya antarkan,"

Kedua suami istri itu pamit kembali ke dalam. Sebentar lagi ambulance yang membawa Kiai Ruslan akan tiba dari Kota Bangkalan.

Di tepi jalan yang ramai kendaraan terparkir, Alfiyah merasa bingung bagaimana papa dan guru ngaji Lora Aab bisa kenal akrab. Ingin bertanya namun sungkan.

"Faqih," panggil pak Adnan sepeninggal Lora Imran dan istrinya. "Kamu hutang penjelasan pada paman,"

Alfiyah menatap pak Adnan dan Hamada bergantian. Faqih? Siapa yang papanya maksud? Hamada?

"Selama dua bulan ini saya ada di pondok Nangger, Paman. Jadi guru ngaji Lora Aab." Jelas pemuda itu mengungkap kebingungan pak Adnan.

"Kenapa tidak mampir ke rumah Paman?"

Santri Bikanafillah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang