Nirina

214 16 3
                                    

"Saudara, ratusan rumah ludes terbakar di daerah …"

Kembali Haris menilik ponselnya. Tak satupun pesan yang ia terima dari anaknya, Nirina. Matanya memandang televisi, namun pikirannya tidak. Ia rasa, panggilan Nirina tadi siang cukup penting. Namun, karna ia sedang bersama Puri—kekasih hati sekaligus pegawainya—terpaksa ia tidak menjawab panggilan Nirina.

Hatinya cukup gelisah, melihat jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat, dan putrinya belum juga pulang. Apakah Nirina berulah lagi? Apakah anaknya tidak akan pulang ke rumah?

Lamunannya buyar seketika, saat mendengar kenop pintu terbuka. Sosok Nirina pulang dengan wajah kumal dan baju yang berantakan. Nirina tau disana ada Ayahnya, tapi ia sangat sangat tidak peduli. Ia langkahkan kakinya menuju lantai atas, menuju kamarnya.

"Nirina! Kamu darimana?" Tanya Haris dengan gaungan suara yang cukup keras.

Nirina hanya menggeleng dan tetap meneruskan langkahnya.

"Kamu abis ngapain? Clubbing?! Having sex?! Apa tawuran?! Jawab Ayah!" Tuduh Haris berkali-kali.

Nirina berbalik, "Ayah enak banget ya ngomong kayak gitu? Anaknya dateng langsung diocehin! Bisa-bisanya Ayah nuduh aku yang bukan bukan!" Balas Nirina sengit.

Haris beranjak dari sofanya. "Ya kamu mikir aja! Mana ada cewek pulang jam segini?! Cuma cewek gak bener yang pulang jam segini! Titania sama Rio emang pengaruh buruk buat kamu!"

"Gak usah bawa-bawa mereka, Yah! Mereka anak baik-baik! Mereka yang nganterin Nirina pulang ketika Nirina gak ada yang mau jemput!"

"Halah alasan! Jangan ngebantah kamu! Semua pesan Ayah gak kamu jawab, udah pasti kamu lagi clubbing!"

Nirina terkesiap, ia tidak menyangka kalau Ayahnya akan menuduhnya seperti ini. Padahal ia benar-benar dalam bahaya siang tadi.

"Oh ya?! Ayah nyariin aku? Terus waktu aku telepon Ayah kemana?!?"

Seluruh penjuru rumah hanya terdengar gema suara perpecahan Ayah dengan anaknya. Bahkan, seorang pembantu dirumah Nirina-pun jadi takut untuk melakukan pekerjaannya di dapur.

"Ayah ada rapat, makanya gak bisa angkat telepon," jawab Haris menggantung dan jelas membuat Nirina semakin curiga.

Nirna turun satu tangga lebih dekat dengan ayahnya. "Jawab jujur, kenapa Ayah gak jawab telepon aku? Beneran rapat? Atau karna PURI, Yah? Karna PURI, 'kan?!?" Nirina berteriak menekankan nama Puri.

Haris diam, tak berani menatap putrinya tersebut. Begitupun Nirina, ia diam, membeku, ia sudah tau jawaban sebenarnya dan itu membuat hatinya sakit. Air matapun sudah tak bisa di tahan lagi.

"Aku nyaris mati tadi siang, Yah … Aku nyaris di tembak sama psikopat … Aku capek, Yah … Aku …" Nirina terisak. "Aku mau istirahat. "

Nirina berbalik, berkali-kali ia usap air matanya yang semakin lama semakin deras. Ia pijakkan kakinya menaikki anak tangga dengan gontai. Andai ia bisa mengulang waktu, maka ia akan membiarkan John menembaknya mati saat itu juga.

***

Nirina bersandar pada meja kelasnya. Kepalanya menghadap kiri, memperhatikan Rio yang keadaannya mulai membaik, meski masih sering melamun dikelas. Kejadian 4 hari yang lalu, masih membekas dihatinya dan keluarganya.

Sejak saat itu, Rio tampak muram dan jarang sekali tertawa.

Berbeda dengan Titania, perempuan yang satu ini justru sedang asyik-asyiknya berbagi cerita dengan Lidya. Meski masih kaku, namun mereka mencoba untuk saling memahami. Baik Lidya maupun Titania, sedang mencoba menerima semuanya dan hidup sebagai saudara tiri yang akur. Terbukti, dengan mereka berdua yang sekarang sedang cekikikan membicarakan kejutan ulang tahun untuk papanya.

Nirina tersenyum kecil, keadaan perlahan kembali normal. Semuanya perlahan kembali pada tempatnya. Tapi mungkin tidak untuknya. Nirina merasa, kehidupannya masih sama berantakannya. Atau mungkin lebih berantakan dari sebelumnya.

Ia melangkahkan kakinya gontai menuju ruang UKS. Ia berniat untuk bolos jam pelajaran sejarah. Bukan apa-apa, bu Kisa juga hari ini tidak masuk.

"Mau bolos?" Yusa, sudah berdiri disamping Nirina menyamai langkah perempuan itu.

Nirina menolah terkejut, lalu menghela nafas. "Gue lagi sakit," jawabny nyeleneh.

Yusa lalu berhenti. "Lo sakit?" Ia menarik tangan Nirina memperhatikan wajahnya. "Badan lo gak anget, lo pusing?"

Nirina menarik tangannya dan melengos pergi meninggalkan Yusa. Ia tahu, Yusa sedang mengkhawatirkannya tapi saat ini, ia benar-benar butuh ruang, ia butuh sendiri, Nirina sudah lelah berdesak-desakkan dengan masalah-masalah dihidupnya.

Sesampainya di ruang UKS, ia lantas bersandar pada lemari besi yang biasa ia buka untuk menaruh perkakas kesehatan. Ia telungkupkan kepalanya diantara kaki dan tangannya. Aroma khas ruang kesehatan memang bukan aroma penenang seperti di meditasi, tapi setidaknya ia tidak perlu menghirup aroma busuk dari semua beban hidupnya.

Dua jam terlewatkan, dan Nirina segera bangun dari tidur ngablunya. Ini waktunya pulang, dan ia sudah melewatkan satu jam pelajaran bahasa Jerman. Baru akan berdiri, kaki Nirina menyenggol plastik berisi roti dan sebuah botol mineral, di sampingnya terlihat secarik kertas berisikan sebuah pesan.

"Apapun itu yang mengganggu lo, semoga itu gak ngaruh ke kesehatan lo."

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang