Effect

216 16 1
                                    

Perempuan itu, semakin hari semakin terlihat murung. Ia selalu kedapatan sedang melamun, entah apa yang ia pikirkan. Dan, lelaki di sebrangnya selalu memperhatikan gerak-gerik perempuan ini. Ia penasaran, apa yang perempuan ini pikirkan setiap harinya. Perempuan ini tak se-ekspresif temannya, perempuan ini tak se-hyper temannya.

Mungkin bukan hanya Yusa yang penasaran di luar sana. Namun hanya Yusa yang berani bertanya pada Nirina.

Yusa duduk disebelah Nirina yang belum sadar ada Yusa disampingnya. Kakinya berayun-ayun teratur, seirama dengan hembusan angin siang yang menyejukkan. Sekali lagi, Yusa memperhatikan garis wajah Nirina. Entahlah, ia merasa kalau ia perlu membantu Nirina, terlebih lagi ia ingin membalas budi baik Nirina, karna berkat nasihatnya, hubungan Yusa dengan orang tuanya cukup berjalan baik sekarang.

"Apa sih yang lo pikirin?" Tanya Yusa.

Nirina sedikit terkejut, ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh. Yusa disampingnya terus saja tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang rapih.

"Menurut lo?" Balas Nirina singkat.

Hening. Nirina kembali terjun ke dalam pikirannya, sementara Yusa mencoba mengejar Nirina masuk ke dalam lorong gelap pikiran perempuan itu. Yusa penasaran, setiap hari Nirina selalu diam, tidak seaktif Titania. Biasanya seseorang akan terpengaruh dengan temannya. Kalau temannya ceria, pasti orang itu akan ceria, kalau temannya jutek pasti orang itu jutek. Tapi tidak dengan Nirina, ia lebih banyak diam dibandingkan Titania.

"Lo tau gak, dunia siapa yang paling gue pengen tau?" Tanya Yusa tanpa menatap Nirina.

Nirina menoleh malas, "Ortu lo?" Jawabannya kemudian mendapat gelengan dari Yusa. "Pacar lo?" Tebak Nirina lagi, dan mendapat gelengan kembali.

"Tapi, Elo." Mata mereka bertemu. Untuk sesaat Nirina menatap mata Yusa yang biasanya terlihat sendu namun sekarang terlihat sangat ceria.

"Gue penasaran, apa aja yang ada di pikiran lo? gue penasaran apa sih yang lo rasain? Gue penasaran kenapa lo selalu diem, ngutak ngatik pikiran lo sendiri? Pernah gak sih lo berbaur sama lingkungan lo? Dan peka sama yang ada disekitar lo?" Yusa terus berkata, selagi ia menatap mata Nirina.

Nirina diam, lalu memalingkan wajahnya. "Sesorang pasti punya titik lelahnya, dan ada saatnya gue gak mau berbagi tentang apapun, dan peka terhadap semuanya. Lo taulah makna 'capek'."

Yusa terkekeh. Mungkin bisa dibilang kekehan tak percaya.

"Masa lo capek tiap hari? Sebesar apa sih beban yang ada di bahu lo itu?"

Dengan telunjuknya, Nirina memberikan sebuah simbol yang ada di Matematika.

"Tak terhingga."

***

Titania berdiri di depan mading sekolahnya. Sambil mengunyah permen karet, ia juga berpikir. Melihat pengumuman festival sekolah yang akan diadakan 3 hari lagi cukup membuatnya terkejut. Terlalu asyik dengan tugas Sejarah, sampai-sampai ia tidak tahu pengumuman penting ini yang sudah ada sejak 2 minggu yang lalu.

Ia lalu berbalik mencari Nirina dan Rio, sepertinya ia sudah punya rencana untuk membuka stand apa nantinya di festival tahunan sekolah ini.

"GUYS!!" teriaknya seantero lorong sekolah yang tentu saja membuat banyak orang terkejut.

Nirina yang kebetulan sedang bersama Rio menoleh dengan malas. Betapa memalukannya kelakuan Titania ini.

"Bisa gak teriak, 'kan?" Tanya Rio sebal.

"Gak bisa!" Jawab Titania bersemangat. "Ayo kita buka stand di festival sekolah!!" Serunya kemudian.

"Stand apaan? Makanan? Tarot? Sulap? Ah basi!" Nirina mengibaskan tangannya tepat didepan muka Titania, yang tentunya membuat temannya itu risih.

Titania menghentikan tangan Nirina. "Bukan! Tapi stand Pembaca Masa Lalu Orang Bersama Nirina! Gimana gimana??"

Nirina dan Rio sama-sama menoleh. Ide gila apa lagi yang akan muncul dari mulut seorang Titania.

"Pake cermin itu?"

"Oh makasih, Tan! Gue cukup waras untuk itu!" Tolak keduanya, kompak.

Bahu Titania turun, yang tadinya semangat, ia langsung badmood sangat sangat badmood.

"Gak asik! Gue yakin ini pasti laku! Percaya deh!" Titania mencoba meyakinkan kedua temannya.

Nirina dan Rio saling menatap satu sama lain, seperti berkomunikasi mata dengan mata. Melihat wajah Titania yang memelas, membuat keduanya hanya mengangguk pasrah.

***

Beberapa hari berlalu, dan hari inilah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh ketiga sejoli-atau mungkin yang menunggu hanya Titania? Sementara sisanya hanya merasa kekhawatiran yang berlebihan.

Sekali lagi Nirina merapihkan taplak meja berwarna hitam kemerahan itu. Diletakkannya cermin tulip kembar tersebut di tengahnya. Sementara Rio sibuk mendirikan tenda stand yang semuanya serba hitam, dengan hiasan bulan dan bintang yang akan bercahaya apabila keadaan gelap.

Di tempat lain, Titania sedang sibuk promosi diluar tenda. Tangan kanannya memeluk tumpukkan poster kecil, ia bilang ide ini sangat kelewat brilliant! Saking semangatnya, ia sampai lupa mendaftarkan stand nya ini ke panitia kemarin. Untunglah masih sempat, jadi Titania tidak akan menangis meraung-raung pada panitia agar pendaftarannya diterima.

Yusa berjalan-jalan, memperhatikan setiap stand yang didirikan. Beberapa diantaranya ada stand makanan khas berbagai daerah dan negara, ada juga tenda yang menyajikan perlengkapan cosplay, dan menurut lelaki ini itu semua sudah biasa. Matanya menyorotkan hasrat penasaran begitu melihat Nirina disamping Titania menyebarkan selebaran. Penasaran Yusa-pun menghampirinya.

"Buka juga?" Tanya Yusa sambil menerima selebaran dari Titania dan membacanya.

"Iya dong! Ini pertama kalinya gue buka, Yus! Dan menurut lo gimana?" Nada percaya diri Titania membuat Nirina sedikit terkejut.

Yusa mengangguk paham, lalu mengalihkan matanya dari selebaran tadi.

"Lumayanlah, kreatif, tapi 'kok gue punya feeling gak enak, yah?" Mendengar ucapan Yusa, segera Rio menyikut pinggang Yusa dan mendapat tatapan bertanya dari Yusa.

Titania diam dengan wajah tak suka. "Yus, daripada lo komen mulu, mending lo bantuin gue!" Sentaknya, lalu memberikan setumpuk selebaran promosi kepada Yusa sebelum ia pergi entah kemana.

Rio berbalik menghadap Yusa yang keingungan. "Titania emang gitu, sabar bro!" Tepukkan di bahu Yusa cukup membuat lelaki itu mengerti.

Nirina tertunduk, ia menghentakkan kakinya ke tanah. Berkali-kali ia menghela nafas. Tentu saja ia gugup dan takut. Masalahnya, ia akan bermain dengan cermin itu, kalau stand ini laku, maka akan semakin sering ia bermain dengan cermin itu, dan ia takut akan terjadi sesuatu pada dirinya, terlebih lagi efek-efek yang bisa ia lihat sendiri bukanlah efek yang baik.

Kalau diperhatikan lagi, tak satupun kasus para pemilik cermin ini yang bagus, dan itu membuat Nirina semakin khawatir, ia takut ketergantungan nantinya.

Ternyata, Yusa menyadarinya. Lelaki itu lalu menepuk puncak kepala Nirina selama beberapa saat. Nirina mengangkat kepalanya, matanya dapat melihat Yusa yang sedang tersenyum, dan menenangkan.

"Jangan gusar gitu, berdoa, yakinin diri lo kalo gak akan ada apa-apa,"

Lalu Yusa melengos pergi membagi-bagikan selebaran itu lagi, meninggalkan Nirina yang membeku selama beberapa menit.

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang