Patung

203 17 1
                                    

Tidak ada lagi yang lebih di curigai Rio selain si John ini. Entah kenapa, ia merasa John bukanlah seseorang yang baik. Rio berprasangka kalau ada sesuatu yang ditutupi dari John ini.

Entah itu apa, yang jelas Rio merasa itu bukanlah hal yang baik.

"Lo yakin? Kita ngikutin ke rumah si John itu?" Tanya Rio yang memegang kemudi, membawa mobilnya mengikuti mobil John pergi.

Titania mendengus untuk yang kesekian kalinya. "Rio, udah berapa kali lo nanya kayak gini? Emang kenapa, sih? Kak John keliatannya baik, 'kok! Iya 'kan, Rin?"

Rio melirik kaca spion belakang, dan terlihatlah Nirina yang mengangguk pasti tanpa perasaan takut sedikitpun. Berbeda sekali dengan Rio, yang jemarinya semakin dingin dan ia bahkan berkeringat dingin.

***

"Selamat datang di gubuk gue!" Sambut John dari depan pintu dengan tangan yang dibentangkan.

Titania terkekeh. "Gubuk? Kalo gubuk aja kayak gini, rumah mewahnya gimana?"

Tidak hanya Titania yang terkekeh heran, Nirina juga sama. Heran, rumah dengan pintu putih besar bergagang besar dilapisi warna emas dan dilengkapi dengan halaman rumah yang sangat luas, dan masih dibilang gubuk?

Ruang tamunya sangatlah luas, di lengkapi dengan interrior-interrior mahal dengan kayu jati yang mengkilap katna cairan putih yang-entah-apa-itu.

Sebuah patung berupa wanita yang sedang tertunduk di tutupi kain, menghiasi bagian sudut ruang tamu. Nirina melihat patung itu, terkagum-kagum karna patung ini terlihat sangat cantik. Bukan cantik hasil karya, tapi cantik yang sesungguhnya.

"Cantik," puji Nirina dengan tangannya yang mengusap tangan patung itu.

John tersenyum penuh arti disampingnya. "Cantik, bukan? Lo itu orang yang kesekian yang bilang patung ini cantik,"

Titania memperhatikan mata patung itu, wanita di patung ini sedang tertidur sepertinya.

"Siapa namanya?" Tanya Titania.

Wajah John sedikit menegang, ia terlihat gugup dan ketakutan. "Nama? Maksudnya?" Tanyanya terbata-bata yang jelas membuat Rio curiga.

"Nama patung itu siapa? 'Kan banyak para seniman bikin lukisan atau patung terus di namain gitu?" Jelas Titania.

Rio yakin sekali kalau ia melihat kelegaan di raut wajah John.

"Ah, namanya belom kepikiran. Mungkin nanti gue namain!" Jawab John.

Matanya beralih pada Nirina yang dengan wajah penasaran mendekati sebuah pintu cokelat, yang menurut Nirina memiliki aura dan wangi yang aneh saat berdiri didepannya.

"Jangan kesitu!" Serga John lalu menarik Nirina menjauhi pintu itu.

"Loh? Eh! Maaf ya, Kak! Abis saya penasaran, itu pasti kamar Kakak ya?" Tebak Nirina takut-takut.

John mengambil nafas, berusaha menenangkam dirinya sendiri. "Ya, itu kamar gue, jadi jangan masuk ke kamar itu, dan ayo kita wawancara di ruang keluarga." Ajak John yang kemudian diikutin Nirina dan Titania. Sementara Rio sempat punya pikiran lain.

"Jadi, gini loh, Kak! Saya mau tanya soal cermin ini." Buka Nirina langsung tanpa basa-basi. Tangannya mengeluarkan cermin gagang yang akhir-akhir ini menemaninya ke semua tempat yang jauh dari jangkauannya.

John sempat tercekat, jemarinya sejenak mendingin. "Lo dapet darimana?" Tunjuknya dengan dagu.

"Ini-"

"Sori, boleh gue minjem kamar mandinya?" Sela Rio saat Nirina akan menjawab pertanyaan John.

John diam, sebelum akhirnya tangan kanannya terangkat menunjukkan arah. "Disana, terus belok kiri," ujarnya kemudian.

Rio mengikuti arah yang diberikan John. Sayangnya, ia tidak belok kiri, justru ke kanan. Ke berbelok dan berhenti di depan pintu kamar, yang tadi Nirina dekati. Pintu kamar dengan aroma dan hawa aneh apabila ia berada di sekitarnya.

Tangannya memutar kenop pintu, membuay bunyi terbuka yang tidak cukup berisik.

Nafas Rio sedikit tercekat, kakinya sedikit bergetar. Rasanya ia sudah memasuki kandang macan. Aneh rasanya, bila di dalam kamar ini terdapat puluhan drum formalin, beberapa alat beda, toples-toples berjejer di dalam lemari kaca, yang Rio yakin, isi toples itu adalah organ manusia.

"Sebenernya kenapa...." ujar Rio gemetar, setelah melihat beberapa tumpuk semen yang sudah larut.

Sebuah bathup putih besar mengalihkan pandangannya. Ia berjalan mendekat, merasakan tengkuknya yang meremang. Kembali Rio dibuat terkejut, bak mandi itu penuh dengan darah. Beberapa bercak-bercak merah terlihat di tembok ruangan itu. Bahkan ada telapak tangan besar yang tercetak di lantai.

Yang semakin membuat Rio tercekat adalah, sebuah sudut ruangan ini yang diberi sekat berisi puluhan atau mungkin ratusan foto adiknya, Ariska. Foto-foto itu memperlihatkan Ariska yang sedang tertawa, marah, cemberut, dan ada juga yang sedang berpelukan dengan sosok lelaki yang sangat Rio curigai kehadirannya. Dialah John.

"Udah gue bilang, kan? Untuk ga deket-deket ruangan ini?"

Suara John nyaris saja membuat Rio hilang keseimbangan.

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang