Pada Kenyataannya

208 14 1
                                    

Hari ini begitu terik. Meski begitu, lapangan sekolah sangat sangat ramai. Ya, free class membuat para pemandu sorak sekolah, dan anggita drum-band memutuskan untuk berlatih di tengah lapang, dan membuat setengah penduduk sekolah mengerubungi lapangan.

Titania tampak semangat memandu anak buahnya. Ia melompat ke sana kemari dengan riang. Kemarin malam adalah malam yang sangat indah untuknya, meski Papanya hanya mampu menemaninya sehari saja karna besoknya Galih harus berangkat ke Bali.

"One two three!"

Sorak Titania di iringi lagu ceria yang membuat semua lelaki yang melihat menjerit histeris. Ya, pemandu sorak atau nama bekennya itu cheers memang sangat ditunggu-tunggu penampilannya oleh semua kalangan, terutama para lelaki.

"Lidya mana?" Tanya Titania pada Sarah adik kelasnya.

Sarah menggelengkan kepalanya tak tau. Ia kemudian melanjutkan gerakkannya. Dan kembali, lapangan ramai karna kehebatan tim para penyemangat ini.

Tim drum-band lalu masuk, ikut ke dalam formasi tim Titania.

"Titania!"

Gaung suara Lidya menghentikan semuanya, termasuk sorak sorai yang di lakukan para penonton. Hening, entahlah suasananya sangat mencekam.

"Ah Lidya! Akhirnya lo dateng juga! Ayo formasi inti, nih!"

Titania mencoba merangkul Lidya, namun buru-buru di tepis perempuan yang masih berpakaian seragam lengkap, berbeda dengan Titania yang sudah berganti menjadi baju khas pemandu sorak.

"Eh? Kenap-"

Brukk!!

Lidya mendorong tubuh Titania sampai perempuan itu tersungkur. Semua penonton yang mengelilingi lapangan terkejut, beberapa dari mereka bahkan sampai menutup mulutnya.

"Aw! Kenapa sih lo, Lidya?!" Titania berusaha bangkit dari jatuhnya.

"Eh anak haram! Bilangin nyokap lo ya?! Jangan gatel sama suami orang! Bitch!" Cecar Lidya.

Titania membelalakkan matanya, "M-maksud lo apa?!"

Lidya melempar foto masa kecilnya, dimana ada sosok Galih, ayah Titania, yang ternyata ayah Lidya juga. Di foto itu juga, ada Dinda, ibu Lidya yang menurut Lidya menjadi korban di kasus ini.

"Lo tau? Nyokap lo ini ngegoda bokap gue! Bilangin ke nyokap lenjeh lo itu! Jangan deketin bokap gue lagi! Dan lo anak haram gak pantes tau gak jadi ketua tim cheers kita! Malu gue!"

Titania menatap lekat-lekat foto itu. Ya, benar itu benar Papanya, itu benar Galih. Papanya yang kemarin merayakan ulang tahun Mamanya dan menjadikan malam itu sebagai malam yang paling indah untuk Titania.

Lidya menarik kembali foto itu dan meninggalkan Titania dan keramaian lapangan.

"Titania!" Nirina dan Rio berlari menuju Titania yang masih diam membeku.

Nirina memeluk Titania, mendekapnya agar temannya itu tak terlalu terguncang. Titania tetap diam, tak membalas pelukan Nirina. Ia terlalu terguncang, bahkan hatinya bergetar hebat. Ia kecewa, sangat-sangat kecewa. Mungkin inilah sebabnya kenapa Papanya jarang pulang sampai bertahun-tahun. Ya, karna Mamanya hanyalah wanita simpanan.

Titania mendorong tubuh Nirina dan berlari meninggalkan lapangan. Nirina diam, sementara Rio sudah berancang-ancang akan mengejar Titania. Namun gerakkan terhenti,

"Jangan, dia butuh sendiri," cegah Nirina.

***

Sudah empat jam lebih Titania belum kembali ke kelas. Tasnya masih tergeletak di mejanya, Seragamnnya juga masih ada hanya jaketnya yang tidak ada. Kemungkinan Titania masih berada di area sekolah dan masih mengenakan seragam cheers-nya.

"Rin, udah lo hubungin Titania?" Tanya Rio untuk yang kesekian kalinya.

Nirina mengangguk pasrah, berkali-kali ia menelepon ke ponsel Titania, namun tak satupun panggilannya di jawab. Nirina khawatir, sangat-sangat khawatir. Bagaimana kalau ada kejadian yang tak di inginkan terjadi pada sahabatnya itu? Terlebih lagi di luar hujan deras, Nirina semakin risau.

Nirina membuka tasnya, bermaksud meletakkan ponselnya di sana. Namun, ia langsung terkejut saat melihat cermin tulip itu sudah tidak ada di tas-nya. Satu hal yang ia sadari, mungkin cermin itu ada pada Titania.

"Rin, lo nyariin Titania, 'kan?" Tanya Yusa yang tiba-tiba masuk ke kelas dengan jaket kulitnya.

Nirina mendongak lalu mengangguk, "Dia ada di gor sekolah," tanpa babibu lagi Nirina langsung berdiri hendak menghampiri Titania. Namun langkahnya di tahan Yusa.

"Hujan, jangan ngambil resiko lain," Yusa menyodorkan payung lipat biru yang ia bawa. Nirina tersenyum kecil dan mengambilnya.

"Ayo sekarang!" Ajak Rio yang sudah siap dengan hoodie hitamnya.

Setelah melewati hujan yang cukup deras, akhirnya mereka berdua-karna Yusa memutuskan untuk tak jadi ikut karna tiba-tiba saja di panggil teman satu ekskulnya-sampai di depan gor sekolah. Rio masuk duluan yang kemudian di ikuti Nirina.

Terdengar suara isakkan tangis. Nirina langsung menangkap sosok Titania dengan jaket tosca kesayangannya dan benar, cermin itu ada di tangan Titania. Tubuhnya gemetar kedinginan. Buru-buru Nirina dan Rio menghampiri Titania.

"Titania!" Nirina memeluk sahabatnya itu. Kali ini Titania membalas pelukannya.

"Lo gak apa-apa 'kan, Tan?" Tanya Rio khawatir.

Titania menangguk di dalam pelukan Nirina. Ia kembali terisak, malu dan sedih di saat yang bersamaan. Berkali-kali ia mengumpat, entah untuk siapa.

"Udah lo liat?" Tanya Nirina sambil melepaskan dekapannya.

Titania menggeleng, "Gue gak siap, gue gak mau,"

"Gimana kalo kenyataannya emang bener kalo nyokap gue itu istri simpanan? Gimana kalo ternyata bener kalo selama ini-selama ini nyokap gue itu perebut suami orang?!" Isakan tangis Titania menggema di seluruh penjuru gor.

Hati Nirina bahkan bergetar, ia tau rasanya, ia tau bagaimana hancurnya perasaan Titania. Remuk. Mungkin lebih sakit dari itu.

"Terus apa? Apa dengan gitu nyokap lo bakal jadi monster? Apa dengan gitu lo bakalan pergi dari nyokap lo? Apapun itu kenyataannya, lo harus terima itu," jawab Nirina.

"Tapi Lidya bilang gue anak haram, Rin! Lo gak ngerti!"

"Gak ada yang namanya anak haram, Tan! Semua bayi yang baru di lahirkan itu suci! Jangan limpahkan semuanya ke seorang bayi, mereka bahkan gak tau apa-apa! Semuanya balik lagi ke orang tuanya, lo sama kayak gue, kayak Rio, sama! Kita sama-sama di lahirkan untuk menjadi anak yang membanggakan, bukan anak yang menakutkan, lo harus yakin itu!"

Bibir Titania bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Di tatapnya lagi cermin tulip kembar itu, pertanyaan demi pertanyaan muncul di otaknya.

Sanggupkah ia melihat kenyataannya?

Sanggupkah ia menerima semuanya?

Dan, apa yang akan ia katakan nantinya kepada Mamanya?

Titania menarik nafasnya dalam-dalam. Dipikirkannya nama Mamanya, Shintya. Ia berusaha fokus, meski suara halilintar terdengar beberapa kali.

Disampingnya, Rio dan Nirina mencoba menguatkan Titania.

Titania mulai merasa pusing yang hebat di kepalanya. Ia merasa mual juga, dan sesak di dadanya. Beberapa kali ia kesusahan menarik nafasnya.

Shintya. Shintya. Shintya.

•••M-M•••

A/N

Stok part mulai menipis!! Haaaa~ jangan lupa kasih kritik & saran dari cerita ini yaaa~ karna kebahagian penulis adalah itu ^^

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang