Under The Rain

196 12 1
                                    

Nirina duduk di tepian koridor sekolah dengan wajah lemas. Detak jantungnya masih normal-normal saja, begitu juga dengan nafasnya. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi kemarin sore. Sangat menggemparkan.

Pandangannya beralih pada langit sore yang di penuhi oleh awan hitam. Sebentar lagi pasti hujan turun. Tapi supir yang mulai hari ini mengantar-jemput Nirina belum datang juga. Ia menoleh ke kanan begitu menyadari seseorang sedang berjalan menghampirinya. Itu Yusa.

"Belom pulang?" Tanya Yusa dan mendapat anggukkan pelan dari Nirina.

"Lo baik-baik aja, 'kan?" Tanya lelaki itu lagi.

Nirina menghela nafas panjang. "Sekarang, lo udah tau 'kan? Beban apa yanh selama ini ada di bahu gue"

Yusa mengangguk. "Beban lo ternyata berkali-kali lipat lebih berat dari gue ... sori, waktu itu kesannya gue sok heroik gitu."

Nirina diam saja tak membalas apapun. Mereka berdua hening, menikmati sayu-sayu angin yang melewati keduanya. Tak lama, terdengar dentingan piano, yang biasanya selalu di mainkan hari ini oleh mereka yang mengikuti ekskul musik. Yusa tersenyum simpul.

"Lagunya asik, mau ikut?" Ia mengulurkan tangannya pada Nirina. "Ayo!" Lalu menarik Nirina ke tengah lapangan.

Nirina memandang Yusa bingung. "Mau ngapain?" Tanyanya dengan senyuman bingung.

Tanpa aba-aba, Yusa memegang pinggang Nirina, membuat perempuan itu terkejut dengan tipisnya jarak diantara mereka. Yusa menggenggam tangan kiri Nirina dan merentangkannya. Sekarang Nirina mengerti apa yang akan di lakukan Yusa. Untunglah sekolah sudah sepi.

Yusa menggerakkan kakinya teratur sesuai irama piano yang masih terdengar samar. Dan Nirina berusaha menyamai langkah Yusa. Sesekali terdengar kekehan dari mulut keduanya.

Namun, pikiran Nirina melayang kemana-mana.

"Alasan Ayah, selalu ngerahasiain tentang Mama karna Ayah benci Mama kamu. Dia bukan seorang istri dan anak yang baik ... Dulu, dia pernah dapet paket berisi cermin yang persisi seperti cermin itu ...."

Terngiang di kepala Nirina, tentang Mamanya yang sudah tiada itu.

"Mamamu tau, kalau cermin itu bisa melihat masa lalu seseorang, dan setiap hari Mama cuma ngeliatin masa lalu orang dari cermin itu, tanpa ngurusin kamu ... suatu hari, Ayah nemuin kamu, jatuh tersungkur di dekat tangga ... kamu menangis, menjerit, dan kesakitan, begitu Ayah masuk ke kamar, yang apa lihat adalah, Mama kamu yang sibuk bermain dengan cermin itu ..."

"Ayah muak dengan itu semua, sampai akhirnya Ayah ambil cermin itu dan Ayah buang ... Mama kamu gak terima, dia kelihatan seperti orang gila, mencari-cari cermin itu di semak-semak, tempat sampah, bahkan kebun penuh nyamuk ... Ayah berusaha membawa Mama kamu kembali, tapi Mamamu berontak, dan berlari ke tengah jalan ..."

Sekarang, tenggorokan Nirina terasa kering dan perih. Matanya memanas, namun ia tetap memaksakan senyuman di depan Yusa. Nirina berputar dan kembali berdansa bersama Yusa yang masih berlum menyadari wajah Nirina.

"Sampai akhirnya, Mama kamu tertabrak truk besar, dan disitulah ... Mama mu meninggal dunia ...."

Gemuruh berdatangan silih berganti, sampai akhirnya hujan pun membasahi Yusa dan Nirina yang masih menari di tengah lapangan. Suara piano tak lagi terdengar, yang kedengaran hanya suara serbuan air hujan yang turun membasahi bumi.

"Hujan! Ayo neduh!" Yusa berusaha menarik Nirina, namun gerakkannya di tahan Nirina dengan baik.

Nirina menggeleng. "Jangan, ayo lagi! Gapapa seru!" Ujarnya dengan suara bergetar.

Sejenak Yusa tertegun, baru menyadari sesuatu. Nirina meraih tangan Yusa, mencoba untuk berdansa lagi bersama cowok itu. Dengan paksaan, Nirina tersenyum dan berputar sambil terus menggenggam jemari Yusa.

Yusa memandang Nirina tajam. Tak tahan dengan ini semua, Yusa pun menarik tangannya, dan mendekap tubuh Nirina erat.

"Gak usah pura-pura!" Sentaknya yang cukup membuat Nirina terkejut.

"Kalo lo mau nangis, nangis aja, Rin! Gue siap jadi sandaran lo!" Bisa ia bahu Nirina bergetar.

Nirina yang tadinya terkejut, sekarang melunak. Ia menunduk, menenggelamkan wajahnya ke bahu Yusa yang meskipun hujan tetap hangat. Ia kembali mengeratkan pelukannya, dan menangis sejadi-jadinya.

Dan, ketika kamu mengetahui segalanya, yang kamu butuhkan pasti tempat bersandar. Bukan tisu atau sehelai sapu tangan yang tak berarti, tapi sebuah hati yang di yakini mampu menghangatkan dan melindungi diri ini, dari kejamnya dunia.

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang