Your Story

208 17 1
                                    

Kebanyakan orang hanya akan terus mengingat setetes kesalahan orang di banding segunung kebaikan orang itu. Entahlah, apa makna itu berarti itu seorang Lisa. Dibilang pernah baik, tentunya Lisa pernah. Hanya saja, beberapa-atau mungkin banyak-murid di SMA Dermaga 2 ini merasa kalau Lisa tak pernah berbuat baik.

Nirina memangku buku PKn-nya. Dari bangku taman ini, ia bisa melihat hampir semua keadaan sekolahnya. Termasuk keadaan kantin yang tiba-tiba saja menjadi sepi. Tebak karna apa? Karna seorang Lisa datang.

"Kejam amat," komentar Nirina lalu kembali membaca bukunya.

Sejenak ia terdiam, teringat akan apa yang ia lihat kemarin lewat cermin. Sosok Kirana Larasati, sang pegawai Bank kenapa berada di dalam kopaja dengan pakaian compang-camping begitu?

Mengangkat bahunya, Nirina kembali fokus pada bacaannya. Namun kegiatannya kembali terhenti saat sebatang cokelat menutupi halaman bukunya. Nirina mendongak, terlihat seorang Yusa dengan wajah cueknya.

"Gue tau kemaren lo di omelin ketua PMR, kan? Gara-gara gue stay di UKS lebih dari 2 jam, jadi ini buat lo."

Jujur saja, Nirina sebal sekali melihat wajah Yusa yang sudah membuatnya di omeli habis-habisan oleh ketua PMR. Dan karnanya juga, Nirina harus piket 2 hari berturut-turut. Namun karna ia penggila cokelat, jadi ia tetap mengambil cokelat itu dengan wajah masam.

Yusa duduk di samping Nirina. Memperhatikan setiap gerakkan yang dibuat tangan Nirina untuk membuka bungkus cokelat itu.

"Berarti di maafin dong, ya?" Ujar Yusa.

"Hah?"

"Ya meski gue masih ngebatin, tapi yaudahlah ya," jawab Nirina sebelum beranjak pergi meninggalkan Yusa.

Namun langkahnya terhenti saat mendengar Yusa di panggil ke ruang T.U lagi. Nirina menoleh, melihat Yusa yang berjalan dengan wajah sebal namun terlihat sangat tertekan.

***

Kaki Nirina terhenti di depan gerbang. Melihat mobil Ayahnya terparkir di garasi membuat mood-nya hilang drastis, dari 75% jadi 0,75% wow fantastis!

Tentu saja Nirina masih membenci Ayahnya, menurutnya Haris sudah melakukan dosa paling berat. Tega-teganya Haris mengenalkan wanita baru, namun lelaki itu juga tidak sudi mengenalkan Ibu kandung Nirina. Dan karna itu pula, Nirina tak jadi pulang ke rumah, dan memilih untuk duduk berdiam diri di halte bus dengan sekotak susu cokelat dan beberapa makanan ringan.

Seperti biasa, hujan mengguyur kota Jakarta. Setidaknya, aroma jalan yang terbasahi air hujan sudah cukup menangkan batinnya. Halte disini sepi, hanya ada Nirina seorang diri.

Cling.

Sebuah rangkaian kunci terjatuh tepat di depan kaki Nirina begitu seorang lelaki berjaket hitam melintasinya. "Eh!" Nirina berjongkok mengambil kunci itu, bertepatan dengan berbaliknya lelaki itu. Lelaki itu membuka tudung kepalanya, menampilkan sosok yang tak asing bagi Nirina.

"Yusa? Eh lo. Ini kunci. Lo. Itu, ngapain?" Tanya Nirina tergagap karna kaget sekaligus bingung.

Yusa meraih rangkaian kunci miliknya. Sedikit tersenyum melihat Nirina-lah yang ia temui, bukannya yang lain. "Makasih, Rin," jawabnya sambil memperhatikan keadaan Nirina.

"Lo ngapain disini?"

"Ah? Ng-lagi neduhlah," bohong Nirina lalu kembali meminum susu cokelatnya.

"Hah! Bohong banget, halte bis ini tuh jauh banget dari rumah lo, yang lebih deket itu halte timur 2, sekalipun lo naik angkutan umum gak mungkin lewat halte ini, soalnya gak ada satupun angkot atau bis dari sekolah kita ke arah sini, logikanya kalo emang lo turun disini, cuma ada dua alesan, karna kelewat, atau karna emang ada maksud kabur atau yang lainnya," analisa Yusa kelewat detail.

Nirina ternganga sebentar, ia rasa Yusa punya bakat untuk menjadi detektif. Analisa yang ia berikan benar-benar detail, seperti ia sangat mengetahui jalur angkot di daerah sini, padahal seingat Nirina rumah Yusa bukan di daerah sini.

"Gue kelewat, dan gue lagi neduh ya!" Elak Nirina tanpa mau menatap mata Yusa, takut ketahuan berbohong.

Terdengar tawa hambar Yusa. Lelaki itu lalu duduk di samping Nirina, melihat-lihat sebentar sebelum memulai menganalisa lagi.

"Dingdong! Bohong lagi! Lu pake jaket dengan bahan parasut yang anti air dan punya tudung, selain itu lo pake tas jaman sekarang yang punya fasilitas jas hujan, keliatan dari sleting yang ada di bagian bawah tas lo. Apa lagi besok sabtu, logikanya kalo emang lo mau banget pulang pasti langsung nutupin tas lo pake jas hujan, dan make jas hujan lo itu. Selain itu, jarak halte ini ke rumah lo gak terlalu jauh, sepanjang trotoar ini juga ada toko, memungkinkan lo bakalan gak terlalu basah kalo nerobos, so where will you going, hum?"

Nirina mengunyah biskuitnya cepat-cepat saking sebalnya karna analisa Yusa sangat tepat. Kelewat tepat sebenarnya.

"Wow! Apa Shinichi Kudo keluar dari komik? Atau Sherlock Holmes bosen di dalem novel mulu makanya kemari?" Sarkas Nirina lalu menyeringai. Yusa hanya terkekeh merasa ia menang banyak sekarang.

"Bohong, gue juga lagi kabur kok," timpal Yusa dan suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara hujan.

"Kabur dari?"

"Dari grebekan,"

"Lo-ngegembel? Apa ngamen?" Tanya Nirina konyol.

Yusa terkekeh, menggeleng dan menjawab kalau bukan itu maksudnya. Sebenarnya lelaki itu sempat heran, kenapa pikiran cewek paling pintar di kelasnya mendadak konyol kalau sedang hujan begini.

"Oh jadi lo anak BaLi? Balap Liar? Gak aneh sih, tapi keren aja!" Respon Nirina setelah mendengar cerita Yusa yang sedang kumpul bersama teman-teman balapannya namun terpaksa bubar karna ada penggrebekkan dadakan.

Yusa mengangguk. "Tapi nyokap bokap gue gak suka gue ikut begituan,"

"Yaiyalah! Ortu lo pasti takut lo kecelakaan terus koit, lagian lo ngapain sih ikut begituan? Taruhan nyawa gitu, tapi dapet duit gak seberapa!" Ujar Nirina heran.

"Gak seberapa sih, tapi cukup buat ngebiayain sekolah gue dan adek gue," Yusa tersenyum miris.

Sejenak Nirina tercenung. Ia lalu teringat akan kejadian beberapa waktu yang lalu, dimana Titania bilang Yusa terbelit masalah SPP dengan pihak sekolah. Namun tunggu, untuk apa Yusa membiayai dirinya sendiri kalau orang tuanya itu masih mampu membiayai semuanya?

"Tapi kan-"

"Gue emang terlahir di keluarga mapan, Rin. Tapi ortu gue gak pernah peduli, mereka gak pernah nanya seputar sekolah gue, dan itu bikin gue males, kekayaan bukan segalanya buat gue. Gue gak tau harus gimana supaya semuanya berubah jadi yang lebih baik,"

Hening, hanya terdengar suara hujan dan bau petrichor yang selalu mengiringi datangnya hujan. Dunia memang dingin hari ini, mungkin sedingin hati lelaki itu. Pantas saja, senyumnya selalu kaku, ia juga selalu terlihat di tempat yang sama dengan Nirina kalau sedang ada rapat pertemuan para wali murid. Selalu di depan aula, memperhatikan mereka yang dengan bangganya mengenalkan orang tua mereka.

"Komunikasi," ujar Nirina kemudian. Yusa menoleh,

"Yang lo butuhin cuma komunikasi, gue tau lo pasti jarang banget ngobrol sama ortu lo, gue yakin setiap di ajak ngobrol sama bokap atau nyokap lo, lo pasti nolak." Lanjut Nirina dengan senyuman tulus.

Meski begitu, ia malu pada Yusa. Bisa-bisanya ia menasehati lelaki ini, sedangkan dia sendiri masih bermasalah dengan Ayahnya, Haris.

Hujan-pun berhenti, Nirina bangkit dari bangku halte.

"Gue pulang duluan, ya!" Pamit Nirina pada Yusa.

Yusa mengangguk dan tersenyum, "Hati-hati, trotoar kanan lagi di bongkar!"

Nirina mengangguk lalu memberi tanda 'ok' dengan ibu jarinya. Baru beberapa langkah, ia lalu berbalik karna ingat sesuatu.

"Kenapa?" Tanya Yusa bingung.

"Lo 'kok bisa tau rumah gue ada di sebelah sana? 'Kan rumah lo bukan di daerah sini?" Selidik Nirina.

Yusa mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Menghindari tatapan Nirina.

"Ah? Ya taulah!"

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang