Cermin Tulip Kembar

363 25 1
                                    

"Daaaah!"

Setelah melambaikan tangannya pada Titania dan Rio—karna Nirina menjadi orang pertama yang turun—ia langsung masuk ke dalam rumahnya.

Seperti biasa, rumah Nirina yang lumayan luas ini selalu sepi. Ia seperti tinggal sendirian. Ayahnya berangkat pada pagi buta, lalu pulang saat larut malam. Hanya seorang pembantu rumah tangga yang menemani Nirina.

Ia menaikki undakan demi undakkan tangga rumahnya. Setelah mengunci pintu kamar, Nirina meletakkan kotak cermin yang tadi mereka beli di atas nakasnya.

Ya, Rio dan Titania menyuruh Nirina untuk memegang cermin itu. Kenapa? Karena diantara dua orang itu, hanya Nirina yang paling apik dan resik. Nirina sudah terkenal dengan kerapihannya, jadi tidak perlu khawatir kalau menitipkan sesuatu pada Nirina.

Ia gantungkan jumper abu-abunya itu. Lalu mulai berbaring di kasur, dan merasakan angin sejuk dari AC yang menyala di kamarnya.

Matanya sempat melirik kotak cermin itu di nakas. Entah kenapa, kotak cermin itu sangat menarik untuk Nirina. Ia seperti mulai merasakan obsesi akan benda antik itu. Setelah berpikir sebentar, ia-pun menarik kotak itu dan mengambil cermin tulip itu.

"Ukirannya bagus." komentarnya sambil memperhatikan dengan baik ukiran-ukiran tulip yang ada di bagian belakang cermin gagang itu.

Sesekali Nirina mencium wangi kayu dari cermin itu. Meski sudah antik, tapi wangi itu ada, meski terkadang indera penciuman Nirina tidak bisa mencium wangi itu.

Ia lalu besandar pada kepala kasur berukuran king size itu. Matanya menatap pantulan wajahnya di cermin gagang itu.

Nirina seperti berkaca pada air, bukan pada cermin. Cermin ini berbeda, seperti lentur, namun tidak. Sepertinya cermin ini di buat dengan bahan khusus.

Matanya menatap lekat-lekat pantulan matanya di cermin. Ia baru sadar, kalau matanya itu tidak berwarna cokelat tua. Untuk pertama kalinya, Nirina memperhatikan secara detail dari wajahnya saat becermin.

Nafas Nirina tiba-tiba terasa sesak. Dadanya terasa sakit seperti baru mendapatkan tonjokkan keras. Tangannya mencengkeram seprai kasurnya kuat-kuat. Wajahnya mulai memerah seperti kepiting rebus. Ia sendiri tidak tau apa yang terjadi padanya. Seingatnya, ia tidak memiliki pengakit asma ataupun penyakit serius lainnya.

Kepalanya pusing bukan main. Seperti sebuah gempa menyerbu kamarnya. Matanya berkunang-kunang dan mulai memberika. efek kabur bebayang pada penglihatan Nirina.

Nirina. Nirina. Nirina.

Nirina menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia seperti baru mendapat bisikkan dari seseorang, atau mungkin itu bisikan dari pikirannya?

"Aw—" rintih Nirina tak kuat.

Kepalanya yang pusing itu sedikit demi sedikit berkurang, meski sesak nafasnya masih belum berkurang.

Tiba-tiba saja Nirina terbayang akan sesuatu.

Nirina kecil berdiri dengan jari-jari kecilnya memegang erat tangan keriput yang sudah rapuh itu. Neneknya, selalu memegangi cucunya itu selama pemakaman berlangsung.

Entah, siapa yang sedang di kuburkan Nirina tidak tau.

Namun hatinya merasa sakit. Duduk di bangku taman kanak-kanak bukan berarti ia mengerti segala hal. Ia tidak pernah melihat orang yang sedang di masukkan ke liang lahat itu.

Dahinya berkerut semakin dalam begitu melihat Ayahnya dan Neneknya menangis tersedu-sedu. Rasanya ia juga ingin menangis, tapi ia tidak tau atas dasar apa tangisan itu.

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang