Cermin Sial

228 19 2
                                    

"Dimana, sih?!"

Titania keluar paling akhir dari mobil Rio. Sudah setengah jam ia menggerutu kesal karna ketidak pastian dari alamat sosok Kirana Larasati ini. Berkali-kali terdengar Titania memaki pegawai Bank kemarin dan menuduhnya melakukan sebuah penipuan. Sementara Nirina dan Rio hanya bisa diam tak menanggapi.

"Disini cuma tertulis di bawah tol Ancol, gak tertulis RT atau RW-nya, kemaren kita udah capek banget sih sampe gak liat-liat dulu," ujar Rio sambil bersandar di pagar pembatas jalan tol ini.

Nirina memperhatikan mobil yang lalu-lalang dari bahu jalan, syukurlah tidak ada mobil nakal yang lewat bahu jalan ini, jadi mereka tidak akan tertabrak.

"Logikanya ya, mana ada rumah di jalan tol gini? Apa lagi di bawah jalan tol!" Gerutu Tirania lalu bersandar di pagar pembatas.

Nirina seperti teringat sesuatu, ia lalu mendekati pagar pembatas itu, ia longokkan kepalanya ke bawah.

"Pernah denger, gak? Ada pemukiman di bawah tol ini?"

Titania dan Rio sama-sama menoleh seakan-akan baru menyadari sesuatu.

***

Rio memimpin di depan, pemukiman di bawah tol ini bukanlah pemukiman mewah nan megah, namun justru pemukiman tak layak di tinggali. Titania, yang basically tak pernah ke daerah ini-pun cukup terkejut, betapa susahnya ia melangkah karna tanah disini kotor, bau, dan becek.

Beberapa anak-anak berlarian kesana kemari sambil membawa botol bekas berisi beras. Ada juga yang sibuk memukul kepingan logam bekas tutup teh botol dan memakunya di sebuah batang kayu. Suasana disini memang kumuh, namun tenang. Dari rumah kesatu dengan rumah yang lain yang berhimpitan, tak terlalu banyak jarak.

"Rio! Dari sekian padetnya rumah disini yang mana rumahnya Kira Kirana ini?!" Teriak Titania karna disini cukup bising.

Rio berhenti mendadak dan kemudian di ikuti Nirina dan Titania. Ketiganya memperhatikan sekitar, susah juga mencari tau rumah perempuan yang pernah memiliki cermin tulip kembar tersebut.

"Lo udah ngeliat di cermin, Rin?" Tanya Titania dengan wajah kumal bercucuran keringat.

Nirina mengangguk, "Udah, tapi aneh masa yang gue liat justru perempuan dengan pakaian cowok, sorry nih ya, itu cewek kayak pencopet gitu,"

Titania membulatkan mata dan mulutnya, mungkin perempuan ini langsung mengerti jalan ceritanya.

"Gue tau! Kirana Larasati itu pasti tinggal disini, dan kalo emang bayangan di cermin itu dia 'pencopet' kemungkinan besar dia emang tinggal disini, ayo tanya!" Titania menarik tangan Rio dan Nirina lalu menghampiri seorang lelaki yang sedang membereskan kardus-kardus.

"Permisi, mas?" Panggil Titania. Lelaki itu menoleh dengan tatapan bertanya.

"Mas tau rumah Kirana Larasati dimana?" Tanya Titania kemudian.

"Hah?" Lelaki itu tampak berpikir, "Maksudne Mbak Ati? Kalo iya coba mbak'e ke rumah itu tuh, yang ada banyak karungne, setau saya sih disitu, kalo 'ndak ada, tanya yang laine yo mbak'e." Jawab lelaki itu dengan logat Jawa yang kental.

Meski bingung, Titania, Nirina dan Rio tetap mengangguk dan melangkah menuju rumah kardus yang di tunjuk lelaki tersebut. Rumah itu benar-benar kelihatan kecil. Atapnya rendah, hampir sama dengan tinggi Rio. Tentunya jauh berbeda dengan rumah mereka yang mungkin saja 10x—atau lebih—lipat dari luas rumah ini.

Baru akan mengetuk pintu rumah itu, seorang perempuan berpakaian lelaki keluar dari rumah itu. Mereka saling terkejut, terutama Nirina saat melihat perempuan ini. Jangan tanya lagi Nirina seperti pernah melihat perempuan ini.

"Mbak Kirana Larasati?" Tanya Rio tanpa basa-basi lagi.

Tatapan perempuan itu teralihkan ke Rio, mengerjap beberapa kali ia lalu mengangguk dan kembali menatap Nirina yang sudah menyadari siapa perempuan ini.

***

Nirina duduk di tengah sementara Rio dan Titania duduk di kiri dan kanannya. Benar saja, di dalam rumah kardus ini benar-benar sempit. Mereka duduk bertiga-pun tak muat, meski tak nyaman mereka bertiga tetap melanjutkan tugasnya.

Kirana membuka topi yang ia pakai tadi. Sekarang terlihat wajahanya yang cantik, namun tertutup debu dan kusam. Sebenarnya Nirina cukup was-was, karna setau Nirina perempuan ini adalah pencopet, bagaimana kalau ternyata Kirana punya senjata tajam yang siap melukai mereka bertiga.

"Adek-adek ini ada urusan apa ya, cari saya?" Tanya Kirana takut-takut.

Nirina menarik tas selempangnya, ia lalu mengeluarkan cermin tulip itu. Tubuh Kirana langsung menegang begitu melihat cermin itu. Wajahnya pucat pasi, seperti baru bertemu hantu.

"K-kamu dapet darimana c-cermin it-itu?" Tanya Kirana.

"Kita datang kesini karna mau nanya tentang cermin ini, mbak 'kan pemilik lama dari cermin ini—kita tau dari catatan kecil cermin ini—nah, mbak mau 'kan kerjasama dengan kami?" Tanya Rio penuh dengan sopan santun.

"Saya mau kerjasama, tapi—tapi tolong jauhkan cermin itu dari saya, saya gak mau lihat cermin itu lagi!" Kirana membuang pandangannya dari cermin itu.

Rio menyikut pelan Nirina, bermaksud menyuruh Nirina untuk memasukkan cermin itu kembali ke dalam tas-nya.

"Maaf ya, dek. Saya sedikit trauma sama cermin itu, soalnya itu cermin yang bikin saya sial kayak gini," ujar Kirana lalu menengguk segelas air putihnya.

"Maksudnya?" Tanya Titania.

"Saya itu seorang pegawai Bank, saya dapat jabatan tinggi, Direktur. Semuanya sangat indah unthk saya, kemana-mana naik mobil mewah, mau makan tinggal pilih, belanja pakai kartu, pokoknya semuanya indah. Suatu hari, ada paket cermin yang di kirim entah siapa ke saya, cermin tulip itu yang di kirim ke saya, jelas sekali saya sangat senang. Cermin itu benar-benar cantik. Sebelum bekerja saya selalu bercermin disitu, dan setiap harinya saya selalu merasa puas namun haus di saat yang bersamaan. Saya mengecek keuangan para nasabah, dan dari situlah saya tau apa yang saya hauskan setiap bercermin,"

Titania, Nirina dan Rio mendengar dengan serius. Meski mereka bertiga sudah bisa menebak alur cerita jalan hidup sosok Kirana Larasati.

"Saya palsukan data keuangan, dan—dan saya ambil uang para nasabah. Ya, selama setengah tahun itu terus begitu, namanya bangkai pasti akan terbongkar, saya di tangkap KPK dan di penjara 8 tahun, miris, semua harta saya di sita KPK, dan disinilah saya, sebagai pencopet amatir dan tinggal di rumah kardus ini. Dan menurut saya itu semua karna cermin sial itu, andai saya tak pernah bercermin disana, saya pasti tidak akan merasa haus."

***

Kirana berdiri di samping lampu merah. Ia tatap lekat-lekat Bank yang dahulunya menjadi tempat ia bekerja, sekaligus tempat ia melakukan kesalahan besar.

Ia lalu teringat akan ucapan perempuan yang tadi siang mendatanginya bersama kedua temannya. Perempuan itu terlihat naif, namun sangat berkarisma.

Nirina menghela nafas setelah Kirana menyelesaikan ceritanya.

"Sebenarnya, semua itu bukan karna cermin tulip kembar itu, namun karna sifat manusia yang selalu serakah dan tak pernah mensyukuri dengan apa yang ia punya. Andai mbak selalu bersyukut kepada Tuhan dan tak pernah menghamburkan uang, mungkin kejadian itu tidak akan ada. Jangan salahkan benda mati itu, mereka bahkan tak hidup. Semua kesalahan yang ada di dunia akan di kembalikan lagi ke manusia itu sendiri, dan tugas kita selanjutnya adalah memperbaiki kesalahan itu dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi,"

Kirana merasa benar-benar bodoh, kenapa ia sebegitu bodohnya sampai harus di nasehati seorang gadis remaja macam Nirina. Ia-pun tersenyum, menghirup nafas dalam-dalam dan berjanji di dalam batinnya untuk terus bersyukur dan melakukan kebaikan.

•••M-M•••

A/N

Hai! New update nih! Hihi
Terima kasih yang sudah mau merelakan waktunya untuk cerita ini :)  aku seneng banget lho! Soalnya mood nulis aku semakin bertambah!

Jangan lupa kritik & sarannya!

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang