Anak Seni

222 15 1
                                    

Rio memutar kemudi mobilnya ke kanan lalu menginjak pedal gasnya. Sampailah mereka bertiga di sebuah Universitas terkenal di daerah Jakarta. Universitas dengan koneksi paling bagus untuk pekerjaan dan yang lainnya, memiliki bangunan megah layaknya gedung perkantoran.

Para Mahasiswa ataupun Mahasiswi berlalu-lalang di depan mereka dengan tas dan beberapa tumpuk buku di dekapannya.

Titania—yang pada dasarnya mengimpilan kehidupan kuliah—benar-benar menikmati suasana. Ia mengenakan pakaian terbaiknya, yang menurutnya mahasiswi banget.

"Mereka keren-keren gitu ya …." Puji Titania untuk yang keseratus kalinya.

Nirina terkekeh. "Lo gak tau, kehidupan mereka itu gak sekeren itu, Tan!" Kibasan tangan Nirina sudah membuat Titania sedikit sebal.

Senentara Rio, ia memperhatikan secara detail universitas ini. Perasaannya semakin tak mengenakan saja. Ia khawatir yang berlebihan, sampai-sampai ia membawa pisau lipat yang biasa ia gunakan untuk hiking disakunya.

"Biasa ajalah, yo!" Titania menepuk pundak Rio lalu berjalan terlebih dahulu bersama Nirina.

***

Nirina pulang dari pertemuannya dengan kedua temannya. Bersemangat sekali ia mengambil cermin tulip kembar itu dari tasnya. Wajahnya berseri-seri.

Ia hirup dalam-dalam aroma kayu yang membuat Nirina tak tahan jauh-jauh dari cermin ini. Ia usap ukiran-ukirannya dengan sangat hati-hati seperti takut tergores sedikit saja.

Dan ia-pun memulai ritualnya.

"John … John … Jo—hn"

Nirina mulai terbiasa dengan efek sakit yang diberikan. Hanya saja wajahnya terus keringatan. Ia menggretakkan giginya, berusaha menahan rasa pusing yang semakin lama semakin terasa sangat sakit.

Lalu,

Terlihatlah sosok John sedang menenteng buket bunga sambil berseri-seri. Hari ini ia mengenakan kaus dan almamater kampusnya, dengan name-tag dan bet khas fakultas seni.

Kakinya ia langkahkan menuju sebuah pintu cokelat besar. Belum sempat John mengetuk, seorang lelaki mendorongnya pergi sampai-sampai ia tersungkur.

John … John … John …

Suara itu pelan, namun nyari membuat gendang telinga Nirina pecah.

Seorang perempuan keluar menerobos melewati lelaki yang mendorong John, lalu kedua berpelukan dan si perempuan hilang seperti debu.

***

Lelaki itu diam. Kaus hitam di tutupi denim melekat ditubuhnya. Matanya menatap lurus sebuah figura tanpa berkedip sekalipun. Nafasnya begitu tenang, namun sebenarnya dadanya sesak. Sangat sesak.

Senang, namun marah pada saat yang sama.

"Andaikan kamu tetap bertahan, aku pasti gak gini," gumamnya.

Ia berbalik, menatap sendu sebuah patung kokoh yang sebenarnya rapuh. Patung ia buat sendiri. Patung yang sampai kapanpun tidak akan pernah ia pajang dipameran kampusnya.

Lelaki itu melangkah, mendekati patung itu. Ia genggam jemari patung berbentuk wanita itu.

"Bagaimana bisa aku ngelepas kamu pergi?" Gumamnya lagi.

Ia berjalan menghadap punggung patung itu, dan memeluknya dari belakang.

"Kamu milik ku,"

"Selamanya."

***

"Ini fakultas kesenian, kan?" Ulang Titania sambil terus menyocokkannya dengan peta yang ada di brosur kampus.

Rio mengedarkan pandangannya, bukan untuk memastikan kalau ini memang fakultas kesenian, melainkan karna ia hanya sedikit merasa curiga.

Sementara Nirina, sudah berjalan ke sudut lain gedung berentuk L besar ini. Beberapa kali ia mendapat senyuman dari beberapa warga universitas. Nirina lalu berbalik setelah berjinjit dan menilik mading kampus yang tadi di kerubungi beberapa mahasiswa.

"Bener! Ini tempatnya!" Senyumnya merekah seketika.

Titania lalu memutar kepalanya ke kanan lalu meraih tangan seorang perempuan dengan style layaknya anak seni kebanyakan.

"Kak!" Panggul Titania ramah. Perempuan itu bergeming sebentar sebelum akhirnya tersenyum.

"Kenapa?" Tanyanya langsung.

Titania tersenyum, "Saya mau tanya, Kakak tau John? Anak fakultas kesenian?"

Mahasiswi itu diam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk dan mengajak Nirina, Titania dan Rio untuk menemui seseorang yang dipanggil John tersebut.

Setelah beberapa lama berjalan, melewati koridor-koridor dan beberapa ruang kelas. Akhirnya mereka sampai di sebuah ruang, dimana semua mahasiswa atau mahasiswi menaruh hasil karyanya disana.

"John!" Panggil perempuan yang membawa tiga sekawan itu kemari.

Lelaki dengan snapback hitam itu menoleh. Perawakannya tinggi, dan badannya yang lumayan kurus.

"Kenapa, Len?" Tanya John lalu menghampiri ke depan pintu.

"Nih! Ada yang nyariin elo, guys! Ini Johnathan, atau biasa dipanggil John! Satu-satunya John yang ada di fakultas seni," jelas perempuan itu lalu bergegas pergi menghampiri temannya yang lain, yang sedang berada di dalam ruangan penyimpanan itu.

John tersenyum kecil, "Kalian—um … kenapa ya?"

Titania tersenyum kikuk. "Oh! Ini, Kak! Kita mau wawancara sedikit,"

"Oke! Gimana kalo wawancaranya di rumah gue? Kebetulan gue udah gak ada kelas lagi, gak enak juga disini?" Tawar John sambil memainkan snapback nya.

Semua setuju, kecuali Rio yang merasa pernah melihat John sebelumnya.

***

A/N

Hai! Tolong aku lagi kena writer's block! Susah banget ini mau ngelanjut hah...... oh iya selamat membaca!

Jangan lupa kritik & sarannya! ^^/

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang