Iri

228 16 1
                                    

Tap... Tap... Tap...

Tak lama kemudian, Nirina sudah melihat Lisa duduk sambil menangis sesegukan. Ia menelungkup wajahnya dalam-dalam. Kelas sepi, karna semuanya keluar mencari berita tentang Lisa. Sementara si tokoh utama sedang menangis tak kuasa menahan malu dan marah. Begitu mendengar namanya di panggil, Lisa mendongak, aura kemarahan terpancar jelas di wajahnya. Serentetan kalimat pedas siap ia lontarkan kepada Nirina.

Telapak tangan Nirina berhenti tepat di depan hidung Lisa. Membuat si korban diam, bergeming.

"Ssst deh ya! Gue jelasin, kalo itu bukan gue, sumpah! Gue bisa aja ngelakuin itu, tapi udah keburu orang," buka Nirina acuh tak acuh.

Lisa memperhatikan Titania dan Nirina bergantian. Bingung.

"Sekarang kita mau konfirmasi langsung," Titania memajukan tubuhnya mendekati Lisa. "Apa itu semua bener?"

Skak mat. Sampai jumpa untuk raja Lisa. Sekarang saatnya permainan selesai dan ia harus mengaku kalah. Ia menghela nafas panjang, kesalahannya ini cukup fatal, ia khawatir pihak sekolah tau dan mengeluarkannya. Meski kemungkinan besar tidak, karna ini masuk peraturan hak siswa/i.

"Ya,"

Bam! Nirina tak kaget, ia biasa saja. Lain hal dengan Titania yang mulutnya sudah megap-megap mirip ikan koi. Jujur saja, meski dongkol setengah mati dengan Lisa, tapi diam-diam Titania sering mengagumi kecantikan perempuan ini.

Lisa kembali terhenyak, mengingat buruknya masa-masa SMP-nya, membuat air mata tak kuasa ia tahan lagi.

"Gue benci di bully! Mereka semua gak pada ngaca diri!" Erangnya kesal.

"Ya, gue oplas, ya gue emang bahan bully-an, ya gue emang jelek dulu, dan ya! Gue emang cewek plastik! Dan lo kira oplas enak? Lo tau berapa suntikan silikon dan pereda nyeri yang gue alamin tiap harinya? Setiap gue teriak aja, leher gue bengkak! Gue ngebunuh diri sendiri, Rin!"

Selintas Nirina teringat akan sosok Nyonya Flo. Wanita itu dulunya sangat cantik, karna tak puas ia-pun melakukan operasi plastik. Dan kejadian memiriskan itu, harus terjadi pada temannya sekarang. Lisa, perempuan sombong ini ternyata menyimpan begitu banyak tekanan batin.

Nirina bahkan tak tega melihatnya. Pulang sekolah saja ia rela mengantar Lisa pulang, takut di cegat teman-teman yang lain. Sampai rumah, Lisa sudah di tunggu seorang dokter ahli kulit, dan ahli syaraf.

Sesungguhnya, banyak manusia yang tidak puas akan anugrah Tuhan. Tak jarang dari mereka yang mengubah anugrah itu. Mempercantik diri memang di perbolehkan, tapi jika itu mengakibatkan perubahan pada ciptaan Tuhan, bukankah itu sama saja tidak mensyukuri pemberian-Nya?

Nirina mengetik rentetan kalimat di laptopnya. Biografi pemilik pertama, Nyonya Flo sudah selesai. Ia dan kedua temannya harus mencari pemilik yang selanjutnya, sampai akhir. Matanya mendadak kosong mengingat kejadian sebelum-sebelumnya. Terlalu cepat untuknya. Titania menepuk telapak tangannya, berusaha memfokuskan Nirina lagi.

***

Suara raungan mesin kendaraan bermotor terdengar dari bawah. Nirina tak peduli, ia tetap melanjutkan kegiatan membaca novelnya. Terlalu membuang waktu jika harus turun dan menyambut lelaki yang biasa ia panggil Ayah itu.

Kerongkongan yang kering, membuat Haris terbatuk sampai-sampai ia harus minum segelas air putih. Kepalanya mendongak, menatap pintu cokelat dengan gagang keemasan itu. Rasanya, ia tidak pernah melihat pintu itu terbuka saat ia pulang. Perubahan di dalam rumahnya mungkin di karenakan dirinya juga.

Matanya terkunci saat melihat amplop putih yang tertempel di pintu kulkas. Amplop dengan cap yang sering terlihat di edaran SMA Dermaga 2. Namun, Haris tak langsung membaca surat itu, ia memilih untuk membaca post-it yang tertempel di samping amplop itu.

"Ada edaran, KEDUA ORANG TUA harus DATANG. Ayah dateng aja, sambil bawa rekan kerja ayah."

Haris tak tau, kenapa Nirina meninggalkan pesan seperti itu. Anaknya itu sudah kelewat salah paham.

***

"Ciye! Ini nyokap gue loh!"

"Halo tante!"

"Wah, kamu makin gede aja! Main dong ke rumah!"

Nirina besandar pada salah satu pilar yang menyangga gedung sekolahnya. Angin pagi yang menerpa wajahnya lantas tak menyejukkan hatinya. Satu kata, iri. Ya, ia sangat sangat iri. Bodohnya, ia justru berdiri di samping teman-temannya yang sedang mengenalkan Ibu mereka kepada temannya yang lain.

Miris rasanya, setiap tahun ia terus begini. Setiap ada acara rapat dengan wali murid, Nirina hanya mampu tersenyum miris. Ketika sang Ayah saling memberikan pendapat dan masukkan, dan ketika sang Ibu saling berbagi ide untuk melangsungkan donasi kepada pihak sekolah. Meski begitu, ia harus bersyukur, karna Ayahnya masih menyempatkan untuk datang, sendiri.

"Aku ke Nirina dulu ya, Ma!" Pamit Titania pada Mamanya.

Titania berjalan meninggalkan rombongan Ibu-ibu yang sedang berbincang-bincang itu. Pandangannya berhenti pada sosok perempuan yang selalu bersandar di pilar depan aula kala ada pertemuan antar wali murid. Batinnya selalu merasa kesal, betapa bodohnya perempuan itu karna menyiksa dirinya sendiri.

"Bokap lo dateng?"

Titania berdiri dengan kotak bekal berisi brownies buatan Mamanya. Nirina menoleh, senyuman kecil ia sunggingkan kala matanya melihat kotak bekal itu. Ah, betapa perhatiannya Mama dari temannya ini, sampai-sampai membuatkan brownies untuknya.

"Nyokap lo perhatian banget emang!" Nirina membuka kotak itu, dan memakan isinya.

Titania memperhatikan Nirina yang makan brownies itu sampai mulutnya penuh. Nirina tampak rapuh sekarang, saat ia mulai makan sesuatu sampai mulutnya penuh, itu tandanya ia sedang sedih atau gugup. Mata Nirina berair, alih-alih ia bilang tersedak dan langsung di sodorkan sebotol air mineral oleh Titania.

"Lain kali, lo jangan berdiri di sini, jangan diri di depan aula, dirinya di kantin," ujar Titania menasehati.

Nirina menoleh ke belakang, melihat beberapa wali murid yang sudah datang sambil mengobrol. Bibirnya membentuk lengkungan manis namun miris.

"Tapi gue suka,"

"Dasar nyonya naif!"

"Biarin! Wleeee," Nirina menjulurkan lidahnya sambil menjerengkan matanya.

"Jelek lo! Hahahaha!"

Magique MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang