Happy reading..
Kedatangan mobil ambulance tak begitu banyak menyita perhatian murid. Maklum saja istirahat masih setengah jam lagi. Rasya langsung dilarikan ke Rumah sakit dengan Reo yang menggenggam tangan sang kesayangan. Air matanya menetes seperti air hujan. Dia tak menyangka adik kesayangannya akan terbaring lemah seperti ini padahal tadi pagi mereka masih bercanda dan sarapan bersama.
Setelah perjalanan selama sepuluh menit akhirnya mereka sampai di Rumah Sakit keluarga. Rasya langsung dibawa ke UGD guna mendapat pertolongan pertama.
Reo menunggu dengan cemas didepan pintu UGD. Sesekali tangannya mengusap air mata dan keringat dingin yang terus menetes. Saking paniknya ia sampai lupa memberi kabar pada orang tua dan kakaknya. Tangannya yang gemetar berusaha menghubungi nomer ponsel sang ayah.
"Halo." Sapa Reo begitu sambungan telepon diangkat.
"Iya kenapa kak?"
Mendengar suara sang ayah membuat Reo makin tak tega.
"Halo. Masih nyambung kan kak."
Lamunan Reo langsung buyar begitu mendengar suara sang ayah.
"Ayah. Rasya. Rumah sakit." Reo merasa tidak bisa bicara dengan benar. Suaranya seperti tercekat.
Setelahnya hanya hening yang menjadi teman.
"Ayah kesana sekarang sama yang lainnya."
Usai sambungan telepon terputus hanya ada keheningan. Reo yang masih terkejut hanya bisa menatap lemas kearah pintu UGD. Raganya sepeeti tak bernyawa.
Hingga rengkuhan dari sang bunda membuatnya sadar dan langsung pecah tangis yang ia coba tahan.
"Bunda. Adek bun." Adunya pada sang bunda mencoba menjelaskan kegalauannya.
"Sttt Abang tenang ya. Kita harus yakin adek nggakpapa." Bunda masih mencoba menguatkan sang anak. Walau tak bisa dipungkiri air matanya juga menetes. Ia khawatir pada anak bungsunya itu.
Tak lama pintu UGD terbuka. Seorang dokter keluar diikuti oleh beberapa suster. Gurat lelah sangat nampak diwajah pria separuh baya itu.
Ayah dan Leo langsung berdiri. Sementara Reo dan bunda langsung melepas pelukan mereka.
"Gimana keadaan anak saya dok? Dia nggakpapa kan?" Pertanyaan dari Bunda seolah sulit dijelaskan oleh sang dokter.
"Dokter jawab pertanyaan bunda saya. Jangan diam aja dong." Leo nampak emosi. Pikirannya kalut. Jangan sampai apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.
"Mohon maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan lebih sayang pada pasien. Waktu kematian pukul 14.00."
Bak disambar petir di siang bolong. Penjelasan dari dokter membuat mereka merasa hancur. Langit terasa runtuh. Tangisan mereka pecah memenuhi koridor rumah sakit.
"Dokter jangan bercanda. Anak saya nggak mungkin pergi secepat ini." Ayah melempar tatapan tajam pada dokter.
"Mohon maaf tapi pasien mengalami serangan jantung. Dan tadi jantung pasien berhenti berdetak. Kami mohon maaf sekali lagi."
Bunda langsung jatuh pingsan. Leo berdiri dengan tatapan kosongnya. Apa ini. Adiknya tidak mungkin mendahuluinyakan. Sementara Reo masih nampak kacau. Tawanya mengudara bersamaan dengan air matanya yang menetes.
Ayah langsung membawa bunda ke UGD. Sementara Leo dan Reo berlari kedalam untuk melihat sang adik.
Disana. Diatas ranjang rumah sakit terlihat adiknya sedang menutup mata.
"Heyy. Adik kakak kok tidur disini sih. Katanya nggak suka. Jadi ayo bangun terus kita pulang." Reo mengelus rambut sang adik berharap akan ada respon.
"Yaampun Wajah adek kok pucet banget. Ini juga tangannya dingin banget. Adek kedinginan ya. Bentar ya kakak cari selimut dulu."
Leo langsung memeluk adiknya. Dia sebenarnya juga sedih dan terguncang tapi melihat Reo seperti ini membuatnya takut.
"Udah Re. Adek udah tenang disana kita harus ikhlas."
"Nggak bang lo apa apaan sih. Rasya itu kedinginan mukanya pucet banget."
Air mata Leo menetes.
"Dengerin gue. Rasya udah nggak sakit lagi. Kita harus ikhlas."
"Hiksss.. Hiksss.. Kenapa harus Rasya bang."
"Stt Tuhan lebih sayang sama adek."
Tak lama Ayah masuk bersama bunda yang masih terlihat lemas.
"Heyy jagoan ayah. Rasya capek ya. Yaudah ayah izinin Rasya pergi asal adek bahagia." Dikecupnya dahi yang sudah dingin itu.
"Hikss.. Pangerannya bunda. Kesayangannya Bunda kenapa pergi secepat ini sayang. Padahal tadi pagi kan kita masih bareng-bareng. Adek juga kelihatan sehat banget. Hikss.. Bunda nggak siap sayang.. Hikss.. Kenapa adek tinggalin bunda. Adek bangun sayang."
Dipeluknya tubuh kaku nan dingin itu.
Ayah mengelus punggung bunda.
"Sabar sayang. Ikhlas ya biar adek nggak sedih."Bisiknya pada sang istri.
*****
Tepat pukul 20.00 jenazah Rasya tiba dirumahnya. Kedatangannya disambut isak tangis seluruh keluarga besar mapun pekerja dan tetangga rumahnya.
Jenazah Rasya diturunkan dari ambulans dan langsung dibawa masuk kedalam. Bunda turun dengan ayah yang memapahnya. Matanya nampak sembab karena terus menangis. Begitu juga dengan Reo. Matanya merah dan kosong. Leo masih setia memapah sang adik hingga diruang tamu.
Tak lama Willy datang dan langsung berlari masuk kerumah. Pakaiannya acak-acakan dengan jas yang sudah ia buang entah kemana. Tadi saat dikabari bahwa sang adik telah tiada Willy sedang ada pekerjaan di luar kota. Tanpa pikir panjang lagi ia segera pulang.
"Rasya. Kok malah ditidurin di ruang tamu sih mah. Dia kedinginan lho nanti. Nih badannya udah dingin banget."
Ayah duduk disebelah anak sulungnya
"Abang. Dengerin ayah ya. Adek. Udah tenang. Dia udah istirahat disana."
Banyak yang tidak percaya akan kepergian mendadak Rasya. Rasyanya baru tadi mereka masih bercanda. Banyak kenangan yang Rasya buat. Baik bersama teman,tetangga maupun keluarga.
Si anak manja yang lucu,baik nan menggemaskan kini sudah tiada. Senyum gemasnya hanya tinggal kenangan begitupun dengan sikapnya yang membuat banyak orang merasa kehilangan. Semua tawanya sudah melebur bersama raganya yang bersemayam ditanah. Selamat jalan anak baik. Semoga bahagia disana.
End
Dan akhirnya cerita Rasya sampai disini. Terima kasih banyak yang sudah mendukung Rasya sampai sejauh ini. Maaf kalau akhirnya mengecewakan. Salam sayang dari Rasya untuk kalian semua.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya.