Happy reading
Perkelahian masih terus berlanjut. Tak peduli seberapa banyak luka yang mereka dapatkan. Tak ada yang mau mengalah. Mereka saling berebut menunjukkan bahwa merekalah pemenangnya. Darah dan lebam makin banyak menghiasi wajah dan tubuh mereka.
Si pria paruh baya sudah terkapar lemah namun senyum sinis masih tergambar di bibirnya. Tak ada tanda-tanda dia akan mengaku kalah.
"Lo harusnya sadar. Lo nggak akan bisa lawan gue." Si remaja menekan dada pria tak dikenal itu hingga membuat paruh baya terbatuk.
"Uhuk uhuk.. Hah.. Jangan senang dulu. Kamu tidak akan pernah bisa melawan saya." Dengan nafas yang terengah si pria paruh baya berusaha menjawab perkataan si remaja.
Si remaja semakin naik pitam. Pikirannya kacau. Bingung kenapa dia ada disini dan siapa yang membawanya apalagi ketika dia tersadar sudah ada pria asing yang membuatnya emosi.
"Gue cuma tanya apa mau lo kenapa jadi ribet banget sih. Lo tinggal jawabkan."
"Cih. Ini semua karena ayahmu. Ayahmu sudah mengganggu bisnisku." Jawaban yang terlontar dari mulut si paruh baya membuat remaja itu tertawa.
"Urusan lo sama ayah gue. Kenapa lo malah culik gue?"
"Karena jika kamu mati semua keluargamu akan hancur." Senyum sinis kembali tergambar di bibir tipisnya.
"Anjingg lo."
Pukulan bertubi-tubi diberikan si remaja untuk pria misterius itu. Hingga si pria bertepuk tangan dua kali dan muncul banyak pria berpakaian hitam yang mengepung mereka.
"Jadi? Apa kamu masih bisa menang?"
Kelompok berpakaian serba hitam itu menyerbu si remaja. Menghadiahi pukulan yang ditangkis oleh si remaja.
Tapi sebagaimanapun si remaja melawan pastilah dia kalah jumlah. Wajahnya yang memang sudah babak belur bertambah babak belur.
Hingga akhirnya tubuh ringkih itu tergeletak lemah diatas lantai. Dia masih sadar hanya saja rasa sakit membuatnya tak bisa bicara.
"Aku sudah memperingatimu. Tapi sepertinya kamu memang keras kepala. Jadi kamu sudah paham kan akibatnya."
Mata itu hanya mengerjab lemah bersamaan dengan suara tembakan dan pandangannya perlahan mulai menggelap.
"RASYAAAAA."
Teriakan itu berasal dari Dery dan kakak kakak Rasya.
Iya remaja itu Rasya. Jangan bingung karena memang itulah sifat asli Rasya. Dia akan berubah jika sudah merasa terancam.
Perlahan suara disekitarnya berubah jadi dengungan dan perlahan mulai menghilang.
Ayah dan saudaranya berlari menghampiri tubuh yang sudah tergeletak lemah itu. Darah mengucur deras dari perutnya membuat mereka takut.
"Heii. Bangun." Tepukan dipipi pucat itu tak bisa menyadarkan Rasya.
Keadaan makin genting.
"Bawa ke Rumah sakit."
Seolah baru tersadar Dery langsung membawa raga anaknya menuju ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.
Tak peduli dengan umpatan pengendara yang lain mobil berwarna silver itu terus memaju kencang membelah jalanan yang masih padat. Yang ada dipikirannya saat ini hanya ada Rasya. Putra bungsunya.
Hingga sepuluh menit kemudian mobil itu berhenti di parkiran rumah sakit. Leo langsung menggendong adiknya membawa kearah UGD. Seorang suster yang melihat itu lekas mendorong brankar untuk membawa Rasya.
"Abang mohon bertahan ya dek." kata itu terus terucap dari batin seorang Leo.
"Mohon maaf. Keluarga harap menunggu diluar ya. Biar dokter yang menangani."
Mereka hanya bisa pasrah menunggu kabar dari dalam mengenai anggota keluarga mereka.
Hingga akhirnya suara beberapa orang yang berlari mengalihkan perhatian mereka. Seorang wanita paruh baya berlari menyusuri koridor rumah sakit yang terasa sangat panjang. Tak peduli dengan dandanannya yang sudah berantakan tak peduli dengan pakaiannya yang sudah acak-acakan.
"Mas gimana keadaan Rasya? Dia baik-baik aja kan?" Pertanyaan yang sudah pasti diajukan oleh seorang ibu yang terasa sangat berat untuk dijawab.
"Sttt. Tenang ya. Rasya kuat dia pasti baik-baik aja kok. Kita berdoa ya."
Tangisan wanita itu makin kencang tak pernah terpikir bahwa anaknya akan mengalami kejadian menyedihkan ini.
Sang suami berusaha menenangkan dan terus memberi kata² semangat untuk istrinya. Dia paham sang istri pasti sedang terpukul begitu banyak cinta yang mereka berikan untuk si bungsu. Entah bagaimana akhirnya jika Rasya memilih untuk menyerah.
Lama mereka menunggu hingga akhirnya pintu UGD terbuka. Seorang dokter keluar dari dalam sana.
"Gimana keadaan anak saya dok. Dia nggak papa kan? " baru saja dokter keluar dari UGD sang ibu sudah bertanya.
Dokter itu nampak menghela nafas pelan. Nampak akan ada kabar buruk setelah ini.
"Saudara Rasya masih kritis. Kita doakan semoga dia lekas membaik. Tapi ada hal yang perlu saya sampaikan terkait kondisinya."
"Maksud dokter apa?"
"Luka tembak itu mengenai salah satu ginjal Rasya. Kita harus melakukan pengangkatan ginjal."
Bagai tersambar petir. Berita itu mengagetkan mereka. Bunda langsung jatuh pingsan. Tak kuasa mendengar hal yang menimpa putranya.
"Saya tunggu di ruangan saya. Akan ada beberapa hal terkait pengobatan yang akan kita lakukan."
Setelah mengatakan hal itu sang dokter Lalu beranjak pergi. Meninggalkan mereka yang masih berada diambang batas antara percaya dan tidak percaya.
Ketakutan itu semakin kentara. Beberapa kalipun mereka menepis kenyataan itu nyatanya memang itulah kebenarannya. Mereka hanya bisa berharap semoga selekas ini sang cahaya tidak menyerah dan masih mau berjuang.
Perlahan kenangan kebersamaan mereka berputar. Membuat mereka semakin tak percaya dengan apa yang terjadi. Masih bisakah mereka melihat sentum manis itu? Masih bisakah mereka mendengar ocehan tak berfaedah itu ? Hanya kata tanya dan mungkin yang ada di pikiran mereka. Mereka berharap ini bukan akhir dari perjuangan sang bungsu. Manusia memang bisa berharap tapi semoga mereka tak lupa bahwa Tuhanlah penentu dari semua cerita nyata.
Udah pengen ending belum?
Jangan lupa tinggalkan jejak. Maaf masih banyak typo.