Happy reading..
Dan disinilah Ayah sekarang. Duduk berhadapan dengan dokter yang menangani putranya. Dibalik wajah datarnya bisa terlihat luka yang menyayat. Matanya tak bisa berbohong bahwa dia juga tengah dilanda ketakutan yang besar.
"Begini pak, peluru yang ada ditubuh saudara Rasya mengenai salah satu organ ginjalnya. Dan kita harus segera melakukan operasi untuk pengangkatan ginjal."
Dahi Ayah mengernyit bingung.
"Kenapa harus operasi? Apa tidak ada cara lain?"
"Ginjal saudara Rasya sudah rusak dan tidak bisa berfungsi lagi. Akan sangat berbahaya jika tidak dilakukan tindakan operasi. Dan tidak ada cara lain."
Penjelasan dari dokter membuat kepala Ayah pening seketika. Reflek tangannya memijit kepala.
"Apa ada efek samping dari pengangkatan ginjal itu?"
"Tentunya ada resiko yang harus ditanggung jika hidup dengan satu ginjal."
Setelah mendengar apa saja yang harus dilakukan Ayah lalu menyetujui operasi itu. Bagaimanapun juga Ayah ingin anak bungsunya selamat.
*****
"Gimana yah?" Baru saja kakinya melangkah memasuki ruangan suara tanya mengalun dari salah satu anaknya.
Ayah menghembuskan nafas kasar. Tatapan matanya sayu membuat orang-orang yang ada di ruangan itu merasa cemas.
"Adek harus dioperasi. Salah satu ginjalnya harus diangkat."
Bagai tersambar petir. Mereka tidak menyangka bahwa sang bungsu memang harus menjalani operasi. Isak tangis tak terbendung lagi. Bunda tidak mampu mengendalikan suara tangisnya.
"Kenapa harus operasi?" Suara tanya lirih itu berasal dari Leo. Tatapan matanya nampak kosong seperti orang linglung. Pikirannya seketika kosong.
"Ginjal adek sudah tidak berfungsi lagi. Jika itu dibiarkan maka akan sangat bahaya nantinya."
Ayah merengkuh bunda dalam pelukannya mencoba menguatkan istrinya. Memberikan kata-kata penenang yang juga ditujukan untuk dirinya sendiri.
Willy memeluk Reo yang nampak bergetar. Dia tahu adiknya itu pasti merasa takut.
"Sttt. Tenang ya. Semua akan baik-baik aja." Katanya sembari mengelus punggung sang adik.
"Gue takut kak. Gimana kalau.."
"Sttt. Dengerin kakak kita harus yakin kalau adek itu kuat. Adek pasti sehat lagi." Willy memotong perkataan adiknya. Tak ingin mendengar kata-kata yang makin membuatnya terpuruk.
"Maaf permisi. Saya ingin membawa saudara Rasya ke ruang operasi." Suara dokter membuat mereka mengalihkan sejenak perhatian mereka.
Brankar Rasya didorong menuju ruang operasi. Ayah, bunda serta kakak² Rasya mengikuti dari belakang.
Lampu operasi menyala. Pertanda operasi sedang dilakukan. Keluarga Rasya menunggu dengan gusar banyak pikiran negatif yang menghantui mereka. Sementara bunda duduk bersandar dengan mata terpejam. Tak lupa doa juga ia panjatkan demi keselamatan si bungsu.
Ayah yang duduk disamping bunda menggenggam tangan sang istri.
"Aku yakin semua akan baik-baik aja." Katanya dengan senyum yang terlihat menenangkan.
Bunda menatap mata sang suami dan juga ikut tersenyum tipis,berusaha meyakinkan diri bahwa semua pasti akan baik-baik saja.
Willy, Leo dan Reo juga terlihat tak tenang. Sesekali mereka melihat kearah pintu ruang operasi, berharap sang adik segera keluar dari sana.
Setelah menunggu selama hampir 3 jam akhirnya lampu operasi padam. Seorang dokter keluar sambil melepas masker yang melekat pada hidung dan mulutnya.
"Gimana dok?" Suara yang sarat akan kekhawatiran itu mengalun dari kakak pertama Rasya.
Senyum tipis nampak ditampilkan sang dokter seakan memberi ketenangan.
"Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar. Kita akan memindahkan pasien ke ruang perawatan."
Penjelasan dari dokter membuat mereka merasa lega nampak beban berat yang mereka pikul seakan menghilang begitu saja.
*****
Dan disinilah mereka sekarang. Duduk di sofa ruang rawat sang kesayangan menunggu mata indah itu terbuka.
Tangan halus bunda tak henti-hentinya mengelus surai halus sang putra. Bunda yang duduk di sebelah ranjang Rasya seakan tak bosan-bosan memandang wajah putih pucat sang bungsu. Digenggamnya tangan mungil itu guna memberi hangat untuk putranya.
"Adek kapan bangun sih? Bunda rindu banget tahu." Katanya sembari tetap mengelus surai sang putra.
"Sabar sayang Rasya masih butuh banyak istirahat." Sang suami nampak menjawab pertanyaan istrinya itu.
"Willy,Leo ,Reo sebaiknya kalian pulang saja istirahat dirumah. Biar bunda dan ayah yang menjaga adek." Perintah sang ayah dibalas gelengan kepala oleh ketiga anaknya.
" Nggak mau. Kita bisa istirahat disini kok yah. Lagian kita ingin menunggu adek sadar."
Helaan nafas lelah keluar dari bibir ranum sang ayah.
"Yasudah terserah kalian saja."
Karena terlalu lelah akhirnya mereka terlelap di sofa ruang rawat Rasya sementara bunda sudah mengarungi alam mimpi Dengan tangan yang masih menggenggam tangan mungil Rasya.
Tepat ketika jam menunjukkan pukul empat lebih lima puluh satu Rasya akhirnya bangun. Matanya mengerjab menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam retinanya. Mendesis saat rasa sakit dan perih terasa di perut bagian kirinya. Ingin rasanya Rasya menangis tapi suaranya seakan tak bisa keluar. Tubuhnya benar-benar terasa masih lemas.
Ringisan dari Rasya nampaknya mengganggu tidur bunda. Bunda nampak senang melihat putranya sudah membuka mata. Segera bunda menekan bell untuk memanggil dokter agar memeriksa putranya.
Tak lama dokter pun datang dan langsung memeriksa Rasya.
"Gimana dok?" Kata Bunda bertanya.
"Alhamdulillah kondisi pasien sudah membaik. Saya sudah menyuntikkan obat agar pasien bisa beristirahat."
Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter bunda mengucapkan terimakasih dan dokter pun pamit kembali ke ruangannya.
Bunda mencium kening sang anak.
"Bunda tahu Rasya adalah anak yang kuat."
Setelah itu bunda melanjutkan tidurnya lagi. Kegaduhan tadi bahkan tidak membuat ayah dan kakak-kakak Rasya terbangun. Mungkin karena saking lelahnya hingga mereka benar-benar tertidur pulas.
Jangan lupa tinggalkan jejak. Harap maklum masih banyak typo.