Malam itu, perjalanan pulang diwarnai dengan suara mengigau Seshan. Luna bersyukur, setidaknya Seshan tidak muntah di mobilnya Luna. Apa jadinya kalau hal itu terjadi, mungkin Luna akan marah besar? Entahlah.
Begitu sampai di rumah Seshan, Luna memapahnya menuju pintu utama rumahnya. Luna mengetuknya beberapa kali, sampai akhirnya pintu tersebut terbuka dan seseorang keluar dari dalam rumah. Ia adalah Kakak Seshan.
Sembari memberikan penjelasan singkat, Luna membantu Kakak perempuan Seshan memapah sahabatnya itu ke kamarnya.
Setelahnya, Luna menerima banyak terima kasih dan kemudian pamit pulang.Dari rumah Seshan, perjalanan menjadi sunyi. Luna terkantuk-kantuk di dalam mobil, menanti rumah yang sepertinya akan tetap sepi. Entah mengapa, tapi kali ini Luna begitu merindukan kamarnya—kasurnya lebih tepatnya.
...
Akhirnya, Luna tiba di rumah—kamar yang telah Ia rindukan. Tapi masalah kembali muncul menghadang dirinya yang hendak berlayar ke pulau mimpi itu. Luna tidak bisa tidur!
Ya ampun, padahal tubuhnya sudah lelah dan mencapai batasnya. Luna duduk merenung di atas kasur, memikirkan banyak hal. Pikiran negatif melintas di pikirannya. Jika dipikir-pikir, selama ini kedua sahabatnya itu hanya meminta pertolongannya saja. Hal itulah yang menghantui pikirannya.
Ia tidak ingat balasan yang mereka berikan untuknya.
Apa harusnya aku berlaku sebaliknya saja pada mereka? Sepertinya dipandang sebagai Gadis Polos itu alasan yang cukup bagus untuk membuat mereka jengkel padaku. Pikir Luna saat itu.
Pikiran ini terus meluap dan bertambah hingga membuat Luna tertidur.
Hal terakhir yang diingat Luna malam itu adalah jam di kamarnya yang menunjukkan pukul 02.05 dini hari.
Embun pagi bergelayut di antara dedaunan, dengan kiasan sinar mentari yang memasuki kamar Luna melalui kisi-kisi jendela. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Perlahan terlihat sosok perempuan paruh baya yang biasa disebut Bi Ima. Bi Ima mulai membangunkan Luna yang masih terlelap.
“Non, ayo bangun! Sudah siang, sarapannya sudah matang dari tadi," ucap Bi Ima sembari membersihkan kamar Luna.
“Bentar lagi, Bi. Capek banget nih," jawab Luna sembari membalikkan badan.
“Sudah Jam 9, Non. Nanti nggak sempat sarapan lagi,” kata Bi Ima mengingatkan.
“Kuliah sore,” ucap Luna lirih dan kembali terlelap.
Bi Ima mengangguk dan keluar dari kamar Luna.
Pukul 10.00 tepat Luna terbangun kaget. Matanya menjelajah sekeliling dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ia mengingat-ingat jadwalnya hari ini.“Cuma kuliah sore, trus kalo benar bakal keluar lagi bareng Seshan ama Syaquella," gumam Luna.
“Semoga mereka nggak kepikiran. Eh, tapi kayaknya nggak mungkin juga.” Luna bicara pada diri sendiri.
“Males banget keluar hari ini. Besok Minggu, kalau mau keluar besok aja sih. Nggak capek apa mabuk tiap malam?!” Luna menggerutu sendiri.
Meski begitu, biasanya Ia akan tetap menuruti kemauan kedua sahabatnya itu.
Rebahan di kasur, merupakan hal pertama yang dilakukan Luna begitu selesai mandi. Sejak kuliah, Ia tidak lagi Salat Dhuha seperti yang biasa dilakukannya kala SMA.Alasannya sederhana. Sibuk, tidak sempat, atau bahkan Lupa. Pengingatnya dulu—Kemala tidak lagi bersama.
Tiba-tiba HP Luna bergetar. Sebuah notifikasi masuk ke nomornya. Sebuah pesan chat dengan nama “Syaquella” tertera di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syifaluna
Teen FictionHai! Kenalin namaku Syifaluna. Aku mahasiswi semester 4 di fakultas komunikasi. Aku kesepian karena tidak punya kakak maupun adik. Kedua orang tuaku sibuk bekerja. Aku sekarang punya teman bernama Seshan dan Syaquela. Mereka adalah orang-orang yan...