Syifaluna 19

36 2 0
                                    

Retina coklat itu tengah menatap pepohonan yang tumbuh subur terlihat di luar kaca mobil. Rumah-rumah gedong, pusat perbelanjaan, mobil-mobil lain, sepeda motor, dan tukang sapu tak luput dari pandangannya.

Lisannya mengucap syukur atas rahmat Allah yang satu itu. Kedua matanya masih bisa melihat, dan betapa beruntungnya ia sebab hatinya pun sama. Hatinya sedikit demi sedikit tertarik berhijrah.

Sampai sekarang, pemilik retina coklat itu merasa beruntung. Tak henti-hentinya ia mengucap hamdalah dan sholawat.

Bibirnya juga menyunggingkan senyum. Senyum bahagia karena sahabat masa SMA-nya itu telah menunjukkan ia pada jalan lurus. Di mana ridho Allah adalah prioritas utamanya sekarang.

"Semoga Kemala adalah sahabatku sampai ke surga. Walaupun aku juga tidak tahu apakah aku ini akan masuk ke surga-Nya, atau ke neraka. Tapi semoga apa yang aku lakukan ini di-ridhoi oleh Allah, sehingga bisa menghapus murka-Nya. Aamiin," batinnya berharap sambil berdoa, sementara kedua mata ia pejamkan.

"Non Luna, sudah sampai." Saking asyiknya berharap pada Allah dalam diamnya, pemilik retina coklat itu sampai terkejut ketika Pak Idam memanggilnya.

"Ah! Baik, Pak. Terima kasih," jawab gadis yang dipanggil Luna itu sambil turun dari mobil.

"Non Luna, sudah makan?" tanya seorang perempuan yang sudah nampak kelelahan di wajahnya.

"Hmm, Bi Ima sudah masak?"
Perempuan itu menggeleng.

"Belum, Non. Soalnya Bi Ima tadi sibuk mengurus anak Bi Ima yang masih sakit," jawab Bi Ima menunduk.

Luna tersenyum maklum. Rasa simpati menelusup di hatinya. "Ya sudah, Bi. Lebih baik Bi Ima pulang saja, ya? Nanti Bi Ima kembali ke sini besok saja. Luna masih bisa mengurus rumah sendiri kok."

Raut wajah khawatir nampak pada kening Bi Ima. Namun, Luna cepat-cepat mengambil tangan Bi Ima yang ternyata dingin itu. Pemilik retina coklat itu menguatkan Bi Ima, meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja. Tatapannya menyiratkan demikian.

Terharu, Bi Ima menitikkan air mata dan segera menghapusnya sambil mengucapkan terima kasih.

Luna segera ke kamarnya. Mencopot jilbab dan menaruhnya di gantungan yang tersedia. Ia kemudian duduk di depan meja cermin besar yang menampung skincare dan kosmetiknya.

Seketika itu Luna teringat Mamanya. Karena memang mukanya lebih mirip Mamanya. Hanya retina coklatnya saja yang diwariskan Papa padanya.

Luna berharap semoga kedua orang tuanya itu diberikan kesehatan selama di luar negeri sana. Ya, walaupun Luna tidak menghubungi Mama Papanya. Sebab saking sibuknya mereka berdua yang mengharuskan Luna menelan pahitnya kecewa.

Karena ketika Luna menghubungi keduanya, panggilan selalu sibuk dan terjawab oleh suara operator. Selalu bisnis yang dinomorsatukan. Meskipun begitu, Luna tetap mendoakan mereka.

Luna mengembuskan napas dalam-dalam. Mengusir kesepian di ruang hatinya yang entah mengapa terasa sempit dan sesak. Kesedihan dan kesepian adalah temannya selama ini.

Kedua perasaan itu sebenarnya tidak terlalu ia pusingkan kala bersama Seshan dan Syaquella. Akan tetapi, pengaruh buruk bagi keduanya tentu membuat ia muak, dan kesedihan kembali menyelimuti hatinya.

Kemala, sahabat masa SMA-nya itu memang yang terbaik. Berkat dia, Luna bisa berhijrah dan berusaha menerima keadaan dirinya sebagai anak tunggal.

Retina coklat Luna bergerak menangkap kotak hijau lumut yang didapat dari Valdo tempo hari lalu. Jari-jemarinya membuka kotak itu. Di sana surat dari Valdo masih tersimpan rapi usai dibacanya hari itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SyifalunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang