Syifaluna 16

21 3 0
                                    

Luna masih berdiri menatap jalanan tempat Valdo menghilang dari pandangannya. Ada rasa yang berkecamuk dalam jiwanya. Sedih dan bahagia menjadi satu kesatuan utuh. Sedih karena mantan teman dan bahagia karena Valdo begitu mempedulikan dirinya. Walau dia selalu cuek sama cowok yang hampir sempurna itu.

“Non,” sapa Pak Idam membuyarkan lamunannya.

“Eh, Pak Idam sudah sampai,” sahut Luna sedikit kaget.

“Iya, Non. Non, kenapa ngeliatin jalanan? Apa tadi ada tragedi ya, Non?” tanya Pak Idam runtut.

“Hihi, enggak ada, Pak. Ayo, pulang!” ajak Luna.

Seisi mobil hanya hening. Pak Idam juga asyik dengan shalawat-shalawat yang dia putar, sedang Luna menyusuri jalan raya dengan mata yang sayu. Jalanan itu ramai, hanya suasana yang Luna ciptakan tidak sesuai. Ada rasa sunyi, ada rasa takut, ada rasa khawatir. Semua rasa yang sedari tadi berkecamuk dalam dirinya, begitu samar dan butuh kejelasan.

Setiap ruang pikiranya, penuh dengan satu nama. ‘Valdo’. Ke mana dia? Apa yang dia rencanakan? Baik-baik sajakah dia? batin Luna.

“Non,” sapa Pak Idam.

Namun, tidak ada sahutan dari putri majikannya itu. Luna masih berkutat dengan pikiranya sendiri. Entah, tapi pikirannya begitu riuh dengan berbagai pertanyaan, Di mana Valdo? Apa yang akan terjadi? batinnya lagi.

“Non,” sapa Pak Idam untuk kedua kalinya, tapi tetap saja tidak ada jawaban dari gadis cantik itu. Yang ada hanya tatapan kosong menerawang jendela.

“Non Luna, lagi mikirin apa?” tanya Pak Idam.

“Mikirin dia.” Refleks Luna yang masih dalam lamunannya.

“Hah, mikirin siapa, Non?” tanya Pak Idam lagi.

“Enggak—mikirin siapa-siapa, Pak,” kilah Luna

“Kalau ada masalah ceritain aja, Non. Jangan dipendam sendiri, nanti keseleo, loh.” sahut Pak Idam dengan tawa kecil.

“Hihi. Pak Idam ini ada-ada saja, apa hubungannya dipendam sama keseleo?” balas Luna dengan tawa yang masih tak percaya kalau Pak sopirnya itu juga bisa becanda.

“Kalau ada masalah mending diselesaikan, Non, daripada melamun. Kata pak Ustaz, melamun itu gak baik. Kalau melamunin kebesaran Allah bisa jadi pahala, tapi kalau melamunin sesuatu yang tidak ada faedah itu bisa jadi bahaya, Non.” nasihat Pak Idam.

“Astagfirullah, benar juga,” gumam Luna.

“Hah. Apa, Non?” tanya Pak Idam memperjelas suara samar Luna.

“Itu … nasihat Pak Idam ada benernya,” jawab Luna lembut dan Pak Idam hanya manggut-manggut dengan senyuman.

Luna memutuskan menghentikan lamunannya, dia mengambil buku Kun Bil Qur’ani Najman dari dalam tasnya. Buku karangan Saihul Basyir itu memang belum selesai dia baca. Tersebab ada banyak hal yang mendesak hingga tugasnya untuk membaca menjadi terjeda.

“Maa Syaa Allah, lima puluh lima nama.” Kagum Luna.

“Kenapa, Non? Apanya yang lima puluh lima nama?” tanya Pak Idam kepo.

“Ini, Pak. Menurut buku yang Luna baca, al-qur’an memiliki lima puluh lima nama,” jawab Luna sembari menunjuk-nunjuk buku yang dia baca.

“Maa Syaa Allah, lima puluh lima nama, Non? Apa saja namanya, Non?” tanya Pak Idam antusias.

“Iya, Pak. Di buku ini nggak disebutin semua, sih. Cuma beberapa aja, Pak. Yang pertama Adz-Dzikr, yang kedua Al-Kitab, yang ketiga Al-Furqan dan yang terakhir ASy-Syifa, Pak.”

SyifalunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang