"Ck, kenapa pake lowbat, sih .... Astaghfirullah."
Luna setengah mengeluh, memandang ponselnya yang telah kehabisan daya. Harusnya ia menghadiri dua kelas hari ini. Namun ternyata dosen tidak hadir di kelas mata kuliah terakhir dan menggantinya dengan hari lain. Alhasil, jadilah Luna pulang lebih awal.
Karena merasa telah tak memiliki keperluan di kampus, ia berniat untuk segera beranjak keluar kelas meski tau Pak Idam pasti belum menjemputnya.
Luna malas saja, kalau-kalau nanti harus tak sengaja bertemu Seshan ataupun Syaquela. Sekedar meladeni kedua manusia itu saja rasanya akan menghabiskan sisa energinya.
Untung saja Mira—teman sekelasnya—mau berbaik hati meminjaminya power bank. Sekarang Luna tinggal menunggu baterai ponselnya sedikit terisi, agar bisa menyalakannya sembari ia duduk di halte kampus yang untungnya tak terlalu ramai.
"Eh, Luna?"
Cewek itu menoleh kala mendengar namanya dipanggil. Itu Valdo. Pemuda itu tampak tersenyum lebar, meski ada raut heran di wajahnya.
"Ini ... ini beneran lo?"
Luna membuang napas lelah dan memalingkan muka. Ia tahu kini Valdo tengah membahas cara berpakaiannya yang berubah.
"Apa sih?! Jangan ganggu gue."
"Kayaknya baru beberapa hari kita nggak ketemu. Tapi lo tau-tau jadi beda gini?" Valdo menatap Luna dari kepala hingga ujung kakinya.
"Ada apa, deh?"
"Satu meter."
"Hah?" Cowok itu kebingungan.
"Gue akan sangat berterimakasih kalo lo duduk seenggaknya jarak satu meter dari gue," ujarnya sambil melirik Valdo yang tampak akan duduk di sampingnya.
"Ya elah, kenapa sih? Gue masih wangi, kok.” Cowok itu mencium kaos hitam yang dikenakannya.
"Bukan mahram."
"Astaga, emang gue mau ngapain? Lagian rame gini orang lewat. Kalo macem-macem, bisa digebukin gue."
"Ya udah!" Luna berdiri dari duduknya, berniat pergi.
"EH EH! Iya-iya! Nih, Satu meter nih! Gitu aja marah." Cegah Valdo, mengalah. Padahal belum sampai ia bergerak mendekat, tapi Luna seolah menganggapnya virus mematikan yang harus segera dijauhi.
"Lo PMS ya, Lun?"
"Itu kurang se-centi lagi!”
"Elah, perhitungan amat! Untung sayang." Luna mendengus mendengarnya.
"Serius deh, gue tuh males ngomong! Apalagi kalo ngomongnya sama lo. Kalo nggak penting mending diem," ucapnya memasang wajah suntuk dengan mata yang berfokus pada benda pipih di tangannya. Makin cepat Pak Idam sampai, akan makin baik untuknya.
Luna mematikan ponsel, begitu mendapat balasan bahwa pria paruh baya itu telah berangkat menjemputnya. Mata melirik cowok di sampingnya, dan dibuat memasang ekspresi risi karena mendapati Valdo terus menatapinya.
"Apa sih, Do?!"
"Tadi katanya nggak boleh ngomong, berarti ngelihat doang boleh dong?”
"Nggak boleh!”
Valdo hanya tersenyum dan menghela napas. Tampaknya kembali memilih mengalah, cowok itu mengarahkan pandangannya ke jalan raya di depannya. Mengawasi kendaraan yang berlalu lalang.
Luna bernapas lega. Sebenarnya jika dipikir-pikir. Meski kadang mengganggu, Valdo cukup menghargainya selama ini.
"Oh iya, Lun. Lo ada apa deh sama temen-temen lo itu?" tanya Valdo memecah keheningan yang sempat menyelubungi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syifaluna
Teen FictionHai! Kenalin namaku Syifaluna. Aku mahasiswi semester 4 di fakultas komunikasi. Aku kesepian karena tidak punya kakak maupun adik. Kedua orang tuaku sibuk bekerja. Aku sekarang punya teman bernama Seshan dan Syaquela. Mereka adalah orang-orang yan...