Syifaluna 5

42 12 0
                                    

Luna sudah sampai di rumahnya beberapa jam lalu. Menu makan malamnya hanya diaduk-aduk di piring. Nasi kare buatan Bi Ima dikunyah pelan tanpa energi berarti.

“Makanannya ndak enak, ya, Non?” tanya Bi Ima yang sudah rapi, lengkap dengan jaket wol ungu sederhana yang agak kusam.

"Kalau ndak enak ya ditaruh saja. Nanti Bibi kasih kucing biar ndak mubazir.” Seperti biasa, setiap harinya. Saat Luna selesai makan malam, Bi Ima akan menyelesaikan piring kotor terakhirnya terlebih dahulu. Baru kemudian pulang. Persis seperti saat ini.

“Enak, kok, Bi. Cuma lagi enggak selera aja.” Respons Luna. Sendok dibiarkan ‘terlantar’ di piring. Ia mengusap-usap wajahnya yang lesu dan menyugar rambut ke belakang. 

Seshan dan Syaquella. Duo sahabatnya yang sedikit demi sedikit mulai terungkap kedok mereka. Sukses mendominasi beban pikiran gadis itu. Setelah merenungi sikap mereka sore tadi, Luna mulai sadar kedua sahabatnya memang hanya memanfaatkan dirinya.

Mahasiswi di toilet seakan  menampar Luna dengan fakta menyakitkan itu, beserta fakta lain yang tak kalah membuatnya sebal. Fakta bahwa dirinya terlalu polos.

Tak lama kemudian, terdengar suara high heels yang bergemeletuk dengan  lantai marmer rumahnya. Langkah kaki itu cukup cepat dan agak bergema karena rumah luas ini kelewat sepi.

"Mama," batin Luna. Benar saja, seorang wanita cantik kemudian duduk semeja dengannya. Wajahnya lesu dan jengah, hasil hiruk pikuk kehidupan bisnis favoritnya yang luar biasa menyita energi.

Detik ini pun, petinggi perusahaan kosmetik itu masih sibuk dengan obrolan seputar bisnis di teleponnya. Sebuah topik utama yang Luna dengar tiap mereka berdua kebetulan berpapasan di rumah.

Tapi siapa yang akan bersenang hati menjadikan pemandangan begitu sebagai tontonan sebelum tidur? Tidak seorang pun, termasuk Luna.  Bisa-bisa dia bermimpi terjebak dalam lift berisi puluhan speaker berkapasitas tinggi yang menyuarakan hal-hal semacam harga penjualan, peningkatan produksi, dan  siasat pemasaran yang akan terus berdengung di telinganya bahkan saat bangun besok pagi.

Oleh karena itu, Luna buru-buru menghabiskan nasi karenya, menyambar handphone miliknya di meja, dan berjalan masuk ke kamar. Melihat itu, Mamanya menjauhkan telepon dari telinga. Lawan bicaranya masih asyik bicara di seberang sana. Wanita itu tersenyum mafhum.

“Kamu enggak mau nyapa Mama?” tanyanya basa-basi.

Luna tidak serta merta berhenti berjalan. Pertanyaan retorik itu dia abaikan.

“Non.” Bi Ima memanggil Luna ragu, merasa tidak enak dan perlu meluruskan sikap Luna yang sudah terasa seperti anaknya sendiri 10 tahun terakhir.

“Luna?”  Mamanya memancing lagi. Kali ini Luna berhenti, berbalik badan barang sekejap untuk mengatakan sesuatu

“Hai, Ma,” ucapnya datar, lalu berbalik lagi dan menjauh.

***

Bi Ima memang seringkali menasihati  Luna soal sikapnya pada Mamanya. Tapi semua nasihat itu otomatis hilang saat melihat sosok ibunya itu tidak memedulikan dirinya. ‘Pertanyaan tadi pasti cuma basa-basi. Tidak lebih.’ pikir Luna.

Lagi pula, Mamanya sudah pergi lagi seusai menelepon sambil sesekali membentak. Luna mendengar obrolan itu dengan cukup jelas. Dan dia tidak akan repot-repot bertanya “Mama ke mana?”

Pukul 23.00 Luna belum juga mau tidur. 2 jam lalu Bi Ima mengetuk kamarnya untuk pamit pulang. Sekarang handphone menyala di genggaman, menampilkan apa pun yang bisa membuat pikirannya pergi jauh.

Tiba-tiba, muncul sebuah pop up pesan dari nomor tak dikenal. Pesan itu terdesak di antara chat Seshan dan Syaquella yang enggan ia baca sejak tadi.

0852xxxxxx
[Blm tidur, Lun?]

Luna mengerutkan alisnya, mencoba menebak kira-kira itu siapa. Kemudian ia mengetikan sesuatu.

Syifaluna
           [Ini siapa?]

Sesaat, Luna cukup terkesan karena pemilik nomor itu cepat sekali membaca pesannya. Sesaat setelah pesan terbaca, handphone Luna bergetar dinamis. Menunjukkan panggilan dari nomor tak dikenal yang sama.

Ragu-ragu, ia mengangkat panggilan itu setelah menengok jam. Pukul 23.16.

“Halo?” Luna mengawali.

“Lo di rumah, 'kan? Gue jemput sekarang.” Suara cowok yang berat merespon.

“Valdo?” Luna membelalak.

“Lo dapet nomor gue dari mana?”

“Tenang aja, Lun. Ini ada Seshan sama Syaquella juga, kok. Bentar lagi gue nyampe.” Luna menggigit bibir geram. Teman-temannya itu,  pasti mereka yang memberi nomornya pada Valdo.

“Enggak, enggak, gue nggak mau,” jawab Luna tegas. Apa-apaan Seshan dan Syaquella, menyeret Valdo ke masalah mereka? 

“Enggak usah bawa-bawa gue, deh. Lo mau ngapain aja atau kalian bertiga mau apa, sekarang bukan urusan gue,” lanjutnya.

“Lah, tapi ini udah sampe, Lun. Daripada lo di rumah sendirian, 'kan? Lo sendirian 'kan di dalem?” Valdo berucap santai. Syifaluna melompat dari tempat tidur, tangannya membuka gorden lebar-lebar yang menghadap gerbang. Kepalanya praktis pening. Iya, memang ada lampu mobil menyala di depan sana.

Hah ... dari sekarang, Luna paham. Seshan dan Syaquella tidak akan semudah itu membiarkannya pergi dari hidup mereka. Seshan dan Syaquella bisa memanfaatkan apa pun untuk membawanya kembali ke tangan mereka, mungkin memperalat dirinya lagi? Entah untuk tujuan apa selain itu. Tapi yang Luna tahu, dia harus lebih pintar.

Assalamualaikum, Kak.
Ending-nya gantung banget enggak sih? Huhu.
Tenang-tenang, besok akan segara terbit kelanjutannya.
Semoga suka dan bermanfaat.
Jangan lupa vote dan share ya, Kak.
Terima kasih.

Part 5 by Daviliellro

SyifalunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang