🌧29🌧

36 7 1
                                    

Hai guys. Maaf ya, baru bisa up lagi. Hp aku sempet rusak soalnya. Sebagai ganti waktu update yang lama, chapter kali ini aku buat cukup panjang dibanding biasanya, sampai 2000 kata lebih.

Happy reading dan jangan lupa tinggalin jejak berupa vote dan komen, ya (⌒o⌒)

🌧⛈️🌦

"Bu Nisa, saya dengar anak wali saya sudah melakukan ulangan harian Kimia yang pertama dari Ibu, ya?” tanya Bu Freya yang baru saja duduk di kursinya yang bersebelahan dengan Bu Nisa di ruang guru.

“Iya, Bu,” jawab Bu Nisa singkat.

“Bagaimana nilai mereka? Apa cukup memuaskan?" tanya Bu Freya lagi.

"Untuk sebagian besar cukup memuaskan. Hanya saja, Rian—" Bu Nisa menhentikan ucapannya. Ia memandangi daftar nilai siswa yang ada di depannya.

"Rian? Rian kenapa? Nilainya bermasalah?" tanya Bu Freya berturut-turut.

Bu Nisa menghela napas lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia cuma dapet 40."

Mendengar itu, kedua mata Bu Freya membulat. "Hah? Dia dapet 40? Gak mungkin, Bu. Nilai Rian selama ini selalu bagus gak peduli apa pun yang terjadi. Bahkan meskipun dia gak masuk hampir sebulan pun, nilainya selalu ada di kisaran 97 sampai 100. Nilai 90-an bahkan jarang dia dapet, hampir semua nilainya sempurna, 100."

Bu Nisa seketika mengeryit. "Tunggu. Dia pernah gak masuk hampir sebulan? Kenapa?" tanyanya.

"Itu gara-gara phobia-nya," jawab Bu Freya.

"Phobia?"

Bu Freya mengangguk "Iya. Dia mengidap ombrophobia, phobia dimana dia takut akan hujan. Saya dengar, dia mengidap phobia itu karena pengaruh kejadian yang dia alami saat kecil yang membuatnya trauma akan hujan. Karena phobia-nya itu, setiap musim penghujan tiba, jumlah kehadiran Rian di sekolah sangat sedikit. Yah, untungnya itu tidak mempengaruhi nilainya. Dia selalu mempertahankan nilai dan peringkat satunya selama ini. Maka dari itu, saya cukup kaget mendengar nilai ulangan Kimianya tadi," jelas Bu Freya.

Bu Nisa seketika tertegun mendengar penjelasan dari Bu Freya itu. Rian punya phobia akan hujan?

🌧⛈️🌦

Rian berjalan pulang dengan langkah yang terseret, seakan tak ada tenaga yang cukup untuk mengangkat kedua kakinya. Beberapa langkah sebelum mencapai rumahnya, ia menghentikan langkahnya. Seorang wanita berdiri di depan rumahnya, membuat ia enggan untuk melanjutkan langkah. Wanita itu kemudian menoleh dan mendapati Rian.

"Untuk apa lagi Anda datang ke sini?" tanya Rian dengan nada yang dingin.

“Rian, Mama mau minta maaf sama kamu,” kata wanita itu, yang tak lain adalah Bu Nisa, Mama Rian.

“Basi!” ketus Rian lalu melangkah melewati Bu Nisa dan segera masuk ke dalam rumahnya.

“Rian! Tolong biarin Mama ngobrol sama kamu. Sebentar pun gak papa,” pinta Bu Nisa sebelum Rian menutup pintu.

Rian melirik sang Mama sejenak, lalu sedetik kemudian menutup pintu rumah dengan kuat. Bu Nisa menghela napas. Ia sudah menduga, membujuk putra satu-satunya itu tak akan mudah.

Sementara itu di dalam rumah, Rian melempar tasnya ke atas meja, berlanjut dengan menghempaskan tubuhnya dengan kasar di atas sofa. Beban tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Atau lebih tepatnya, beban yang ada di hatinya.

Rian menatap langit-langit ruang tamunya.

‘Rian!’

Suara sang Mama yang memanggilnya tadi terngiang kembali di otak Rian. Rian menutup kedua matanya, mencoba menghilangkan suara-suara yang terputar di otaknya itu.

Haters and Lovers of Rain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang