🌧7🌧

118 54 14
                                    

"Lo udah dapet murid baru, gak?" tanya Arga setelah Rian kembali dari ruang guru. Keduanya kini tengah nongkrong di warung favorit para murid laki-laki.

"Belum dapet," jawab Rian sekenanya.

"Gitu, ya? Gue sebenarnya punya satu calon murid buat lo. Lo mau, gak?" tawar Arga.

"Gue kan udah bilang, lo gak usah susah-susah bantuin gue. Biar gue yang nyari murid sendiri," tolak Rian cepat.

"Gue nyarinya gak susah, kok."

"Oh, ya?" tanya Rian tak percaya.

"Iya. Gue dapet calon murid baru ini dengan sangat mudah. Malah, Maminya sendiri yang minta dicariin tutor buat anaknya. Gue jamin, lo gak bakal nyesel nerima dia jadi murid lo. Anaknya emang agak susah buat diajarin, tapi bayarannya sesuai dengan kerja keras lo nantinya. Dan lo gak perlu pusing soal transportasi buat ke rumah murid lo itu. Bakalan ada yang nganter jemput lo nantinya." Arga berpromosi panjang lebar dengan penuh semangat, sedangkan Rian hanya melongo menatap sahabatnya itu.

"Hah? Seriusan lo? Ya kali, tutor bakal diantar jemput," ujar Rian, merasa aneh dengan informasi yang diberikan Arga.

"Gue serius, bro. Pokoknya lo bakalan terjamin kalau jadi tutor anak itu. Tugas lo cuma fokus buat ngajar anak itu sampai bisa ngebuat nilai anak itu naik," ujar Arga, terus berusaha meyakinkan Rian.

"Emang calon murid yang lo bilang itu anaknya siapa, sih? Kayaknya istimewa banget."

Arga tersenyum, lalu menjawab, "Anaknya Ibu Qonita Isman sama Bapak Wildan Zakir."

Mendengar nama itu, otak Rian mulai berpikir. 'Ibu Qonita Isman dan Bapak Wildan Zakir?' Nama itu terasa familier baginya. Beberapa detik kemudian ia tersadar akan sesuatu. "Lah? Itu kan nama Mami sama Papi lo, kampret!" teriak Rian sambil meninju bahu Arga cukup keras.

"Ya emang, hahahahaha," ujar Arga sambil terbahak.

Rian menatap Arga yang tengah tertawa itu dengan penuh kekesalan. Ni orang, dasar! umpat Rian dalam hati.

"Eh, tapi gue seriusan, bro. Mami gue emang lagi cari tutor buat adek gue," kata Arga cepat ketika melihat Rian yang terlihat kesal.

Rian menaikkan sebelah alisnya. "Buat adek lo? Gak salah, tuh? Bukannya lo sendiri yang dulu pernah bilang, kalau adek lo itu paling anti sama belajar?"

"Nah, maka dari itu! Karena adek gue itu males banget sama yang namanya belajar, Mami gue jadi khawatir. Secara, adek gue tahun ini udah kelas 9. Mami takut, adek gue itu gak bisa masuk ke SMA yang dia mau dengan nilainya itu. Akhirnya, Mami gue mutusin buat nyari tutor buat adek gue itu. Dan gue dipercayain sama Mami untuk ngebantu dia cari tutor," jelas Arga.

"Tapi, emangnya Mami lo bakal setuju gue yang jadi tutor adek lo?" sangsi Rian.

"Gue yakin, Mami gue bakal setuju-setuju aja. Gue udah sering cerita ke Mami gue tentang lo yang sering banget bantu gue belajar. So, gak ada alesan yang ngebuat Mami gue nolak lo."

"Hm...."

"Ayo dong, bro. Terima aja. Kalau lo jadi tutor adek gue, lo bakal dapet pemasukan tambahan yang jumlahnya cukup banyak. Gue bisa anter jemput lo. Selain itu, lo juga bakal ngebantu gue ngebuat adek gue gak terlalu bodoh. Kita sama-sama saling bantu. Impaskan?"

"Oke deh. Gue mau," putus Rian pada akhirnya.

"Nah, gitu dong!" seru Arga senang.

"Kapan gue bisa mulai ngajar adek lo?" tanya Rian.

"Sepulang sekolah nanti lo bisa langsung mulai," jawab Arga cepat.

"Hah? Buru-buru amat."

"Kan ada pepatah, lebih cepat lebih baik. Gimana sih, bro?"

Haters and Lovers of Rain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang