🌨14🌨

74 34 3
                                    

Rian berjalan pelan menuju sebuah warung yang tidak terlalu jauh dari penginapan yang ia tempati. Sesekali, ia menatap vila keluarganya yang terlihat dari kejauhan. Vila yang selama lima tahun terakhir pintunya tertutup rapat, kini terbuka lebar dengan beberapa individu di dalamnya.

Hah.

Rian menghela napas sesaat. Yah, insiden itu sudah terjadi sejak lima tahun yang lalu, tapi Rian masih saja tidak bisa lepas dari bayang-bayang ketakutan. Setiap hujan turun, bayang-bayang masa lalu akan datang menghampiri seakan ingin menerkamnya.

Langkah Rian segera terhenti tepat di depan warung. Sekali lagi, Rian menghela napas. Warung itu ternyata tutup. Baru saja ia berbalik dan mengambil langkah untuk kembali ke penginapan, suara gemuruh dari langit beserta kilatan cahaya menyambar dengan cepat.

Ctar!

Petir yang tiba-tiba muncul itu sontak saja menghentikan langkah Rian. Rian mendongak menatap langit yang memang terlihat mendung. Sedetik kemudian, hujan langsung turun dengan cukup deras.

"Sial," desis Rian, lalu dengan cepat berlari ke teras warung. Kenapa hujan harus turun saat dia berada di luar, sih? Dengan cekatan, ia segera mengeluarkan ponsel dan earphone yang ia bawa dari dalam saku jaketnya. Ia memasang earphone-nya di telinga, dan segera memutar playlist lagu yang ada di ponselnya. Setidaknya, dengan mendengarkan lagu-lagu, suara derai hujan tidak akan terdengar terlalu jelas di telinganya.

Rian menatap tetes demi tetes hujan yang turun. Jarak antara warung dan penginapannya memang tidak terlalu jauh, tapi Rian tetap tak ingin mengambil resiko. Ia khawatir, jika ia nekat menerjang hujan sekarang, ia akan terkena serangan panik lagi. Itu tentunya akan bukan hal yang bagus. Selain akan menyiksanya, hal itu juga akan membuat orang lain repot.

Tanpa sengaja, tatapan Rian tertuju pada vila keluarganya yang masih dapat terlihat dari posisinya saat ini. 'Oh? Mereka sudah pergi?' batin Rian ketika melihat pintu vila yang sudah tertutup rapat.

Tatapan Rian kemudian beralih pada seseorang yang terlihat berlari mendekat padanya. Rian menyipitkan kedua matanya untuk mempertajam penglihatan. Saat Rian akhirnya bisa mengenali siapa yang mendekat itu, mulutnya membentuk huruf O kecil. Oh?

"Raina?" panggilnya kemudian.

"Eh? Kak Rian!" kaget Raina yang baru saja tiba di depan warung.

"Mau beli sesuatu?" tanya Rian sambil tersenyum.

"Iya, aku mau beli-" ucapan Raina terhenti tatkala melihat pintu dan jendela warung yang tertutup rapat.

"Sayangnya, warungnya lagi tutup, nih," kata Rian cepat.

"Yaaaah ...," desah kecewa Raina. Dengan gontai, Raina melangkah dan berdiri di samping Rian.

Sudut bibir Rian sedikit terangkat melihat Raina yang tiba-tiba melemas.

"Emangnya mau beli apa, sih?" tanya Rian lagi.

"Pokoknya sesuatu yang bisa ngilangin haus," jawab Raina.

"Oh, mau beli minum ternyata," tanggap Rian.

Raina mengangguk-angguk. "Padahal jarak vilanya gak jauh, tapi tetep aja haus."

Rian segera menolehkan kepalanya dengan cepat pada Raina. "Vila?"

"Ah. Iya. Tadi aku bareng Kak Arga sama temen-temennya Kakak ke vila keluarga Kakak," aku Raina.

"Hm ... gitu, ya," tanggap Rian singkat.

Raina mengangguk pelan.

"Gimana?"

Haters and Lovers of Rain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang