// drunk

444 66 62
                                    

"Idih, gak mau ah itu kan acara lo," tentu saja kutolak.

"Kalo Anna ikut boleh kan, Lik?"

Malika tampak bergeming lalu detik selanjutnya mengangguk, "Boleh aja sih,"

Gaffriel tersenyum lebar menatapku membuatku mendengus dan pasrah. Kamipun berjalan ke arah parkiran tapi saat setengah berjalan aku melihat Dylan tengah menyender di tiang tembok melirikku dari kejauhan. Entahlah padahal Dylan tidak mengucapkan satu katapun tapi aku membelokkan langkah, "Duluan entar ketemuan aja depan parkiran," kataku pada Gaffriel.

Dylan tersenyum ke arahku, menghisap rokoknya lalu membuangnya, "Kok tadi main pergi aja?" Tanyanya seraya merogoh kantung celana mengeluarkan sebatang rokok lagi. "Gak kenapa, lagi juga gue kan kesini bukan buat Arden,"

"Cowok tadi kah?"

"Iya,"

"Pacar, ya?"

"Enak lo ngomong ya, itu temen gue jelek."

Dylan terkekeh seraya mengeluarkan asap rokok, "Maafin kebrengsekan abang gue, ya, Kak. Gue tau lo gak mungkin sejahat itu main pergi aja,"

Aku tersenyum setidaknya Dylan tidak menuruni sifat seperti Arden. "Semoga lo terus begini ya, gak sama gue aja tapi sama perempuan lain,"

Dylan tersenyum, "Tapi Kak bang Arden gak sejahat itu kok,"

"Haruskah gue percaya dengan semua yang dia lakuin?"

"Enggak sih..."

Dylan membuang rokoknya padahal masi setengah, ia menatapku setelah itu dengan tajam. "Aing gak tau apa yang bang Arden pikirin sampe nyakitin Teteh, entah mungkin karna trauma masa lalu dia, entah karna teh Raven balik lagi ke bang Arden... Dylan gak tau. Tapi satu, Teteh jangan nyesel ya jadi orang baik? Dylan percaya kok suatu saat Teh Anna dapet yang lebih-lebih dari bang Arden, semoga kita bisa terus jadi temen, ya, Teh? Sia masih mau kan terus kenal sama aing?"

Kata-kata itu mampu membuatku meneteskan air mata, kata-kata yang selalu kuingin dengar dari Arden tapi tak mampu ia ucapkan padaku. "Eh Kak Anna deh, Kak Anna gak suka ya di panggil Teteh sampe nangis?" Katanya lagi membuatku tertawa. "Nggak gitu bodoh, panggil gue Teteh aja, gue suka kok." Jelasku.

Dylan menyengir, ia memberikanku tissu basah padaku, "Aing gak punya tisu aduh, sia segala nangis ini kumaha ih! Jawab dulu atuh mau gak jadi temen Dylan?"

Aku tertawa, "Ish, diem apa dongo. Iya mauuuu Dylaann! Pake nanya lagi,"

"Oh baiklah, nih tisu mau pake gak?"

"Gak! Make up gue luntur lah ih,"

"Oh, iya! Yaudah gak usah lah ya. Teteh kalo ada apa-apa bilang Dylan aja, cerita sok atuh aing mau denger kok, oke Teh?"

"Iyaa, lo juga kalo mau nanya-nanya soal cewek lo boleh langsung chat aja,"

"Siap deh. Yaudah, makasih Teh udah jadi orang baik semoga kebaikan Teteh dilihat sama yang di atas ya, karna Teteh berhak dapet kebaikan juga,"

Aku mengangguk senyum, "Makasih juga Dylan udah jadi orang baik, semoga terus jadi orang baik, ya? Gue mau izin pergi duluan, salam buat keluarga dan Raven ya!"

Dylan mengangguk, "Aing pasti terus jadi orang baik kok, kalo bisa terbaik di Bandung. Okelah, hati-hati Teh!" Aku mengangguk senyum, melambaikan tangan pada Dylan lalu merogoh tas untuk mengambil ponsel menelpon Gaffriel.

☄️☄️☄️

Di dalam perjalanan aku duduk di belakang sementara Malika sudah pasti duduk di sebelah Gaffriel dan aku hanya terduduk diam menatap jalanan. Seraya terdiam diri aku bisa mendengar jelas bahwa Gaffriel cukup banyak bicara dengan Malika juga sebaliknya, pembicaraan mereka sangatlah nyambung dan seru walaupun aku tau bagaimana sikap Malika di belakang Gaffriel tetapi kuakui Malika sangat jago dengan aktingnya. Aku menghela berusaha kembali memikirkan kejadian sebelumnya dimana Arden saat itu menarikku ke pinggir kerumunan lalu mengucapkan hal yang membuatku cukup terkejut.

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang