"Tanganmu dingin, kok tadi nggak kecilin AC nya?" tanya Gina heran. Sean tertawa getir.
"Nggak apa-apa kok."
Sean pun berjalan sambil terus mengenggam tangan Gina mendekati pintu kafe, namun langkahnya terasa sangat pendek. Setiap detik terasa seperti sebuah perjalanan panjang, tetapi ia tahu bahwa di balik kegugupan yang ia rasakan, ada sebuah harapan yang besar. Saat pintu kafe Sean memberi ruang untuk Gina lebih dulu masuk lalu dia menyusul di belakangnya. Sean mulai memusatkan perhatiannya pada satu hal, kembali mengingat kalimat yang akan ia ucapkan untuk menyampaikan perasaannya dengan tulus dan penuh keyakinan, berharap momen ini akan menjadi awal dari sesuatu yang sangat berarti.
Kini mereka duduk saling berhadapan di meja makan yang dihiasi lampu temaram dan bunga-bunga segar, bunga itu sengaja ia request agar membuat kesan romantic mala mini. Jantung Sean berdetak kencang seolah-olah sedang berlari maraton. Setiap detiknya terasa seperti menit, dan setiap menit seperti jam. Dia celingak-celinguk mencoba mengalihkan perhatiannya dari ketegangan yang melanda seluruh tubuhnya. Makanan di depan mereka tampak lezat dan mengundang selera, tetapi rasanya seperti batu krikil di perutnya.
Ketika Sean menoleh ke arah Gina yang duduk di seberang meja dengan senyuman lembut dan tatapan penuh perhatian, membuatnya seolah berada di ambang jurang. Setiap kata yang hendak diucapkannya tersekat di kerongkongan seperti mustahil untuk dikatakan dengan cara yang benar seperti rancangannya. Sean berusaha keras untuk menahan gemetar di tangannya. Setiap Gina melontarkan tanya atau tertawa, mengingatkannya pada betapa pentingnya momen ini. Seolah-olah satu kalimat yang salah bisa merusak semua harapannya. Makanan di atas meja telah habis, kini Gina menatapnya seperti penuh curiga.
"Kita nggak makan di meja orang kan?"
"En-nggak kok, kenapa?" Sean menggeleng sambil menyeka keringat yang ada di keningnya. Sedangkan Gina celingak-celinguk melihat meja-meja di sekitarnya.
"Daritadi aku lihat ke meja-meja lain, kok yang ada bunga cuma di meja kita ya?"
"Daritadi aku agak takut kita salah meja." Gina tertawa kecil.
"Kirain ada yang booking meja ini buat lamaran karena ada bunganya."
Deg
Seketika jantung Sean makin terpacu lebih cepat. Gina benar-benar bisa merasakan perbedaan yang ada. Sean menghela napas panjangnya, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa. Dengan suara yang agak bergetar ia mulai menggenggam tangan Gina yang ada di hadapannya, dia akhirnya mulai berbicara,
"Gina, aku... aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba dan aku tidak tahu ini benar atau salah, tapi aku merasa kita sudah melalui banyak hal Bersama dalam beberapa bulan terakhir. Aku sangat menghargai setiap momen yang kita lalui dan aku ingin... aku ingin kita menjadi lebih dari sekadar teman."
Tiba-tiba terasa hening sesaat setelah ia berhasil mengikuti kata-kata rancangannya. Gina menatapnya dengan mata yang sedikit terbelalak, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Jantung Sean berdetak kencang, menunggu jawaban yang tampaknya menguji setiap serat keberaniannya.
Untuk beberapa menit Gina masih terdiam tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sean barusan. Dulu saat awal mengenalnya Gina memang mengharapkannya, tapi semakin kesini ia sudah menganggap Sean sebagai temannya bukan lagi sebagai gebetannya. Karena sejak tersebarnya kedekatan mereka Sean nggak pernah sedikitpun terusik dengan suara-suara ghaib yang selalu ia dengar. Hingga ia menyimpulkan bahwa Sean memang nggak pernah berharap lebih. Tapi memang nggak dipungkiri bahwa rasa sukanya pada Sean memang masih ada walau nggak menggebu-gebu seperti awal kedekatan mereka.
"Kamu menyukaiku?" Gina menatapnya lekat.
"Iya, aku menyukaimu. Tapi aku nggak berharap kamu akan membalas perasaanku. Setidaknya aku sudah mengungkapkannya padamu." ujar Sean dengan terburu-buru. Hingga ia menyadari kesalahan ucapannya.
"Sean... goblok!" batinnya. Seketika suasana terasa hening baginya, ia membatu dengan tatapan Gina di hadapannya.
"Ooh, jadi kamu nggak mau tau perasaanku?" jawab Gina ketus.
"Hm, bukan gitu maksudku. Maksudku kamu boleh kok beri jawaban kapan aja. Aku akan menunggu sampai kamu benar-benar yakin," ujarnya dengan cepat seperti rel kereta api melaju.
"Tapi kalau kamu mau jawab sekarang nggak apa-apa kok, aku siap." Mata Sean kini menatapnya penuh harap walau tetap saja jantungnya semakin berpacu lebih cepat. Untung saja jantungnya sehat kalau tidak mungkin bisa saja ia pingsan saat itu juga.
Kini Gina menatapnya dengan mata yang sangat teduh baginya, dengan senyuman lembut yang menenangkan seluruh kegelisahan di dalam diri Sean, Gina membalas genggaman tangan Sean di atas meja. "Aku juga merasakan hal yang sama," katanya dengan lembut. "Aku senang kamu mengatakan ini."
Dunia seolah-olah berhenti seketika ketika Gina mengucapkan kata-kata yang membuat hati Sean bergetar. Dia tidak dapat berpaling dari Gina. Malam ini seperti mimpi baginya, seketika emosinya yang menggebu membanjiri tubuh dan pikirannya, seperti gelombang yang menyapu pantai hingga menyeretnya ke tengah laut.
Dalam sekejap, semua kecemasan dan ketegangan yang mengganggunya seolah-olah lenyap bersamaan dengan kata-kata Gina. Ia merasa seperti beban berat yang telah membebani pundaknya selama beberapa waktu telah dilepaskan dari pundaknya dan digantikan oleh rasa kegembiraan yang ringan.
"Beneran kamu mau jadi pacarku?" tanya Sean dengan mata berbinar. Ia benar-benar nggak menyangka dengan Gina bahwa ia akan langsung menjawabnya. Padahal Sean udah setengah mati menahan jantungnya yang makin kian berpacu cepat ketika tadi ia salah berbicara.
"Tentu saja aku mau!" jawab Gina sambil tersenyum manis.
"Makasih, Gina." Sean pun sangat bahagia ia beranjak dari kursinya dan segera memeluk Gina.
Dengan senyuman lembutnya ia mendekap Gina dengan erat, ketegangan dalam diri Sean seolah meleleh dalam sekejap. Dia merasa beban besar terangkat dari pundaknya. Malam itu, setelah serangkaian perasaan gugup yang tak tertandingi, Sean akhirnya merasakan kebahagiaan yang tulus dalam hubungannya yang baru dengan Gina. Di tengah-tengah lampu redup yang berkelap-kelip dan musik lembut, mereka berdua duduk bersama, merayakan awal baru yang penuh harapan.
"Sejak kapan kamu menyukaiku?" tanya Gina dengan tiba-tiba hingga membuat Sean menoleh dengan tatapan terkejut, ia mengangkat kedua alisnya seolah ingin memastikan kembali pertanyaan Gina.
"Sejak kapan kamu menyukaiku?" ulang Gina.
"Sejak awal, mungkin."
"Kok mungkin? Ih kamu mah nggak yakin."
Sean tertawa kecil, "Aku nggak ingat pastinya kapan perasaan ini tumbuh, tapi yang jelas sejak awal aku memang suka. Makanya aku nolongin kamu saat diganggu sama bocah tengil itu."
Gina terdiam sesaat, pikirannya melambung jauh kebelakang untuk memastikan bocah tengil siapa yang Sean maksud. "Bocah tengil?" gumamnya pelan.
"Dari awal kita jumpa?"
Sean mengangguk, "Kamu cantik," ucapnya singkat namun mampu membuat Gina tersipu malu.
"Gombal."
"Serius, kamu cantik," jawabnya dengan senyuman.
Seketika pentas kembang api bermunculan di hati Gina, tubuhnya menghangat dengan pujian yang Sean lontarkan. Ia nggak bisa menyembunyikan betapa bahagianya dia malam ini. Mahasiswa yang menolongnya saat pertama kali menginjakkan kakinya di kampus justru ternyata juga menyukainya sejak saat itu. Padahal ia selalu mengira perasaannya nggak mungkin terbalaskan, tapi malam ini semua menjadi lebih jelas. Ia resmi berpacaran dengan Sean, laki-laki tampan yang sejak awal ia anggap sebagai malaikat yang turun dari langit.
Kita resmi berpacaran! – Sean & Gina
Terimakasih yang masih setia, HIHIHI
Aku akan berusaha menyelesaikannya.
Jadi jangan lupa 🌟 nya yaa untuk semangatin aku hehehe,
dan tungguin part selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Because of You [ON GOING]
FanfictionSeorang pria bernama Geoff Avran (diperankan oleh Yoongi) sedang mencari teman masa kecilnya untuk menepati janji yang pernah ia ucap dulu. Seiring berjalannya waktu ia menikahi gadis cantik bernama Gina Beatrice (your name). Namun, wanita itu telah...